"Lo yakin ini rumahnya?" Al menoleh pada Akbar dan Satya yang berada di sisi kanan-kirinya.
Akhir pekan yang penuh dengan harapan. Al dan dua kawannya menandangi sebuah rumah tua bermodel Jawa. Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, tapi hari Al sudah dipenuhi harapan yang tinggi.
Kedua sahabatnya mengangguk untuk meyakinkan Al yang merasa ragu.
Kaki kanan Al melangkah, tangannya mengudara berusaha memanggil seseorang dengan mengetuk pintu kayu yang diyakini sebagai pintu utama.
"Assalamualaikum," salam Al masih dengan tangan kanan mengetuk pintu.
Al terdiam ketika mendengar suara gaduh yang berasal dari dalam rumah. Mereka bertiga saling menatap seolah mengatakan bahwa kali ini semuanya akan terungkap.
"Assalamualaikum." Terdengar suara gaduh tapi tak ada yang keluar untuk sekedar bertanya siapa mereka sebenarnya.
"Waalaikumsalam," saut suara lirih dari dalam.
Al tersenyum simpul. Angan tentang kembalinya sebuah kebahagiaan akan segera menjadi nyata. Dirinya berharap agar wanita yang memegang kendali atas dirinya mau kembali bersama.
Pintu kayu itu terbuka, menampilkan seorang wanita tua dengan kacamata dan pakaian khas Jawa. "Kalian siapa?" tanya wanita itu menatap Al, Akbar dan Satya bergantian.
"Saya Al, Nek, dan ini teman-teman saya," ucap Al sopan, mengambil tangan wanita tua itu lalu mengecupkan.
"Masuklah."
Al dan kedua temannya mengekori nenek tersebut. Mata Al berkelana mencari seorang wanita yang menjadi pujaannya.
Rumah kecil dengan bunga yang memenuhi halaman. Dominan berwarna cokelat, kental akan budaya Jawa. Bagai rumah-rumah adat yang berada di Jogja. Al teringat akan sebuah kenangan yang masih melekat dalam ingatan. Kenangan tentang kebersamaan bersama belahan jiwanya.
***
Dua tahun lalu, Al yang saat itu masih menginjak bangku sekolah menengah pertama harus diterpa berbagai luka. Masa remaja yang ia bayangkan akan seindah alur cerita, nyatanya tak berjalan sesuai keinginan.Sebuah taman di sebuah perumahan ia jadikan tempat pelampiasan. Banyak batang pohon besar yang menjadi saksi tangisannya. Al saat remaja tak memiliki sama sekali kebahagiaan. Didikan sang ayah yang keras membuat ia merasa sendirian, tak ada yang menyayanginya.
"Kata ibuku, anak laki-laki nggak boleh cengeng." Suara lembut khas seorang wanita memenuhi indra pendengarannya. "Kamu nangis kenapa?"
"Gue nggak nangis." Al memalingkan wajah sembabnya.
"Bohong! Kamu habis diputusin pacar, ya," tebak wanita itu, yang lebih pantas dipanggil seorang gadis.
"Masih kecil, mana boleh punya pacar!" balas Al ketus.
Gadis itu mengangguk lucu dengan bando mickey mouse yang ia kenakan. Al melirik sekilas penampilan gadis tersebut. Kekanakan, batin Al tertawa setelah melihat penampilan gadis yang sedari tadi duduk di sampingnya.
Kaos oblong berwarna pink dengan rok hitam pendek yang ia kenakan membuat batin Al berdecih meremehkan, Apa yang seorang bocah tahu tentang kerasnya masa remaja?
"Apapun yang buat kamu sedih, jangan pernah berpikir bahwa kamu sendirian. Aku sudah di sini, ceritakanlah apa yang mau kamu ceritakan, aku siap mendengar." Gadis itu tersenyum menatap Al yang menoleh cepat dengan raut wajah bertanya-tanya.
***
"Kalian mau apa ke sini?" Wanita paruh baya dengan pakaian khas Jawa berhasil meruntuhkan lamunan Al yang tengah mengenang sebuah kenangan. "Diminum dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alih Hati [On Going]
JugendliteraturAl termotivasi untuk unjuk diri dengan prestasi hanya karena ucapan angkuh seorang gadis yang telah lama memegang takhta. Meski ia tidak berniat untuk merebut posisi ternyaman gadis itu, tapi, keberuntungan berpihak padanya untuk merebut segala yang...