Barra membisu mendengar penuturan Vania yang kembali membuka luka lama. Barra tak menangis, ia hanya meringis mendapati dadanya yang tiba-tiba sesak.
"Kak." Barra menyangkal Vania yang ingin berlari ke lantai atas, kamarnya.
Beberapa detik, tatapan mata mereka bertemu seolah memancarkan duka yang mendalam. Menyoba berbagi luka yang sudah lama terpendam. "Lepas!"
Vania berlari meninggalkan Barra dan juga kedua orang tuanya. Barra menatap sendu kepergian sang kakak yang selama ini ia anggap sebagai malaikat pengganti sang bunda.
"Puas, kan?" Barra tersenyum pada Asya. Tubuhnya memutar, melangkahkan kakinya menyusul sang kakak.
Barra benar-benar terluka. Ia tidak mengeluarkan air mata walau luka lama kembali terbuka. 'Laki-laki tidak boleh gampang menangis!' Prinsip yang selalu Barra pegang teguh.
Setelah sekian lama sang kakak yang mencoba terlihat kuat, kini saatnya untuk Barra mengambil alih beban berat. Barra tersenyum. Marah pun percuma, semua sudah berlalu. Namun, untuk memaafkan Barra tidak bisa, sebab luka itu sudah terlanjur menggores dada.
Pintu kayu yang tempo hari ia buka paksa, tak tertutup rapat. Mulanya Barra mengintip memastikan bahwa sang kakak tidak melakukan hal yang membahayakan dirinya.
"Aaa...!" Barra meringis mendengar teriakan Vania yang begitu nyaring.
Ia tersenyum yakin bahwa kakaknya tidak akan melakukan hal yang sia-sia. Barra masih setia menunggu di ambang pintu kamar Vania. Ia menunggu agar sang kakak tenang terlebih dahulu.
Mata Barra memicing melihat Vania yang mondar-mandir membawa berbagai barang. Apa ia akan pergi? pikir Barra.
"Kak, ngapain?" tanya Barra saat memberanikan diri memasuki kamar kakaknya.
"Beres-beres, kamar gue berantakan banget," jawab Vania masih dengan air mata dan juga isakannya.
Barra mengernyit. Batinnya bertanya-tanya. "Yaudah, lanjutin aja."
Barra melangkah mendekati kasur ukuran normal milik sang kakak. Ia merebahkan dirinya dengan mata terpejam. Bayangan tentang beberapa tahun silam kembali datang. Dimana saat itu, luka pertama datang menghancurkan masa kanak-kanak yang ceria.
***
"Barra, Barra nggak boleh keluar, ya, kalo Vania nggak nyuruh Barra keluar." Barra kecil hanya mengangguk patuh melihat sang kakak yang berucap dengan tubuh bergetar.
Barra kecil yang masih menginjak di kelas empat sekolah dasar hanya mampu menuruti perintah sang kakak tanpa bertanya apa yang terjadi sebenarnya. Ia jelas mendengar teriakan, bentakan, serta isakan yang entah dari siapa asalnya.
Barra menuruti perintah sang kakak yang menyuruhnya masuk ke kamar. Ia menunggu di ambang pintu. Apa yang terjadi setelahnya.
"Kak," lirih Barra saat mendengar pecahan kaca tepat di depan pintu kamarnya.
Naluri laki-laki Barra untuk melindungi bangkit. Ia berlari menghampiri sang kakak yang terdiam dengan air mata bercucuran.
"Kakak nggak papa?" tanya Barra melihat sang kakak menangis tanpa suara.
"Barra, kamu tetap di dalam!" Vania berujar panik. Ia menoleh beberapa kali pada pusat keributan.
Barra mengikuti arah pandang sang kakak. Ia melihat sosok perempuan yang tengah membanting banyak barang. "Bunda," lirih Barra dengan mata berkaca-kaca.
"Ayo, masuk!" Matanya tertutup oleh telapak tangan sang kakak. Langkah kecilnya dituntun untuk memasuki kamar keduanya.
"Maaf," lirih Vania memeluk Barra penuh kasih sayang. Barra tidak mengerti apa yang terjadi. Namun, sejak saat itu hidupnya tak lagi berwarna, hanya dibayang-bayangi sebuah trauma.
![](https://img.wattpad.com/cover/216767139-288-k584617.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alih Hati [On Going]
Teen FictionAl termotivasi untuk unjuk diri dengan prestasi hanya karena ucapan angkuh seorang gadis yang telah lama memegang takhta. Meski ia tidak berniat untuk merebut posisi ternyaman gadis itu, tapi, keberuntungan berpihak padanya untuk merebut segala yang...