03 - Sebatas Duniawi

172 23 12
                                    

Ujian lelaki di dunia hanya ada tiga. Pertama, harta. Kedua tahta. Yang terakhir wanita.

***

Sari datang saat jam pelajaran pertama berlangsung. Sengaja memang supaya Dhira tidak tahu.

Hawa dingin menguasai. Duduk saling berhadapan, Sari menantikan sang kepala sekolah mengucapkan sepatah kata setelah ia mengungkapkan keluhan yang dirasa, juga keinginan memindahkan Dhira ke sekolah lain.

"Selama ini saya belum pernah mendengar kabar kalau Dhira diperlakukan tidak baik di sini."

Pernyataan itu, membuat dada Sari mencelos. Apa selama ini kepala sekolah tidak pernah memerhatikan situasi? Bagaimana bisa perundungan itu tidak tercium batang hidungnya?

"Itu karena tidak ada yang berani melapor, Pak. Termasuk anak saya sendiri. Lagi pula kalau Bapak jeli, akan sangat paham seberapa besar masalah yang anak saya hadapi hingga membuat saya berani menghadap Bapak," sanggah Sari.

"Saya mengerti. Ibu tidak usah khawatir, masalah ini akan selesai tanpa Dhira harus keluar dari sekolah ini. Dhira punya potensi yang bagus, makanya saya menerima anak Ibu di sini. Sekolah negeri maupun swasta yang lain belum tentu menerima anak Ibu."

"Rencananya saya mau memasukkan Dhira ke SLB lagi."

"Ibu yakin? Apa Dhira mau? Ah, lebih tepatnya, apa Ibu sudah mendiskusikan perihal kedatangan Ibu ke sini dengan Dhira?"

Sari menelan salivanya.

"Saya akan jamin seratus persen masalah ini selesai tanpa Dhira keluar dari sekolah ini. Nanti saya akan kasih pengertian ke Chiko. Lalu saya hubungi Ibu via telepon."

"Baik kalau begitu saya permisi pulang dulu."

Keluar dari ruang kepala sekolah, Sari masih tidak tenang. Ia sangsi jika kepala sekolah itu mampu menyelesaikan masalah anaknya dengan cepat.

Sementara itu di dalam, Tama—nama kepala sekolah—segera menghubungi wali kelas Chiko, menyuruh sang putra datang menemuinya. Akan tetapi, Chiko tidak ada di kelas. Tama geram. Seraya menahan amarah, ia menelepon nomor anaknya. Tiga kali panggilan baru diangkat.

"Berani bolos kamu? Cepat ke sini! Papa mau bicara sama kamu."

"_Di telepon aja bisa kan, Pa?_"

"Ke sini atau Papa usir mama kamu dari rumah!"

Tama langsung memutuskan sambungan telepon. _Anak dan ibunya sama saja, mengganggu rencanaku_, batin Tama kesal.

Tak butuh waktu lama, Chiko datang.

"Kemana kamu? Kenapa kamu nggak masuk?"

"Papa nyuruh aku datang pakai ngancem segala cuma mau nanya ini? Basi, Pa."

"Jaga ucapan kamu! Gara-gara kamu, aset Papa di sekolah ini hampir lepas. Ibunya tadi datang ke sini dan mengancam akan memindahkan dia ke sekolah lain."

Chiko mendengkus. "Maksud Papa anak gagu itu? Bagus malah kalo dia pindah."

"Dia bukan anak sembarangan. Papa menerima dia supaya sekolah lain bersimpati, memuji sekolah ini yang mau menerima anak cacat. Apalagi Dhira tergolong anak cerdas, dan itu semakin menguntungkan Papa kalau dia mau ikut perlombaan. Sebaliknya jika kelakuan kamu sampai tercium sekolah lain, reputasi sekolah ini akan hancur. Sekolah lain akan berlomba-lomba mengambil Dhira. Kalau kamu masih mau tinggal di rumah, kamu ikuti kata Papa. Hentikan perundungan itu!"

"Papa nyuruh aku berhenti tapi Papa manfaatin dia. Sama aja, Pa! Kita sama-sama jahat. Kalau Papa aja nggak berhenti kenapa aku harus ikuti kata Papa?"

"Kalau sampai kamu berani, Papa pastikan mama kamu dalam bahaya."

"Mama itu istri—"

"Dia bukan istri Papa!" potong Tama cepat. "Kalian berdua adalah benalu yang menempel di pohon yang seharusnya tumbuh subur. Wanita jalang itu telah merusak rencana Papa!"

Dada Chiko berdesir. Hawa panas mulai menguasai. Tangannya mengepal kuat. Ingin rasanya memberikan bogem mentah kepada lelaki di hadapannya itu. Jelas ia marah wanita yang melahirkannya disebut wanita jalang oleh suaminya sendiri.

Akhirnya Chiko melampiaskan kemarahannya dengan membanting pintu saat keluar. Tujuan anak itu selanjutnya adalah mencari keberadaan Dhira dan memberinya pelajaran.

***

"Ini soto kesukaan Bang Dhira. Soto ayam tanpa suwiran ayam."

Mbok Sumi—begitu panggilan akrab yang disematkan penghuni kantin—menyajikan mangkuk berisi soto ayam sesuai keinginan Dhira. Cowok itu memang tidak suka daging ayam.

Dhira menggerakkan kedua tangannya. Mbok Sumi langsung paham maksud Dhira.

"Sama-sama," ucap Mbok Sumi.

Dhira berbalik. Pada saat yang bersamaan matanya bertemu dengan mata milik gadis yang ternyata sudah antri di belakangnya.

Gadis itu tersenyum. Ya, Dhira tidak salah lihat, gadis itu tersenyum kepadanya. Kikuk. Dhira segera pergi menuju mejanya. Menyelamatkan degup jantung yang mulia tak karuan rasanya.

Gadis itu tak lain adalah Nada. Ia maju selangkah mendekati Mbok Sumi.

"Mbok, tadi dia pesan apa?"

"Siapa, Neng?"

"Itu yang barusan."

"Oh, Dhira. Dia pesan soto ayam tapi gak pakai suwiran ayamnya."

"Hah? Aneh tuh orang. Masa makan soto ayam nggak pake ayam?" sahut Faisal yang berdiri di belakang Nada.

"Iya. Dia nggak suka daging ayam. Katanya kalo makan ayam bikin mual."

"Mbok bisa komunikasi sama dia?" tanya Nada penasaran.

"Yee jangan salah, gini-gini Mbok bisa bahasa isyarat. Liat di Youtube sih."

Nada hendak bertanya lagi, tetapi suara gebrakan meja menginterupsinya. Spontan Nada menoleh, mendapati Chiko yang berdiri di dekat meja Dhira.

Di tempat kejadian, perasaan Dhira tidak enak. Chiko datang sendirian. Kilat amarah terpancar dari bola matanya.

"Nyali lo ada berapa sih? Sampai berani nyuruh nyokap lo datang ke sekolah dan ngadu ke bokap gue!"

Dhira spontan menggeleng. Benar, ia memang sering menceritakan kejadian di sekolahnya. Namun, bagian ibunya yang datang ke sekolah, Dhira tidak tahu apa-apa. Kapan Sari datang ke sekolah?

"Masih nggak mau ngaku lo?"

Tiba-tiba Chiko mengambil mangkuk soto dan menuangkan isinya ke kepala Dhira. Nyaris seluruh siswi yang berada di dekat meja Dhira menjerit. Tak berani memandang wajah Dhira yang mulai merah akibat kuah soto yang masih hangat.

Dari arah berlawanan, ada yang menyiram Chiko dengan kuah soto juga. Rambut dan juga seragam cowok itu basah. Chiko mengibas tangannya untuk menetralkan panas di tubuhnya.

"Siapa yang berani nyiram gue?"

"Gue! Mau apa lo?"

Seluruh penghuni kantin tertuju pada Nada yang tangannya masih memegang mangkuk bekas kuah soto tadi. Di belakangnya ada Faisal yang sibuk menenangkan Nada dengan menepuk-nepuk bahu gadis itu. Faisal tidak mau Nada kena masalah besar.

"Gimana rasanya disiram kuah? Panas, kan? Makanya sebelum bertindak dipikirin dulu. Hampir aja lo celakain anak orang."

Chiko menatap tajam gadis yang baru saja menyiramnya itu. Entah kenapa ia tak mampu membalas perkataan apalagi perbuatan gadis itu. Nada adalah orang pertama yang berani melawannya.

🔷🔷🔷

Nadhira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang