📖satu📖

243 37 6
                                    

"Anti ngaret-ngaret club!" teriak seorang gadis dengan seragam putih abu-abu yang ia kenakan. Kaki panjang nan putih miliknya melangkah memasuki sebuah kelas baru yang akan ia tempati di tahun ajaran baru.

"Berisik, tau, nggak!" saut siswa lain menutup kedua telinganya.

"Nggak ngaret, tapi dateng paling akhir," cibir seorang laki-laki dengan pandangan yang fokus pada buku sejarah miliknya.

"Yang penting kan guru belum dateng!" cetus gadis itu membalas cibiran siswa laki-laki.

Gadis dengan seragam putih abu-abu dan ransel hitam yang berada di punggungnya, duduk di sebuah bangku sekolah bersama seorang siswa laki-laki yang tengah fokus pada buku sejarahnya.

Rambut yang digerai milik gadis itu seolah menambah kesan feminim dalam dirinya. Siapa yang tidak kenal dengan Vania Putri Anggara? Gadis dengan senyum manis serta kecantikan tingkah laku yang ia miliki. Wajah yang terkesan biasa saja, tapi tidak membuat dirinya dikucilkan. Sebab, ia memiliki banyak teman yang memandang bukan hanya dari segi fisik, tapi juga perkataan dan perangai.

"Kenapa duduk bareng gue?" tanya siswa laki-laki di sebelahnya.

"Mau aja. Emang sekolah punya lo?" ketus gadis yang akrab disapa Vania.

Laki-laki tersebut menatap jengkel pada Vania. Vania dengan keangkuhannya justru menyibakkan rambut yang helaian rambutnya menabrak wajah laki-laki itu.

"Mimpi buruk apa gue semalem, bisa satu kelas sama lo?" gerutu siswa laki-laki yang kembali memusatkan pandangan pada buku sejarah yang sedari tadi ia baca.

Vania menjulurkan lidahnya membalas ucapan laki-laki itu, bermaksud untuk mengejek.

Sedikit menjelaskan situasi dalam kelas. Ramai. Meski baru memasuki tahun ajaran baru, tidak membuat siswa SMA Bintang kelas XI IPS 3 terdiam.

Berlarian sana-sini, berteriak, bernyanyi, semua dilakukan oleh siswa XI IPS 3. Jika ditanya kemana perginya para guru, mereka sedang sibuk mengawasi siswa baru di gedung seberang.

Sekolah menengah atas dengan fasilitas kalangan atas yang tetap menegakkan peraturan seperti sekolah umumnya. Namun, tidak sedikit siswa yang berani melanggar peraturan.

Seperti saat ini, Vania dan beberapa siswa lainnya asik berfoto ria di kelas. Dalam tata tertib sekolah dituliskan, bahwa siswa dan siswi tidak diperbolehkan bermain ponsel cerdas saat jam pelajaran berlangsung. Namun, banyak siswa siswi yang melanggar, seperti bermain game di kelas, menggulir beranda media sosial, dan masih banyak lagi.

"Awas! Minggir!" usir Vania dengan kasar pada laki-laki yang menjadi teman sebangkunya.

"Nggak jelas!" ketus laki-laki itu, merasa jengkel.

Vania berjalan tanpa mengucap kata permisi. Perlahan, kecantikan tingkah laku gadis itu dipertanyakan oleh laki-laki yang menjadi teman duduknya. Tatapannya terlihat angkuh bak ratu yang memerintah bawahannya.

"Nggak usah keluar, nanti disita baru tau rasa!" Peringat teman sebangkunya saat melihat Vania yang melangkahkan kaki menuju pintu kelas.

"Disita, tinggal beli lagi," balas Vania dengan santai.

"Cih!"

Vania tak lagi mengindahkan umpatan siswa itu. Ia melangkahkan kakinya menuju koridor tepat di depan kelasnya. Pemandangan dari lantai tiga yang langsung terpampang keindahan ibu kota membuat Vania betah untuk berlama-lama.

Vania menopang dagu dengan kedua tangannya. Mata indah dengan pupil cokelat khas orang asia, tidak berkedip menatap gedung-gedung tinggi yang berada di pusat kota.

Mentari masih menyinari dengan sinar yang membawa kehangatan. Vania tersenyum tipis menatap mentari yang menyilaukan. Ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk melihat mentari yang kembali memunculkan seri.

Tanpa ragu, Vania mengeluarkan ponsel pintar miliknya, ia membuka sebuah aplikasi untuk berfoto, kemudian menjepret pusat surya bersama langit cerah yang mendampinginya. Vania tersenyum melihat hasil jepretannya yang cukup memuaskan.

Dengan senyum merekah, Vania membuka salah satu media sosialnya, lalu mengupload hasil jepretannya ke sana dengan caption yang puitis.

"Upload!" seru Vania dengan semangat. Ibu jarinya menekan tombol 'kirim' agar postingannya dapat terunggah.

"Update status terus!" sentak suara berat yang berada tepat di belakangnya.

Vania menegang. Ia meneguk salivanya susah payah. Vania sangat tahu siapa yang berbicara. Dengan ragu ia membalik tubuhnya. Mampus! Pak Ikbal!

"Seminggu lagi!" tukas suara berat mengambil paksa telepon cerdas milik Vania.

"Yah ... Pak, jangan gitu, dong," rengek Vania berusaha membujuk seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam guru agar mau mengembalikan telepon cerdas miliknya.

"Baru masuk udah main hp, mana di luar kelas, lagi! Bapak suruh kalian di dalam, terserah mau ngapain yang penting jangan berisik!" gerutu sang guru dengan langkah cepat memasuki kelas.

Vania hanya mengekori dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan. Bibirnya maju ke depan dengan wajah masam. Perasaan ceria yang tadi menyelimutinya kini menjadi kesal karena menyesal.

"Tadi juga banyak yang main hp di kelas, Pak!" protes Vania yang masih merasa tidak adil.

"Mana? Sekarang semuanya duduk rapi, di dalam kelas, dengan tangan yang dilipat di atas meja. Bapak juga tidak melihat ada yang sedang memainkan handphone," balas guru tersebut yang akrab disapa Pak Ikbal dengan mata yang bergulir seperti mencari sesuatu.

"Tadi, sebelum Bapak ke sini, banyak, Pak!" protes Vania lagi dengan bibir mencebik kesal.

"Selama Bapak nggak lihat, kalian aman," tutur Pak Ikbal dengan senyum miring.

"Aish, Bapak!" rengek Vania dengan wajah semakin masam.

Satu kelas tertawa melihat perdebatan kecil antara wali kelasnya dengan Vania yang diketahui sebagai murid tercerdas. Namun, akhir-akhir semester di kelas sepuluh, dirinya sering tertangkap memainkan telepon cerdas di jam pelajaran.

Vania memiliki hobi baru berupa membaca dan juga merangkai kata. Semua bermula karena kedua sahabatnya yang mengunggah potongan cerita distatus salah satu aplikasi bertukar pesan. Vania yang awalnya hanya gemar menghitung dengan metode jarimatika, kini juga gemar merangkai kata dengan diksi yang sedang ia pelajari.

Vania berjalan gontai kembali pada bangku yang menjadi tempat duduknya bersama seorang laki-laki yang ia duga pun hobi membaca.

"Disita, tinggal beli lagi!" cibir siswa itu saat Vania berdiri di hadapannya.

Vania memutar bola matanya malas dengan bibir mengerucut.

"Nggak usah gitu, ntar gue suka lo nggak bisa apa-apa."

***
Hai, selamat datang dicerita pertamaku yang penuh akan kekurangan😁
Tetap gulir sampai part terakhir ya, love you❤

GLOSARIUM
Perangai:
1) Sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan perbuatan; watak
2) Cara berbuat; tingkah laku; kelakuan
3) Cara khas seseorang dalam bereaksi terhadap berbagai macam fenomena

Alih Hati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang