"Hidup gue nggak guna banget, ya, bisanya cuma bagi beban ke orang." Vania berujar dengan suara parau. Lipatan tangannya menjadi tumpuan untuk kepala yang ia geletakkan di meja.
"Wajar, kok. Lo juga manusia, Van, dan setiap manusia butuh tempat cerita," balas Al dengan lembut. Telapak tangan kanannya terulur mengusap puncak kepala Vania yang masih senantiasa menyembunyikan wajahnya.
Dua jam sudah berlalu. Mereka benar-benar lupa waktu. Baik Al ataupun Vania terhanyut dalam perasaannya masing-masing.
Beberapa menit yang lalu, Vania baru selesai menumpahkan segala rasa sakit dihatinya yang selalu ia rasa sendirian. Entah mengapa, Vania benar-benar percaya pada Al, ia tidak berpikir panjang. Sesampainya mereka di rumah Vania, Al dan Vania langsung menempati sepasang bangku yang terdapat meja ditengahnya. Tanpa perlu menunggu lama, tumpahlah sudah tangis dari Vania.
Al pun merasa iba, ia mendengar segala cerita yang gadis itu. Ia hanya mengangguk dan berkata 'iya' tanpa memberi saran atau apapun.
"Makasih, ya, maaf gue jadi nambah beban," tutur Vania mengangkat sedikit wajahnya untuk mengintip bagaimana reaksi Al.
"Angkat wajah lo, ngapain jadi kayak orang main petak umpet gini, sih!" Alis Al bertaut, tidak senang.
"Mata gue sembab, ingus gue kemana-mana. Nanti lo ilfeel," balas Vania seadanya.
Al memutar bola matanya, kesal, kemudian berujar, "Gue suka sama lo, jadi apapun keadaan lo bakal gue terima."
"Sekalipun gue pembunuh?" saut Vania cepat.
"Iya, gue bakal jadi bucin tolol yang akan ngeluarin lo dari penjara." Al berujar yakin. "Eh, tapi, lo nggak bunuh orang beneran kan?"
Vania mengangkat wajahnya kemudian mengelap sisa-sisa air mata dan sedikit lelehan lendir dari hidungnya. "Gue emang nggak bunuh orang, tapi gue emang pembunuh," ucap Vania setelah selesai dengan kegiatan menyeka sisa air mata. Wajahnya berubah menjadi serius.
"Sial, lo bunuh apa?"
Vania menampilkan senyum miringnya, berlagak menjadi seorang psikopat seperti yang sering ada dalam drama. "Gue bunuh ... nyamuk!" Vania meninggikan nada suaranya saat mengucap nama hewan yang ia bunuh. Al pun berjengit, terkejut karena nada bicara Vania yang tiba-tiba meninggi.
"Sialan anak ini!" Al menengok kanan-kiri seolah mencari sesuatu. Sedangkan, Vania kini terbahak karena melihat ekspresi Al yang awalnya benar-benar serius sekaligus khawatir kemudian berubah menjadi terkejut secara tiba-tiba.
"Nyari apa lo?" Vania berkata ditengah-tengah tawanya.
"Batu yang gede, jadi sekali timpuk lo mati!" Al berucap ketus dengan wajah masam.
"Ulululu, marah ni ceritanya." Vania kembali terbahak setelah meledek Al.
Al yang semula kesal pun perlahan melunak, ia ikut tersenyum tipis. Tatapannya tidak lepas dari Vania yang tidak sadar jika Al sedang menatapnya.
Berbanding terbalik dengan Vania beberapa saat yang lalu, kini gadis itu tersenyum ceria bagai tidak ada masalah apapun dalam hidupnya. Sedangkan, beberapa saat yang lalu gadis itu benar-benar menangis seolah tidak akan ada lagi hal baik yang datang dalam hidupnya.
Bukankah ini sama seperti yang aku rasa? Bedanya, aku menyadari dan berusaha untuk terlepas dari belenggu menyakitkan itu. Al membatin, masih menatap Vania lekat.
"Jangan diliatin, nanti gue baper lo nggak mau tanggung jawab," ujar Vania dengan alis naik-turun entah bermaksud untuk apa.
Al menampilkan senyum miring. "Mau kok, bahkan diajak untuk jadi selingkuhan pun gue mau."
"Musuh dalam selimut lo!" Tawa mengudara dari keduanya. Tanpa mereka ketahui Barra mengintip dari balik jendela.
Barra memang tahu jika Vania memiliki banyak luka, tapi entah mengapa kakaknya itu tidak mau bercerita padanya. Dalam lubuk hati Barra, ia sedikit merasa kecewa. Dirinya seolah tidak bisa menjadi teman cerita. Tanpa diketahui siapapun, Barra beranjak pergi menyambar kunci motornya. Kemana pun, ia akan pergi kemana pun yang bisa menenangkan suasana hatinya.
***
"Mari kita tempur!" Vania mengambil pulpen hitam sekaligus buku tebal yang berisikan berbagai macam sejarah kerajaan di Indonesia.
Hari sudah berganti malam. Lampu utama kamarnya pun ia matikan, Vania hanya menyalakan lampu belajar yang tepat menyorot pada buku yang kini berada di hadapan.
Bola matanya mulai bergulir, membaca setiap kata yang menjelaskan sejarah kerajaan di Indonesia. Beberapa kali ia menggaris bawahi kalimat yang menurut gadis itu penting. Vania tidak menghafal tapi ia akan ingat jika sedang mengerjakan soal latihan.
Ting!
Notif ponselnya berbunyi. Vania tidak berniat untuk membuka pesan tersebut, namun saat berbunyi untuk ketiga kalinya, Vania kini tergoda. Ia membuka ponselnya, menatap aplikasi bertukar pesan yang menunjukkan ada tiga pesan masuk.
Tanpa berpikir lebih lama, gadis itu membuka pesan yang tertera dari seseorang yang kontaknya ia beri nama Al.
[Tidur, jangan dipaksain kalo udah ngantuk!] Pesan terakhir dari Al.
Ia mengulum senyum bagai seorang wanita yang dirayu kekasihnya. Vania tidak membalas dengan kata, melainkan ia membalas dengan stiker yang menunjukkan ibu jari.
"Ini ceritanya gue suka sama Al, nih?" Vania terkekeh menyadari perasaannya.
"Baperan banget, cuma jadi tempat cerita tau-tau jadi suka." Lagi dan lagi ia bermonolog. "Pacaran sama Akbar sukanya sama Al, nggak apa deh, itung-itung buat cadangan!" Vania terbahak saat menyadari ucapannya yang tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Gadis itu seolah lupa dengan kegiatan awalnya. Kini ia hanya terpejam, membayangkan sesuatu yang mustahil terjadi. Masalahnya dengan Akbar pun belum selesai kini hatinya sudah diisi oleh laki-laki lain.
"Emang ya, cewe itu bener-bener hebat! Bisa mencintai dua laki-laki dalam satu hati," ujarnya dengan senyum lebar.
"Loh, kok, bukannya belajar malah senyum-senyum nggak jelas!" tegur sang ayah yang entah dari kapan berada di depan pintu kamarnya.
"Eh, Papah kapan pulang?"
"Barusan. Mau ngeliat kamu lagi apa, ternyata lagi didepan buku tapi megang ponsel sambil senyum-senyum." Raksa memasuki kamar putrinya. Menyalakan lampu kamar tersebut kemudian berujar, "Kasian mata kamu kalo belajar gelap-gelapan, listrik yang bayar Papah ini, ngapain kamu harus berhemat?"
"Bukan berhemat, Pah, cuma emang enak aja belajar gelap-gelapan." Vania menampilkan deretan giginya.
"Ngeyel ya!" Raksa mengangkat tangannya seolah ingin menjewer sang putri.
"Jangan dijewer, Pah, nanti telingaku lebar!" Keduanya pun tertawa.
Lagi dan lagi Barra mengintip, ia ikut tersenyum tipis walau hatinya terasa nyeri. Ia merasa jika sang ayah lebih akrab pada Vania dan jarang sekali berbicara dengannya. Gue, kan, laki-laki, jadi ya harus lebih kuat dari Vania, batin Barra berucap lirih.
***
Terima kasih yang masih setia dengan kisah Vania❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Alih Hati [On Going]
Fiksi RemajaAl termotivasi untuk unjuk diri dengan prestasi hanya karena ucapan angkuh seorang gadis yang telah lama memegang takhta. Meski ia tidak berniat untuk merebut posisi ternyaman gadis itu, tapi, keberuntungan berpihak padanya untuk merebut segala yang...