📖dua puluh dua📖

50 8 0
                                    

"Sok asik!" Noufal melirik sinis gadis yang sedari tadi berbicara dengan Satria dan kawan-kawannya.

"Anak orang kena mental, Nopal!" Bimo menyaut sembari mengulum senyum. Senang sekali menggoda singa yang saat ini memicing dengan napas memburu seolah siap menerkam siapapun.

"Noufal! Pake F bukan P!"

Semua tergelak, kecuali Desi yang sedari tadi ditatap sinis atasannya.

"Des, lo kenapa takut banget si sama Noufal? Dia atasan lo kalo OSIS, kalo ngumpul begini, ya, kita semua sama." Satria angkat bicara, mungkin merasa kasihan melihat gadis itu yang selalu diam dan menunduk seolah tertindas.

"Nggak papa." Desi mengakui dirinya banyak omong sedari tadi. Itu karena teman-teman Al maupun Noufal memang asik dan selalu merespon tiap perkataannya dengan baik.

"Namanya juga Desi, kalo kalian dah tau sifat aslinya mah bawel banget! Belum lagi dia itu sinting, pelihara lintah di rumahnya." Vania duduk disamping Desi, menggeser Satria yang terlihat sangat dekat dengan sahabatnya.

"Betul, belum lagi kalo kalian sadar tangannya suka biru-biru, kemungkinan itu ulah lintah yang dia pelihara." Rina menyaut, bertukar pandang dengan Vania. Mereka satu pemikiran, mengupas sifat asli Desi di depan teman-temannya.

Gadis yang aibnya sedang dibongkar hanya memutar bola mata malas. Merasa jengkel karena sesuatu yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik justru kini terdengar sampai ke telinga siswa-siswi lainnya yang juga sedang berada di kantin.

Ya, mereka berada di kantin dengan beberapa meja yang dijadikan satu, tempat khusus untuk Al dan kumpulannya, juga Vania dan sahabatnya.

"Diem-diem menghanyutkan, gilak!" Satya yang sedari tadi bungkam kini angkat bicara.

"Anti-mainstream yakan ni cewek." Satya mengangkat sebelah alisnya, ia bertukar pandang dengan Desi. Sedangkan gadis itu kini menjatuhkan kepalanya pada meja kantin, merasa frustasi karena sesuatu yang buruk dalam dirinya tersebar luas.

"Anti-mainstream dari mana?! Itu kan bahaya, mana bisa lintah dipelihara, mau dikasih makan darah siapa, darah lo? Lintah kan nggak bisa dipake berkali-kaki, biarpun lintah medis, itu cuma bisa dipake sekali!" Omel Noufal panjang lebar. Pria itu merasa kesal dengan tutur kata teman-temannya yang seolah membanggakan kebiasaan buruk Desi.

"Gue juga tau." Desi bergumam yang masih bisa didengar semuanya. "Stop buka aib gue Van, Rin. Tutup mulut lo kalo aib lo nggak mau dibongkar balik!"

Semua kembali terbahak kecuali Noufal yang masih terlihat kesal.

Penilaian akhir semester sudah berjalan tiga hari, mereka selalu saja menghela napas dan langsung mengajak kawan-kawannya untuk mengisi perut di kantin sekolah setelah keluar dari ruang ujian. Pusing sama soal ujian yang nggak pernah dipelajarin, itu adalah alasan mereka, terkecuali Al, Vania, Noufal, dan Desi. Pada dasarnya setiap soal yang keluar adalah soal yang pernah dibahas pada pertemuan sebelumnya, hanya saja mereka yang tidak menyimak pelajaran.

Mereka hening sesaat karena makanan yang dipesan sudah berada dihadapan. Namun, pergerakan mereka dihentikan dengan dering ponsel Noufal dan Desi yang berbunyi bersamaan.

"Iya, halo."

"..."

"Sial, gue ke sana." Noufal berlari tanpa pamit dan memedulikan yang lain.

Desi terlihat lebih tenang, padahal ia diberi kabar yang sama seperti apa yang Noufal ketahui.

"Kenapa Des?" Vania bertanya, mewakili teman-temannya yang juga merasa bingung.

Alih Hati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang