📖sepuluh📖

90 20 6
                                    

"Hari yang cukup melelahkan." Vania membanting diri di kasur setelah melepaskan tas ransel yang seharian menempel di punggungnya.  

Gadis itu baru saja sampai di rumah, tak ada yang datang menjemputnya ke sekolah. Ia menunggu hampir setengah jam, sampai akhirnya seorang siswa yang kini menjadi tuannya menawari tumpangan.

Masih dengan seragam putih abu-abu yang melekat di tubuhnya, Vania terpejam sembari menghela napas kasar. Ia seolah membuang segala beban yang hari ini datang. Akbar yang menggombali dirinya terang-terangan, ia yang menangis sendirian di perpustakaan, juga Al yang membelanya di depan banyak orang, masih teringat jelas saat matanya terpejam.

Sembari terpejam ia berpikir keras tentang Al yang tiba-tiba saja bisa meraih nilai tertinggi. Vania begitu heran, bagaimana bisa, taruhan yang diadakan dadakan bisa membuat Al menuai begitu banyak keberuntungan? Ini ujian, walau sudah lama diumumkan apa mungkin Al bisa mengetahui apa yang akan terjadi?

Apa Al cenayang? Pikirnya menjelajah. Vania juga mengingat hukumannya yang harus mengerjakan tugas Matematika milik Al dan juga menjadi asisten pria itu. Memang semena-mena, tapi ia harus menepati ucapannya. Janji adalah janji, jika tidak ditepati artinya mengkhianati.

"Kapan pulang lo?" Suara berat seorang pria membuat matanya terbuka. Vania melirik sini pria tersebut yang berdiri di muka pintu kamarnya. 

"Kenapa nggak jemput gue, Bar?" Vania bangkit dari tidurnya, ia berdiri tegak lengkap dengan tangan bersedekap seolah menunjukkan rasa kesal.

"Basket. Pulang sama siapa, Kak?"

"Al, temen sekolah," jelas Vania sembari merapikan barang-barangnya yang berserakan di lantai.

Barra terdiam beberapa saat sampai akhirnya ia mengangguk lalu berucap,
"Kak, Bunda mau ke sini."

"Ngapain?" Vania menatap Barra yang kini juga menatap dirinya.

"Jelasin yang sebenarnya terjadi. Let's listen to the explanation this time," pungkas Barra kemudian berjalan menuju kamarnya setelah melihat Vania mengangguk pelan.

Waktu berlalu dengan cepat, kini hari sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Vania juga Barra tengah bersiap menanti sang Bunda yang akan datang. Entah hanya kebetulan atau Tuhan yang memihak pada wanita itu, Raksa atau yang biasa mereka panggil dengan sebutan Papah mengirim pesan singkat yang mengatakan jika dirinya akan pulang larut.

Vania yang akan membalas sekaligus memberi tahu jika wanita itu akan datang ke rumahnya, dicegah oleh Barra. Barra seolah menutupi sesuatu dari dirinya, tapi Vania tetap mencoba berpikir selayaknya saja.

"Dia mau dateng jam berapa?" Vania menatap lekat sang adik seolah mencari tahu sesuatu.

"Nggak lama lagi dia sampai, Kak. Udah nggak jauh dari sini." Helaan napas berat terdengar dari Barra yang menatap ponselnya.

"Lo menutupi sesuatu, ya?"

Barra lagi-lagi menghela napas kemudian menatap dalam sang kakak. "Bunda dateng ke sekolah gue. Kita makan bareng dan Bunda ngasih tau alasan sebenarnya kenapa dia memilih pergi."

"Kenapa?" Vania bertanya saat Barra terdiam menatapnya. Ia begitu penasaran apa yang dikatakan sang bunda sampai-sampai Barra mengajaknya untuk mendengarkan alasan sembari makan malam bersama.

"Biar Bunda yang jelasin dan dia bakal bawa barang bukti, gue harap lo mau dengerin dia kali ini."

"Lo percaya sama kata-katanya dia?" tanya Vania dengan nada berdecih meremehkan.

"Dia punya bukti selama nggak tinggal bareng kita, Kak. Dia punya alasan tersendiri. Dia juga mempertaruhkan hidupnya jika terus sama Papah." Barra menggenggam lembut tangan kiri sang kakak, ia berbicata selembut mungkin agar suasana tak berubah memanas sebelum tokoh utama datang menjelaskan. "Gue harap, lo kali ini bisa dengerin penjelasan Bunda dulu."

Alih Hati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang