19# Pelajaran

1K 111 59
                                    

Karena banyak yang tanya kapan dilanjut, jadi aku putusin buat publish :')












.
.
.
,

Min Yoongi terbangun dari tidur, perutnya keroncongan.

Bias cahaya bulan menyinari ruangan, jendela yang tak tertutup membuat gorden bergerak tertiup angin. Pria itu mulai mendudukan diri, menggaruk kepalanya yang terasa gatal sembari menguap lebar.

Setengah mata terbukanya mengedar ke seluruh sudut, mencari keberadaan istrinya. Namun sepertinya wanita itu tidak ada disana. Lantas Yoongi memaksa bangun dan beranjak keluar ruangan.

Alisnya semakin bertaut, rumahnya tampak sepi, walau memang kenyataannya selalu seperti itu. Tapi dia tak ingin ambil pusing, dengan santai mengambil minuman dingin dalam lemari es. Meneguknya rakus, tenggorokannya sangat haus.

"Ji?"

Perutnya lapar, Yoongi tidak menemukan makanan apapun di atas meja makan. Bahkan keberadaan Jihyo yang masih belum dia lihat membuat rasa kesal semakin menyelimuti hati. Tanpa sadar mulutnya berdecak marah.

Kemana wanita itu?

Namun karena kondisi perut yang perlu diisi, Yoongi memutuskan untuk membuat makanan praktis sebelum mencari istrinya.











.
.
,

Air matanya habis, Min Jihyo sudah berhenti menangis, namun rasa sakit dalam dada masih bisa dia rasakan. Melihat seorang bayi manis yang tidak berdosa, terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan alat bantu pernapasan.

Sebelumnya Jihyo benar-benar ketakutan.

CPR yang dia lakukan pada bayi itu tidak membuahkan hasil, sekalipun dia sudah mencobanya beberapa kali. Namun karena dia masih bisa merasakan denyut nadi di tangan mungil itu, Jihyo segera membawa si kecil menuju rumah sakit terdekat bersama supir pribadi suaminya.

Bayi itu segera ditangani oleh seorang Dokter dan beberapa perawat setelah Jihyo membawanya kesana. Si kecil dibawa memasuki sebuah ruangan, sementara Jihyo menunggu dengan rasa cemas yang besar diluar ruangan.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya seorang Dokter keluar dari ruangan itu.

Keterangan yang diterima cukup membuat air matanya kembali menetes, katanya Jihyo beruntung membawa anak itu ke rumah sakit dengan cepat.

Air hujan yang sempat dihirup oleh si bayi belum sampai memasuki paru-paru, meski begitu dia masih belum bisa dikatakan baik. Karena air yang terhirup ketika si kecil mencoba bernapas, membuat pita suaranya menjadi kejang dan menutup jalan pernapasan. Sehingga berakhir dengan kesulitan untuk menghirup udara.

Saat itu Jihyo memohon keras pada sang Dokter, meminta agar anak itu berhasil diselamatkan, bagaimana pun caranya.

Dan setelah menjalani penanganan lebih lanjut, akhirnya Jihyo bisa merasa lega saat melihat si kecil kembali bernapas, meski dengan bantuan alat. Dia benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri, jika sesuatu yang lebih buruk terjadi pada bayi manis ini.

"Aku tahu, kau juga berhak hidup." Usapan sayang diberikan pada pucuk kepalanya. Jihyo memasang senyum yang sangat lembut, "kau berhak melihat dunia."

Karena Tuhan masih mengizinkan ia untuk bernapas.

"Maaf telah membuatmu seperti ini."

Mungkin saja, jika Jihyo tidak langsung menuduh suaminya dengan pikiran yang buruk, ini tidak akan terjadi kan?

Entahlah, siapa yang tahu.

Kini dia beralih menggenggam tangan yang lebih mungil, "tapi aku mohon, aku ingin mempercayai suamiku. Aku berharap dia telah mengatakan yang sebenarnya."

Not a Mistake | •yhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang