📖dua📖

187 35 0
                                    

"Alvaro Eka Praditya, seorang laki-laki yang saat ini menjadi Bos besar kita semua," seru seseorang saat melihat sahabatnya yang baru saja memasuki area kantin sekolah.

Siswa laki-laki yang dipanggil dengan nama lengkap Alvaro Eka Praditya hanya memutar bola matanya jengah. Dengan langkah panjang, ia menghampiri meja yang terdapat para sahabatnya.

"Apa kabar nih, setelah pisah sama kita-kita?" tanya sahabatnya yang lain sembari bertos ria ala lelaki.

"Not bad," balasnya singkat.

Lima siswa dengan seragam putih abu-abu yang tidak serapi siswa lainnya, tengah berkumpul di kantin sekolah. Mereka bersahabat sejak memasuki jenjang sekolah menengah atas.

Seorang lelaki tampan dengan alis yang tebal, mereka anggap sebagai ketua perkumpulan. Ia, Alvaro Eka Praditya atau biasa dipanggil Al. Gaya pakaiannya bak preman pasar, baju seragam yang tidak ia masukan, rambut berwarna merah terang dengan poni yang panjang, sepatu berwarna hitam-merah yang melanggar aturan, dan kalung tengkorak yang ia kenakan. Meski sudah diperingati berkali-kali, tapi dirinya tak pernah jera.

Begitu juga dengan keempat sahabatnya, Bimo, Rasya, Satya,  dan Akbar.  Walau gayanya tidak separah Al, mereka tetap menggunakan aksesoris yang sama, yang seharusnya tidak dikenakan oleh siswa laki-laki.

Kejar-kejaran dengan guru konseling sudah menjadi rutinitas bagi mereka. Berkali-kali dihukum, berkali-kali diperingati, tetap tidak ada yang menyerah. Mereka tetap dengan pendiriannya 'kami akan bubar saat mawar tak lagi mekar'. Persis seperti goresan yang ada pada jaket milik mereka.

"Kesan seru apa Bos bro, setelah kita pisah kelas?" tanya Bimo yang potongan rambutnya bagai tentara.

"Nggak ada. Biasa aja," balas Al singkat dengan pandangan mata yang tak lepas dari ponselnya.

Mereka mengangguk serentak. Keempatnya kembali memusatkan pandangan pada makanan yang baru saja datang tanpa mereka pesan.

"Makasih, Bu," ucap Al dengan senyum ramah pada ibu kantin yang nampak kelelahan. Meski gaya yang seperti preman, mereka tidak lupa dengan tutur kata sopan.

"Kemarin gue buka ig, terus liat vidio cowo korea yang nyanyi bareng sama cewe body gitar. Terus, dia dikagumi anak Indonesia gara-gara nggak pegang-pegang," tutur Bimo dengan antusias sembari menunjukkan ponsel pintarnya.

"Cewenya gila, sih," ungkap Rasya dengan bola mata yang membulat. "Tapi kalo gitu doang, gue juga bisa."

"Ngomong doang bisa, tapi itu mata nggak lepas dari hp Bimo," cibir Al dengan pandangan fokus pada makanan miliknya.

Yang dicibir hanya menunjukkan cengiran yang membuat keempatnya merasa jengkel.

"Trending woi di YouTube," kata Rasya menatap layar telepon cerdas miliknya yang menampilkan sebuah aplikasi pemutar video berbasis online. "Jadi fanboy, dah, gua," lanjutnya dengan pandangan mata yang terpusat pada layar ponsel yang miring. 

Keempatnya tertawa mendapati sahabatnya yang jadi menyukai musik Korea karena berita yang Bimo sampaikan.

"Nggak papa, berbuat aja semau lo. Selagi ngefanboy nggak dilarang negara, lo aman karena nggak harus keluar duit buat bayar denda," canda Al yang membuat keempatnya tertawa.

Mereka terdiam beberapa saat untuk menikmati makanan yang terhidang. Tak ada yang bersuara apalagi bercanda tawa. Walau mereka terkesan nakal, tapi tidak pernah melupakan adab saat makan.

"Ada kemajuan?" tanya Al dengan nada bicara serius, setelah menumpuk piring yang menjadi wadah makan.

"Apaan?" Bimo menyaut, otaknya belum merekrut apa yang sebenarnya ketua bicarakan.

Alih Hati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang