Terlalu menaruh harapan kepada manusia akan membuat hati kecewa.
***
Dhira keluar dari gerbang sekolah dengan lesu. Mobil hitam yang biasa menjemputnya ternyata belum datang.
Pandangannya kosong. Membiarkan kaki kecilnya melangkah tak tentu arah. Seakan sudah tidak ada gairah untuk hidup. Sepanjang pelajaran sekolah ia tidak bisa menyimak dengan baik. Banyak penjelasan guru yang tidak ia perhatikan. Kepalanya masih dipenuhi dengan kematian Sari dan di mana keberadaan Samsul saat ini.
Kakinya berhenti di sebuah kontrakan kecil yang sudah dilingkari police line. Rumahnya. Dhira ingin sekali masuk, tetapi dijaga ketat oleh beberapa polisi. Di ambang pintu, Dhira menangkap sosok perempuan berdaster khas ibunya yang tersenyum. Manis sekali.
Dhira mengedipkan matanya beberapa kali. Mungkin sekarang dia sudah gila, sampai bisa melihat sosok ibunya yang sudah mati. Padahal sudah jelas kemarin tubuh Sari sudah dimasukkan ke liang lahat. Dia sendiri juga turut membantu warga saat itu.
Pemuda itu memutar tubuhnya meninggalkan rumah kecil itu serta kenangan manisnya. Namun, baru beberapa langkah, kesadarannya direnggut oleh obat bius dari tangan besar di belakangnya.
***
Sementara itu Sinta kelimpungan Dhira tidak ada di sekolah. Security tidak ada yang melihat kemana perginya anak itu.
"Gimana sih, Pak? Harusnya Dhira ditahan dulu jangan pergi!" gerutu Sinta kesal.
"Yang saya awasi kan bukan Dhira saja, Bu. Lagian Dhira kan udah gede!" Security membela diri. Sinta mendengkus.
Sinta mengigit jarinya. Satu-satunya tempat yang Dhira kunjungi adalah rumahnya. Sinta memutuskan akan ke sana.Tiba di tempat itu, Sinta tidak menemukan Dhira. Namun, ia menemukan ransel milik anak itu yang tergeletak di tanah. Sinta memungutnya.
"Selamat siang, Bu Sinta. Ada yang bisa kami bantu?" Suara bariton di belakangnya membuat Sinta terkesiap. Sinta memutar tubuhnya menghadap ke lelaki berseragam lengkap.
"Pak Polisi tadi nggak lihat anak laki-laki, usianya enam belas tahun, masih pakai seragam SMA dan bawa tas ini ke sini?" tanya Sinta sembari menunjuk ransel milik Dhira.
"Mohon maaf saya baru datang. Lagi pula bukannya tidak boleh ada warga atau keluarga yang datang ke TKP karena sedang penyelidikan?"
"Iya, saya tahu, Pak. Tapi anak ini lepas dari pengawasan saya. Dia juga bisu nggak bisa ngomong. Saya takut dia diculik, Pak!"
"Baik, sebisa mungkin kami akan membantu ibu menemukan anak ibu jika ada hubungannya dengan kasus sebelumnya."
Mendengar ungkapan polisi, Sinta cemas. Pikirannya tertuju pada Samsul yang sekarang jejaknya entah di mana. Kalau sampai memang benar Samsul yang membawa Dhira, Sinta tidak akan memaafkan pria itu.
***
Berita hilangnya Dhira sampai ke telinga Nada keesokan harinya. Gadis itu tidak sengaja mendengar percakapan Wisnu entah dengan siapa.
"Dhira hilang, Pa?" seru Nada memastikan.
Wisnu mematikan ponselnya. "Iya, sayang. Sudah semalaman Dhira tidak pulang."
"Papa nggak bohong?"
"Untuk apa Papa bohong?"
"Aku mau cari Dhira, Pa!"
"Eeeh, tugas kamu sekarang berangkat ke sekolah. Mencari Dhira biarlah polisi yang menangani."
"Papa tahu kan Dhira nggak bisa ngomong? Kalau diculik dia nggak akan bisa minta tolong."
Wisnu mengusap bahu putrinya yang naik turun. "Iya, Papa tahu. Tapi ini bukan wewenang kita."
"Masa mau nolong orang harus punya wewenang dulu sih, Pa? Tau ah, Papa nyebelin!"
Tanpa mencium tangan sang papa, Nada keluar. Pandangan Wisnu beralih menatap foto berfigura besar yang terpampang di atas piano. Wisnu tersenyum getir.
"Kamu lihat sendiri kan, Hana? Anak kita benar-benar mirip kamu."
***
"Aduh nggak deh. Gue masih pengen hidup, Nad."
Nada kecewa mendengar perkataan Faisal. Tidak Wisnu, tidak Faisal, sama saja. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau membantunya mencari Dhira.
"Ayolah Cal, sekali ini aja. Habis itu gue nggak minta apa-apa lagi deh."
"Bukannya gue nggak mau bantuin lo, Nad. Tapi lo kan tau udah ada polisi yang nyariin dia. Udah deh lo tuh nggak usah terlibat lebih jauh kenapa sih, Nad? Lo emang siapanya sih? Sodara bukan, pacar bukan. Lo tuh masih punya kehidupan, Nad. Lo pikirin aja hidup lo."
Suara Faisal yang meninggi membuat dada Nada sesak. Kristal bening mendesak ingin keluar di pelupuk mata. "Emang kalau nolong orang itu harus punya hubungan darah dulu, ya?" tanya Nada dengan suara bergetar.
"Bukan gitu maksudnya, Nad—"
Namun, Nada tak ingin mendengarnya lagi. Gadis itu keluar dari kantin. Faisal tidak berniat untuk mengejarnya, membiarkan Nada memikirkan ucapannya.
Nada menyusuri lorong dengan air mata membanjiri pipinya. Sungguh ia tak mengira Faisal akan berkata seperti itu padanya. Bukan salah Nada jika ia ingin terlibat jauh dengan Dhira. Rasa empatinya yang selalu menuntunnya untuk membantu cowok itu. Di saat banyak orang yang tidak peduli terhadap Dhira, di saat banyak orang yang menghujat Dhira, di saat banyak orang yang memanfaatkan kelemahan Dhira. Nada tidak melakukan itu semua. Lantas mengapa tidak ada orang yang mau mendukung niat baiknya? Wisnu dan Faisal adalah orang yang Nada harapkan, tetapi justru mereka berdualah yang meruntuhkan.
Sekarang Nada tahu bahwa terlalu menaruh harapan kepada manusia akan membuat hatinya kecewa.
***
Berbekal ilmu bela diri yang pernah dipelajari, Nada bertekad mencari keberadaan Dhira sendirian tanpa mengganti seragamnya. Percuma saja pulang, pasti papanya akan melarangnya pergi mencari Dhira.
Nada mencurigai Chiko beserta komplotannya yang telah membawa Dhira pergi. Lagi pula siapa lagi yang selalu mengganggu Dhira kalau bukan mereka? Gadis itu bersembunyi dibalik tembok kelas XI IPS 4 yang belakangnya biasanya ditempati anak-anak brrandal. Matanya mulai fokus, orang yang Nada cari tidak ada di tempat itu. Hanya ada kedua temannya saja.
Kedua teman Chiko pergi. Nada segera bersembunyi di balik pohon mangga agar tidak ketahuan. Dirasa sudah aman, Nada mengikuti mereka dari belakang. Sampai di tempat parkir, Nada berjalan mengendap-endap mendekati mobil jeep milik salah satu teman Chiko. Beruntung pintu tidak terkunci atau di alarm, Nada bisa melesat masuk dan bersembunyi di belakang jok.
Mobil pun berjalan sangat lama. Sepertinya tempat tujuan mereka sangat jauh, pikir Nada. Hari sudah mulai gelap tetapi mobil belum berhenti juga. Bahkan sang sopir menyetir sangat ugal-ugalan, Nada harus bisa menyeimbangkan tubuhnya agar tidak kelihatan.
Kendaraan itu berhenti. Nada menghela napas lega. Begitu sudah aman, Nada mengintip. Ia menemukan sebuah rumah kecil yang pintunya sedikit terbuka. Nads melompat turun dan menghampiri rumah tersebut. Tiba di rumah tersebut kemudian ia mengintip dari celah pintu, matanya menangkap sesosok laki-laki yang seluruh tubuhnya diikat tambang dan mulutnya tertutup lakban. Di samping lelaki itu, ada Chiko dan laki-laki paruh baya yang Nada yakini adalah ayahnya Dhira.
🔷🔷🔷
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadhira [END]
Teen FictionWritten by: pesulapcinta Dhira paham, hidup menjadi penyandang disabilitas memang tidak mudah. Caci, maki, hujatan, perundungan yang dilakukan Chiko sudah menjadi makanan sehari-hari. Memiliki cita-cita yang tinggi hanya omong kosong, terutama bagi...