📖empat belas📖

51 10 0
                                    

Pagi hari yang cerah ditemani oleh mentari yang menunjukkan sinar hangatnya. Begitu juga dengan sepasang remaja yang mengumbar kemesraan dengan bergandengan tangan.

"Kamu nanti ada latihan?" Vania bertanya pada kekasihnya.

"Maunya kamu gimana? Aku nurut deh," balas laki-laki yang sudah menjadi kekasih Vania selama dua bulan belakangan ini.

"Kalo ada latihan, nggak papa latihan aja. Biar aku nanti dijemput Barra," tutur Vania dengan senyum yang tak pudar. Bahkan, genggaman tangan mereka semakin mengerat.

"Tungguin aku bentar ya, pulangnya sama aku aja. Kamu nonton aku latihan basket dulu, gimana?"

"Yaudah, nggak papa." Vania menatap ceria kekasihnya yang dibalas tepukan pelan dipucuk kepalanya.

Mereka melanjutkan berjalan. Seperti hari-hari sebelumnya, sang kekasih akan selalu mengantar dirinya dengan selamat sampai di kelas XI IPS 3.

"Wei, wei! Ini orang bucin banget nggak sih, kemana-mana pasti nggak lepas tu tangan!" Bimo menggoda pasangan baru itu dengan tawa yang mengudara.

"Iya, ya, nggak peduli sama sekitar banget lo, Bar! Lihatlah kaum jomblo ini yang begitu iri!" Satya pun menyaut ucapan karibnya. Tak habis-habisnya mereka menggoda pasangan baru yang sukses menggemparkan sekolah.

Ya, Akbar Alaska merupakan laki-laki yang sudah dua bulan menjadi kekasih dari seorang gadis yang terkenal akan kecerdasannya. Memang kepribadian mereka berkebalikan, namun jika kata cinta sudah terucap apa yang manusia bisa lakukan?

Sepasang kekasih itu hanya tertawa. Vania merasa nyaman berada di dekat mereka, belum lagi Akbar yang overprotektif padanya. Vania merasa benar-benar spesial karena sikap Akbar yang tak pernah berubah pada dirinya.

"Yaudah aku masuk, ya," pamit Vania menatap Akbar. Tangan kanannya terangkat merapikan dasi Akbar yang terlihat berantakan. "Kayak anak kecil, berantakan. Dadah!"

Vania memasuki kelasnya dengan senyum yang tak pudar.

"Bolos?" Akbar menatap dengan senyum penuh arti pada teman-temannya.

Al yang akan menyaut antusias ajakan Akbar terpotong oleh dehaman Noufal.

"Ada Pak Ketos, berani kalian, hah? Mau sampe kapan begini?" ucap Al dengan mata melirik Noufal waspada yang menjadi akhir pembicaraan.

***

Jam istirahat telah berlalu. Setiap siswa kembali memasuki kelasnya. Al melirik Vania dari sudut matanya. Ada kata yang ingin ia sampaikan, namun Al sadar waktu belum mengizinkan.

"Tolong makanan yang belum habis cepat dihabiskan, Bapak hitung sampai sepuluh." Pak Riko memberi intruksi saat kaki kanannya baru saja menyentuh lantai kelas XI IPS 3.

Semua siswa berhamburan menuju bangkunya masing-masing, tidak sedikit juga yang berlari sembari membawa makanan ditangan kanan kirinya.

"Satu, sepuluh! Baik, untuk makanan yang belum habis boleh dibuang ataupun disimpan. Jika Bapak tau ada yang makan di kelas, dengan senang hati akan Bapak suruh keluar setiap jam pelajaran sejarah!" ucap Pak Riko yang dihadiahi desah kecewa para siswa.

Kebiasaan unik Pak Riko disetiap kelas adalah menghitung secara singkat. Ia tidak suka ada murid yang membuatnya menunggu terlalu lama, atau melanggar aturan yang ia buat.

"Ya, baik. Untuk pelajaran kali ini Bapak akan minta kalian memperlajari sebuah buku yang menceritakan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Untuk perwakilan Bapak akan meminta ...." Pak Riko menggantung ucapannya sembari melirik siswa-siswi yang berada di kelas tersebut. "Vania dan akan dibantu oleh Al untuk mengambil buku tersebut di perpustakaan."

Alih Hati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang