14 - Sembilu

108 11 2
                                    

Tuhan, kuatkan hatinya.

***

Kehilangan. Itulah yang dirasakan Dhira sekarang. Sampai detik ini ia masih tidak percaya jika sang ibu telah pergi untuk selamanya. Mulai hari ini Dhira tidak akan melihat senyum ibunya lagi, melihat ibunya menjahit atau memasak makanan kesukaannya. Separuh hatinya telah hilang, dimakan oleh maut.

Status Samsul kini menjadi buronan polisi sejak Farhan membawa masalah tersebut ke jalur hukum. Sejak tragedi tersebut, Samsul bahkan tidak menampakkan diri saat pemakaman istrinya. Pria itu hilang entah ke mana. Namun, Dhira percaya besar kemungkinan bapaknya akan cepat ditemukan polisi meski bersembunyi di tempat gelap sekalipun. Samsul harus mempertanggung jawabkam perbuatan bejatnya.

Dua hari kematian ibunya, Dhira memutuskan untuk pergi ke sekolah meski sudah diberi izin libur selama satu minggu. Dhira pikir jika di rumah terus akan selalu memikirkan ibunya. Akan tetapi dugaannya salah, berita tentang ibunya mati di tangan Samsul sudah menjadi buah bibir para siswa. Berita tersebut dijadikan senjata untuk mengolok-olok orang tuanya. Sebenci-bencinya Dhira terhadap Samsul, tetap saja tidak rela jika sang ayah dicap sebagai pembunuh. Walau kenyataannya memang seperti itu. Entah siapa yang tega menyebarkan aib keluarganya. Mereka tidak tahu masalah sebenarnya apa, tapi seenaknya mengejek.

Andai Dhira datang lebih cepat, pasti sekarang ibunya masih hidup. Tidak akan ada berita memalukan sekaligus memilukan seperti saat ini.

***

"Cal, tadi gue ngeliat Dhira datang ke sekolah. Sekarang di mana ya orangnya?"

"Ya mana gue tau, Nad. Gue kan dari tadi di sini sama lo."

Nada merasa tidak nyaman duduk di kantin. Bagaimana tidak, gosip tentang Sari yang dibunuh suaminya sendiri terus dibicarakan. Nada heran ada apa dengan hidup mereka? Setiap hari selalu saja mengolok Dhira. Seakan hanya mereka makhluk sempurna di dunia ini.

Brak!

Seluruh penghuni kantin menatap Nada yang barusan menggebrak meja. Bahkan Faisal yang sedang menyantap mi ayamnya tersedak.

"Hai makhluk sempurna, kenapa pada diem? Udah selesai ngomongin Dhira? Enak ya ngomongin orang, udah kayak paling bener aja."

"Eh kok lo yang sewot sih?" ketus salah satu siswa.

Nada menatap sengit siswa berkepala botak itu. "Kenapa emangnya? Bukannya sama aja ya, kalian nggak tau masalahnya gimana tapi seenak pantat jelekin Dhira. Sombong amat lu jadi manusia!"

"Terserah kita lah! Mulut-mulut kita ini," sahut siswi berambut kincir kuda. Nada yang mendengarnya jadi geram.

"Iya, kalian enak ngomongin orang. Tapi apa lo lo pada nggak sadar bahwa suatu saat nanti mulut busuk kalian bisa bunuh orang? Hati-hati, jaga tuh mulut!" balas Faisal tak kalah sengit.

"Untungnya kalian bela si gagu apa sih? Kok kalian giat banget bela dia?"

"Mau tau mbaknya? Sini gue bisikin. Manfaat gue bela dia adalah udah pasti dapet pahala dari Yang Maha Kuasa. Terus sama hidup gue jadi tenang, damai dan sentosa. Karena apa? Karena gue nggak pernah jelekin sesama manusia." Lagi-lagi Faisal yang membalas.

Seakan hati mereka sudah seperti batu, mereka sama sekali tidak mencerna perkataan Faisal. Justru terus mencibir Dhira. Nada dan Faisal memilih pergi dari kantin. Berada di sana lama-lama tidak baik untuk kesehatan pikirannya.

"Biarin aja lah mereka hidup dengan caranya. Toh kita udah ngingetin tapi kepala sama hati mereka batu," kata Faisal.

Nada mendengkus. "Iya, Cal. Gue speechless deh lo ngomong begitu tadi di kantin."

"Ya gini-gini gue masih punya hati kali."

Mau tak mau Nada tersenyum.

Kemudian keduanya berpisah. Nada yang tadinya ingin masuk kelas, tapi mengurungkan niatnya karena teringat Dhira. Padahal cowok itu datang ke sekolah, tetapi tidak muncul batang hidungnya. Ke mana Dhira? Nada kemudian beranjak pergi menuju ruang musik. Hanya mengikuti feeling. Barangkali Dhira memang ada di sana.

Dugaan Nada benar, Dhira ada di tempat itu. Cowok itu duduk di kursi panjang dekat piano. Seperti sedang melamun. Nada mencoba mendekatinya.

"Dhira?" Nada menepuk bahu Dhira dari belakang. Pemuda itu tampak terkejut dengan kedatangan Nada.

"Kamu ngapain di sini? Main biola?"

Dhira menggeleng. Tatapannya kosong. Nada menghela napas, ia yakin sedikit atau banyak Dhira sudah mendengar celotehan sampah siswa-siswi di sini. Ia kemudian duduk di samping Dhira.

"Dhira, aku tahu kok rasanya kehilangan seorang ibu. Aku sejak bayi malah nggak tau wajah mama seperti apa."

Setelah itu Nada melihat air mata mengalir di wajah Dhira. "Maaf, kata-kataku nyakitin kamu ya?"

Dhira menggeleng. Segera diusapnya pipi yang telanjur basah akibar air mata.

"Nggak papa kalau kamu mau nangis, yang ngeliat kan cuma aku di sini."

Tanpa diduga Dhira justru memeluk erat tubuh Nada. Punggungnya bergetar hebat setelah itu.

Nada iba, merasakan sesak yang dialami Dhira. Tangannya kemudian mengusap punggung tegap pemuda itu. "Kamu boleh nangis sepuasnya, biar kamu tau kalau kamu nggak sendirian. Walaupun diluaran sana sangat kejam, ada aku di sini yang selalu ada di dekat kamu. Kamu jangan takut kalau semua orang membencimu, di sini ada aku yang selalu percaya sama kamu."

Ruang musik menjadi saksi betapa hancurnya hati Dhira atas kematian ibunya, seiring dengan air mata yang mengucur deras. Bagai luka yang belum sembuh tapi disiram dengan air garam. Nada berharap setelah ini ada pelangi setelah hujan. Dhira, laki-laki kuat yang ia kenal.

***

Mau sampai ke ujung dunia bersembunyi, tetap saja rasa bersalah terus menghantui Samsul. Bayangan wajah Sari yang berlumuran darah terus melekat jelas di kepala pria itu.

Sekarang Samsul bersembunyi di salah satu rumah kosong. Ada seorang anak laki-laki seusia Dhira menawarkan tempat tinggal sementara. Dari matanya Samsul melihat dengan jelas anak itu pasti punya motif sampai repot-repot mau menolongnya dari kejaran polisi. Tak sampai di situ, bahkan laki-laki itu juga memberikan fasilitas makanan enak dan juga uang yang sangat banyak.

Daun pintu terdorong masuk, menampakkan sosok pemuda berjaket hoodie. Tak heran jika bisa membukanya, sebab ia memiliki kunci cadangan.

"Lo tau kan semua fasilitas ini nggak gratis. Lo harus bayar semuanya pakai jasa lo," kata pemuda itu.

"Lo mau gua ngelakuin apa?"

"Culik Dhira. Kalau lo berhasil, gue akan kasih tiket pesawat keluar negeri biar lo bisa hidup tenang."

Pas. Benar dugaan Samsul. Anak ini pasti punya motif tertentu. Melihat penampilan dan juga imbalan yang ditawarkan pemuda itu, Samsul menduga jika dewa penolongnya adalah anak orang kaya. Bisa dimanfaatkan. "Itu sih gampang."

"Gue mau anak lu lenyap dari bumi ini. Kalau perlu nyusul ibunya ke alam kubur. Gue benci sama dia!"

Samsul menghisap putung rokok yang tinggal setengah hingga mulut serta hidungnya mengeluarkan asap memenuhi ruangan. Jika menjadi pembunuh saja mendapatkan kemewahan seperti ini, lantas mengapa ia harus menyesali perbuatannya?

🔷🔷🔷

Nadhira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang