📖dua puluh📖

38 5 2
                                    

Keheningan menyelimuti kedua remaja di bangku taman dengan cahaya remang-remang. Hari sudah berganti menjadi malam, matahari tenggelam digantikan benderang bulan.

"Nggak ada yang mau kamu omongin sama aku?" Akbar membuka pembicaraan tanpa menatap kekasihnya.

"Loh, emang aku salah apa? Aku nggak bentak kamu, aku nggak selingkuh dari kamu. So, salah aku dimana?" Vania berujar cepat dengan emosi yang mulai tersulut.

"Sebelumnya aku nggak pernah dibentak siapapun, dan kamu orang pertama. Lucunya lagi aku masih ada rasa sama kamu," ucap Vania lagi yang saat ini sembari menatap lekat kekasihnya.

"Maaf." Akbar menghela napas setelah berhasil mengucap kata sederhana namun penuh makna.

"Cuma itu?" Alis Vania terangkat satu, rasanya benar-benar jengkel berbicara dengan kekasihnya. "Buang-buang waktu aku, mending aku belajar daripada kita ketemu dan cuma ribut!"

Vania bangkit dari duduknya, ia berniat kembali ke rumah tanpa mengucap kata apapun pada kekasihnya. Namun, ia kalah cepat dari Akbar yang menarik pergelangan tangannya.

Akbar memeluk erat Vania saat gadis itu jatuh dipelukannya. Tidak mengucap apapun, Akbar hanya mendekap kekasih yang tidak dicintainya itu.

"Bar!" Vania memberontak, mencoba melepaskan rengkuhan Akbar.

"Gini aja sebentar." Akbar mendekatkan kepalanya pada telinga Vania sebelum berujar. "Gue minta maaf sebelumnya ya, lo boleh benci gue saat udah tau semuanya."

Akbar merasa dalam dirinya ada sesuatu yang aneh. Ia merasa bersalah padahal belum melakukan apapun. Hati kecilnya benar-benar tidak tega untuk menyakiti gadisnya yang tidak tahu-menahu apapun.

"Maksud lo?"

"Pulang gih, apa mau gue anter?" Akbar mengalihkan topik pembicaraan. Ia membuang muka karena semakin lama bertatap mata dengan Vania akan semakin tidak tega untuk melakukan aksinya.

"Pengalihan topik!" Vania buru-buru menjauh, kemudian berbalik meninggalkan Akbar yang diam dengan senyum lembut menatap kekasihnya yang menjauh.

"Maaf, karena setiap tindakan harus ada sesuatu yang dikorbankan." Tatapan mata Akbar sendu. Senyum tipis yang terpatri pun terlihat tulus.

Akbar menghela napas sebelum melangkah menjauhi taman tersebut. Aku yang memulai maka, aku juga yang akan membuat semuanya selesai.

***

Hari sudah berganti, setelah malam dimana Akbar yang mengucap kata aneh pada Vania, kini pagi tiba. Dengan langkah tertatih, seorang gadis dengan rambut terurai sepanjang bahu mencoba memasuki kelasnya.

Sepulang Vania dari bertemu Akbar, gadis itu merasa seperti dikejar hantu. Ia berlari dengan cepat tanpa memedulikan keadaan sekitar.

Malam itu.

Vania berjalan ditemani bulan berbentuj sabit yang bersinar terang. Tidak ada bintang yang bertaburan, Vania sudah mendongak untuk memastikan. Gadis itu berjalan sendirian tanpa teman berbincang. Terlihat daerah sekitarnya begitu remang karena kurang banyaknya lampu penerang.

Ia berjalan sambil melamunkan perkataan Akbar yang seolah memiliki maksud lain. Jangankan untuk merasa takut, angin malam yang menyapa kulitnya pun tidak ia pedulikan. Dengan kaos lengan pendek serta celana selutut yang ia kenakan, seharusnya Vania merasa kedinginan dan terusik dengan nyamuk atau pun angin malam yang nakal menyapa.

Alih Hati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang