Prolog

7.7K 189 6
                                    

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu"
(QS at-Tahriim:6)

⭐🌟⭐

Suasana tegang seketika meliputi ruangan berdominasi kayu tersebut. Salah satu gadis berhijab lebar abu-abu menundukan kepalanya, menghindari tatapan kekecewaan dari sang abi. Beda halnya dengan gadis yang baru menduduki jenjang madrasah aliyah, masih bisa menampakan wajah tenangnya.

Mereka yang ada di ruangan itu masih terdiam, menunggu si pemimpin keluarga berbicara. Hingga selang beberapa detik, terdengar hembusan nafas lelah dari pria paruh baya tersebut. Beliau menyenderkan badan yang sudah rentan itu ke senderan kursi lalu berkata, "kalian kan perempuan, harus mempunyai aturan. Apa yang kalian perbuat sekarang bukan hanya membuat Abi dan Umi khawatir, tapi kalian juga ingkar terhadap janji."

Yahya menjeda ucapannya. Pria tua yang di kenal sebagai kiyai sekaligus pemimpin pondok pesantren Al-Munawar itu kemudian menatap putri sulungnya dengan tatapan sayu. "Kamu Safa, seharusnya kamu sebagai kakak harus bisa mengingatkan adeknya. Jangan terus mengalah, sesekali tegas pun tak apa. Asal tetap untuk kebaikan."

Gadis bernama Safa itu meremas jemarinya karena rasa takut dan menyesal sudah membuat abinya kecewa. Benar kata Yahya, kalau ia memang seharusnya bersikap tegas tadi untuk pulang lebih awal dan tak meneruti permintaan sang adik yang membuat mereka pulang terlambat.

"Safa minta maaf, Abi. Safa mengakui kesalahan ini. Insyaallah Safa akan mengikuti apa perkataan Abi," ucap lirih gadis itu. Ia masih menundukan kepalanya, dan masih tak berani jika harus bertemu dengan mata sayu Yahya.

"Ini bukan salah Mbak Safa, Bi. Ini semua salah Zia, tolong jangan marah terhadap Mbak Safa." Sang adik membela. Di balik sikap tenangnya Zia, gadis berusia 15 tahun itu tetap tidak ingin sesuatu yang tidak adil menimpa sang kakak.

"Kalian berdua sama-sama salah," putus Yahya. "Minta maaflah pada Umi, dia sangat khawatir menghubungi kalian tadi."

Safa akhirnya mendongkakan wajah rupawannya, melihat Maryam--Uminya--dengan menyesal. "Umi. Maafkan Safa dan Zia. Kami tak akan mengulangi hal itu, kami akan berjanji pada diri kami."

Maryam menghembuskan nafas dengan samar seraya tersenyum hangat, "jangan ulangi lagi ya. Jangan buat Umi dan Abi khawatir seperti ini."

Keduanya mengangguk berbarengan. Inilah cara Maryam dan Yahya mendidik kedua putrinya dalam menghadapi fitnah dunia, mereka sentiasa akan selalu menegaskan bahwa jangan terlena pada kenikmatan yang fana. Jika ada sebuah masalah, keluarga itu akan menyelesaikannya dengan baik-baik dan akan berakhir baik pula.

"Baiklah Safa. Abi akan berikan hukuman buat kamu, karena telah melalaikan tugas. Silahkan kamu bantu Ardy mengajar nadhom alfiyah seusai magrib." Walaupun kata maaf sudah terucap. Yahya akan tetap memberikan hukuman, agar mereka tidak mengulanginya lagi.

"Dan untuk Zia, kamu siapkan hafalan suratmu. Nanti sehabis magrib Mbak Widya mengetesnya."

Mereka mengangguk patuh lagi. "Kalau begitu Safa boleh pergi dari sini?" Tanyanya dengan hati-hati.

"Iya, boleh."

Safa tersenyum lega seraya mengaitkan tasnya di bahu, "assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab serentak Yahya, Maryam dan Zia.

Gadis itu beranjak dari ruangan tersebut. Kakinya menjelajahi koridor pondok yang di lalui para santri. Mereka berduyun-duyun bersiap untuk melaksanakan sholat magrib. Sesekali mereka menyapa Safa, begitupun gadis itu membalas dengan senyuman.

Sebagai seorang ning di pondok pesantren milik abinya, Safa sendari kecil di didik menjadi pribadi yang ramah dan tertata melalui ajaran islam ataupun akademik. Sikap rendah hati sudah tertanam di dalam jati diri seorang Safa, jadi sampai sekarang gadis itu di kenal oleh para santri sebagai sosok ning yang bersahaja dan bersahabat.

Safa sendiri sangat bersyukur terhadap sang pencipta karena telah melahirkannya di keluarga yang paham akan ajaran islam dan di penuhi kasih sayang yang berlimpah sejak kecil. Ia paham, selamanya hidup tak akan penuh kebahagiaan yang di gambarkan sang penyair. Oleh karena itu, Safa tidak ingin terlalu terlena seperti yang di katakan Yahya dan Maryam padanya ketika gadis itu di limpahkan penuh nikmat.

"Assalamualaikum, Mas Ardy." Langkah Safa terhenti tepat di belakang lelaki yang tadi ia panggil namanya.

Lelaki itu membalikan badannya, lalu Safa menundukan kepalanya. "Waalaikumsalam. Iya, Ning ada apa?"

"Nanti sehabis magrib, Safa ikut mengajar nadhom alfiyah ya?"

Ardy menatap bingung, "bukannya Ning Safa bertugas mengajar kitab jurumiyah tadi sore?"

Safa menggeleng, namun tatapannya masih menunduk. "Tidak. Ada sedikit masalah. Jadi sekarang Abi menyuruh Safa menemani Mas Ardy mengajar."

"Baiklah, Ning. Sebentar lagi magrib, nanti saya tunggu di aula masjid," putus Ardy. "Kalau begitu saya pamit dahulu ya. Assalamualaikum."

Safa mendongkakan wajahnya ketika lelaki itu melenggang pergi dari hadapan. Lalu tersenyum, "waalaikumsalam."

Dia Ardy. Seorang abdi ndalem di pondok pesantren Al-Munawar. Separuh umur Ardy di habiskan untuk mengabdi pada pesantren ini, jadi tak heran jika dia memegang kepercayaan Yahya untuk sesekali mewakili sang kiyai ke sebuah acara ketika beliau ada kendala.

Bagi Safa sendiri, Ardy sosok lelaki yang hampir mendekati kata sempurna. Sikap dewasanya membuat Safa nyaman seperti halnya saudara kandung. Terlepas dari itu semua, jarak antara keduanya masih berdiri kokoh. Mengingat fakta bahwa mereka bukanlah mahram dan mampu menimbulkan fitnah jika mencabut sekat tersebut.

⭐🌟⭐

Yahya termenung di kursi ruangannya. Menatap sepucuk surat di lapisi amplop putih yang ia letakan di meja. Pria paruh baya itu mengusap wajahnya dengan kasar seraya beristigfar. Sudah untuk kesekian kalinya surat-surat berisi lamaran untuk putri sulungnya itu datang, namun selalu ia tolak secara halus karena memang waktu yang belum tepat.

Namun, sekarang putrinya sudah dewasa. Sudah pantas membina rumah tangganya sesuai perintah rasullullah dan sang pencipta pada firman-firmannya. Perlu pemikiran yang matang demi menentukan masa depan yang baik untuk Safa. Ia tak ingin putrinya itu salah mengambil langkah.

"Abi." Panggilan lembut mendayu di telinga Yahya. Ia menoleh, mendapati Maryam yang meletakan teh hangat untuknya. "Ada apa?" Tanya istrinya tersebut seraya mendudukan diri di kursi hadapan Yahya.

Yahya kembali menatap surat tersebut, "surat itu datang kembali, Mi."

Maryam tersenyum, "lalu? Kenapa Abi terlihat bingung."

"Abi harus bagaimana Mi? Menerimanya atau menolaknya, Abi takut mengambil keputusan yang salah."

"Putri kita sudah besar. Biarkan dia yang akan memutuskan, lalu sisanya kita dan Allah," ucap Maryam. Wanita paruh baya itu selalu menjadi penerang di kala kebingungan Yahya.

Yahya menyenderkan badannya. Lalu meraih surat tersebut. "Baiklah. Besok kita bicarakan dengan Safa. Dan semoga ini lah jodoh yang terbaik untuk putri kita."

⭐🌟⭐

Hai, Assalamualaikum. Selamat datang di cerita saya kembali.

Kali ini saya membawa cerita tentang seorang ning kembali, semoga kalian dapat seantusias cerita Ning&Gus ya🌝

Jangan lupa vote, dan berilah kesan pertama dalam bab prolog ini di komentar.

Salam, Aniaputrisy|20 April 2020.

For My ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang