Tiga belas

14.6K 216 17
                                    

Dalam bayang cermin aku terpaku, menatap diriku dengan perasaan yang tak menentu. Tak ada air mata dan tak ada rasa, semua terasa hambar. Ku tatap diriku dalam cermin besar, menampilkan tubuhku yang hanya berbalut selimut putih untuk yang kedua kalinya. Namun, kali ini aku tidak se histeris dulu. Rasanya hati dan tubuhku sudah kebas oleh hal seperti ini.
Atau mungkin aku sudah menikmati? Ah, rasanya tidak.
Kenapa hidupku menjadi seperti ini Tuhan? Kalau Mama dan Papa tahu bagaimana, apa mereka akan percaya aku telah dijual oleh anaknya sendiri atau mungkin aku akan di usir dari keluarga Riandi. Aku termenung, ingatan demi ingatan kejadian kemarin berjalan teratur memenuhi otakku seperti kaset yang diputar.

"Mario gue mohon, jangan lakukan ini. Gue mohon Mario ... " Aku bersimpuh dikaki panjang Mario. Aku tak peduli lagi yang jelas aku tidak ingin melakukan ini semua.

"Lepas! Gue gak mau tau ya ... Joni sudah membayar hutang-hutangnya dengan tubuh lo ini. Jadi, gak ada alasan buat gue untuk gak menyentuh lo." Mario menepis tanganku yang sedang memeluk kakinya erat.

"Please Mario, gue masih sekolah. Gue belom pantas untuk melakukan hal yang lo bilang tadi. Please .... "

"Tapi kayaknya lo gak seperti anak sekolah kebanyakan deh. Liat tubuh lo, harusnya dengan tubuh seperti ini lo mampu menghasilkan banyak uang Ra. Hahaha..."

Apa? Berani sekali dia merendahkanku. Dengan emosi yang membuncah aku berdiri dan dengan cepat menampar pipinya sekeras mungkin sampai tanganku sakit dan memerah.

Plak plaak

"Jangan asal bicara ya, gue bukan cewek seperti itu. Iya sih, gue udah gak suci lagi tapi gue gak se murahan itu. Orang tua gue masih mampu untuk memenuhi semua keinginan gue."

Mario menoleh kepadaku, tangannya memegang pipinya yang sedikit kemerahan. Bibirnya mengatup tipis, rahangnya mengeras dan kedua bola matanya menatapku tajam. Lalu dia mendorongku dengan kasar.

"Jangan berani-beraninya lo melawan gue, Terima atau tidak gue sudah membeli tubuh lo dengan hutang-hutang kakak lo yang brengsek itu."

Kemudian dia menyeret tanganku dan menghempaskan tubuhku dikasur apartement nya. Dengan bringas namun penuh kenikmatan dia menikmati tubuhku. Peluh membanjiri tubuhku dan dirinya, dia sangat lihai dalam urusan bercinta membuatku merasa kepayang karena perlakuannya. Seolah penolakanku tadi hanya bualan semata, nyatanya aku menikmati ini semua. Melihat itu, Mario seakan menertawakan ku dan semakin membuatnya yakin bahwa aku hanyalah jalang kecil yang berpura-pura suci.

"Sayang ... Ayo kita mulai lagi." Tangan kekar itu memeluk pinggangku lalu membalikan tubuhku hingga menghadapnya. Dia benar-benar maniak seks, seolah tidak puas dengan pertemuan pagi tadi hingga siang hari ini. Aku belum istirahat sepenuhnya tapi dia seolah tidak pernah puas, terus menggoda tidurku dan memintanya lagi dan lagi.

Tanpa menjawab perkataan nya, ku dorong bahunya dengan keras. Lalu menyingkir dari hadapannya dan berlalu ke kamar mandi. Badanku serasa remuk redam melayani nafsunya yang menggebu-gebu.

Pintu kamar mandi di gedor-gedor dengan kencang. Mario terus merengek meminta aku membukakan pintu.
Dengan kesal aku balas rengekannya dengan teriakan kekesalan.

"APA SIH MARIO, GUE CAPE TAU NGGAK. JANGAN GANGGU GUE." jerit ku kesal.

Seketika gedoran pintu berhenti. Oke, berhasil saatnya bersantai memanjakan otot-otot ku yang kaku akibat perbuatan nya. Baru saja aku hendak menyabuni tubuhku, pintu kamar mandi terbuka dengan keras.

My Darkness WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang