"Lo suka baca buku, kenapa lo nggak pinter?" Al mendongak menatap gadis yang berdiri di hadapannya.
"Lo pinter karena suka baca?" tanya Al balik, manik matanya menatap lekat seorang gadis yang kini duduk berdampingan dengannya.
"Enggak juga. Gue suka baca buku karangan, bukan buku pelajaran," balas gadis itu dengan tenang. "Gue bisa pinter karena gue ada usaha buat belajar."
"Itu. Gue terlalu males buat usaha," tutur Al dengan santai. Pandangannya kembali terpusat pada buku sejarah yang sedari tadi ia baca.
Gadis itu hanya mengangguk tanpa berniat menyangkal ucapan Al yang terdengar bagai orang tak peduli akan pendidikan.
"Hp lo udah balik, Van?" tanya Al berbasa-basi berusaha mencairkan suasana yang mendadak canggung.
Gadis yang Al ketahui bernama Vania, mengangguk setelah menatap Al sekilas. "Udah, barusan gue ambil ke ruang konseling."
Seminggu telah berlalu. Masih dalam kelas yang sama, siswa-siswi IPS 3 sedang memanfaatkan waktu istirahatnya. Waktu istirahat telah berjalan sepuluh menit. Namun, ada beberapa siswa yang masih setia berada di kelas, salah satunya adalah Al dan Vania.
Mereka bagai pasangan yang sedang berkencan diam-diam. Mereka duduk berdua pada bangku yang berada di barisan paling belakang. Al yang terpisah dengan teman-temannya merasa sendirian, hingga akhirnya memilih bangku yang enak untuk menyendiri, begitu juga dengan Vania.
"Al, basket. Indoor, ya." Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi berteriak dari luar kelas Al lalu berlari.
"Oke." Al memasukkan buku sejarahnya ke dalam ransel hitam miliknya. Ia bangkit untuk segera berlari menyusul kawan-kawannya. Namun, ia memilih berbalik badan hanya untuk mengajak Vania. "Ikut, nggak? Daripada lo di sini, boring."
"Hm ... boleh, deh." Tanpa pikir panjang, Vania berjalan mengekori Al menuju ruang basket yang tertutup. Mereka berjalan dalam keheningan, tanpa pembicaraan.
"Lo nonton dari sana aja," ucap Al sembari menunjuk tribun penonton.
Vania menurut, lantas berjalan menghampiri bangku khusus untuk penonton. Tiga menit berlalu, seorang teman Al tiba-tiba tersenyum padanya. Vania menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa senyum itu memang dilempar untuknya. Kosong. Vania tidak menemukan siapapun di belakangnya.
Astagfirullah, jantung gue, batinnya menjerit melihat senyum manis seorang pangeran bergaya preman. Tanpa menunggu lebih lama, Vania mengeluarkan ponselnya lalu menjepret ciptaan Tuhan dengan ketampanan bagai pangeran. Tepat. Pangeran dengan gaya preman itu kembali tersenyum padanya saat flash kamera menyala.
Vania panik bukan main karena tertangkap basah memotret lelaki itu. Hp ini, bikin malu aja!
Vania mengirim gambar itu pada sebuah grup chat bergosipnya.
[Ada yang kenal?] tulis Vania tepat berada di bawah foto seorang laki-laki yang sedari tadi ia sebut pangeran dengan gaya preman.
Baru dua menit pesan tersampaikan, banyak notif masuk pertanda bahwa banyak balasan. Jari lentiknya bergerak cepat membalas pesan dari teman-teman bergosipnya.
[Lo di mana? Kita mau nyusul] Salah satu balasan dari sahabatnya. Vania mengetik lokasinya berada saat ini dengan senyum manis yang tak pudar.
Memang, lelaki tampan membuat kita kehilangan kesadaran dengan keadaan sekitar. Seperti Vania yang saat ini tidak sadar sedang dilirik sinis oleh beberapa gadis lain yang ikut menonton permainan basket dari para pemain terhebat SMA Bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alih Hati [On Going]
Teen FictionAl termotivasi untuk unjuk diri dengan prestasi hanya karena ucapan angkuh seorang gadis yang telah lama memegang takhta. Meski ia tidak berniat untuk merebut posisi ternyaman gadis itu, tapi, keberuntungan berpihak padanya untuk merebut segala yang...