📖tujuh belas📖

39 9 0
                                    

Matahari telah tenggelam dan digantikan oleh benderang bulan. Vania sedang duduk di kursi belajarnya. Ia menghadap buku sejarah yang dibuka pada halaman dua puluh dua. Hanya dibuka, ia tidak membaca.

Pikirannya berkelana pada kejadian tadi siang saat Al menegurnya.

Al menarik pergelangan tangan Vania cukup kencang untuk menjauh dari beberapa temannya. "Lo kenapa si, Al?" Vania menarik pergelangan tangannya yang terasa cukup nyeri.

"Perkataan lo, menyinggung gue."

Alis Vania menyatu. Ia mencoba memutar ingatannya. Perkataan apa yang dimaksud oleh Al?

"Yang tau sikap Papah cuma gue, lo cuma melihat sekilas jadi nggak usah ngomong apapun tentangnya!" Napas Al memburu, tatapan matanya pun sengit seolah mengajak Vania bertarung.

Vania masih diam. Mencoba mengingat apa yang dirinya katakan.

"Semudah itu lo lupa setelah mengucap sesuatu yang berhasil menyakiti hati temannya?" Al menekan kata terakhir dalam kalimatnya.

Vania mengumpat kala ingat apa yang ia katakan. "Maaf, gue nggak bermaksud menyakiti lo. Gue justru bermaksud membela lo."

Al terdiam. Pandangan matanya masih menatap Vania. "Serius, gue nggak bermaksud begitu. Gue bicara apa yang pernah gue liat, maaf kalo penglihatan gue nggak sesuai sama kenyataannya." Vania menunduk dalam seolah memberi tahu jika ia benar-benar merasa bersalah.

Al menghela napas kemudian mundur menjauhi Vania beberapa langkah. Amarahnya pudar saat melihat gadis yang berhasil merebut hatinya menunduk dengan penuh penyesalan.

"Untung gue suka sama lo, coba kalo nggak udah habis babak belur lo sama gue!" Al melangkah menjauhi Vania yang kini telah mengangkat kepalanya. Ia dibuat terdiam dengan kalimat terakhir Al sebelum pergi menjauhinya.

***

Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Tertera nama sang kekasih di ponsel Vania. Dengan senyum yang mengembang ia menekan tombol hijau untuk mengangkat telepon tersebut.

"Hallo." Sapa Vania dengan ceria. Pasalnya hari ini ia jarang bertemu dengan Akbar bahkan berpapasan pun jarang. Vania senantiasa berpikir positif, jika Akbar sedang sibuk berlatih basket bersama teman-temannya.

"Punya hubungan apa kamu dan Al?" Vania terkejut bukan main karena pertanyaan Akbar.

"Maksud kamu? Tolong jelasin lebih dulu detail kejadian yang kamu tau, biar nggak jadi salah paham," ucap Vania dengan tenang. Padahal jujur saja, degub jantungnya berpacu dengan hebat.

"Aku liat kamu bicara berdua sama Al dan aku denger Al bilang dia menyukaimu. Tepat di bawah tangga menuju lantai tiga," jelas Akbar dengan singkat. Vania tahu jika Akbar kini sedang meredam emosinya, terlihat betul dari nada bicaranya.

Ah, percakapan itu. Kelas Vania memang berada di lantai dua sedangkan kelas Akbar berada dilantai tiga karena sama-sama berada di kelas XI jurusan IPS.

"Kamu hanya mendengar akhir kata sebelum Al pergi. Yang Al katakan adalah ia memperingati aku agar tidak berucap sesuatu yang tidak benar-benar aku tau." Vania memejamkan matanya menahan emosi yang sedikit demi sedikit mulai meluap.

"Lebih detail!" Vania menjauhkan ponselnya saat mendengar nada bicara Akbar yang meninggi.

Vania menghela napas sebelum menjelaskan semuanya. "Tadi Chandra buat masalah sama Pak Bambang, Pak Ikbal-wali kelas aku, marah sama kelasku. Ia bilang bakal mundur jadi wali kelas kalo kami semua nggak berubah. Singkat cerita, kami buat persembahan sederhana buat Pak Ikbal, terus Al disuruh buat puisi sama Saka dan Chandra." Vania tidak mengingat betul setiap kejadian yang terjadi tadi siang. Namun Vania tidak melebihkan dan hanya meringkas cerita berharap agar masalahnya dengan Akbar terselesaikan.

"Mereka kira Al itu anak manja, terus aku bilang kalo ayah Al itu sebenernya galak, nggak sesuai sama apa yang mereka omongin. Tapi setelah persembahan itu selesai Al nyeret aku ke bawah tangga, nyeret loh ya bukan ditarik baik-baik. Dan dia bilang aku nggak boleh berbicara apapun tentang ayahnya, dia bilang aku nggak tau apa-apa," jelas Vania dengan sedikit nada melembut. Ia bukan bermaksud mengadu domba hubungan persahabatan pacarnya, tapi Vania berharap jika Akbar melembut dan menanyakan kabar dirinya.

Lama tidak ada suara. Entah apa yang mereka berdua pikirkan, tapi keduanya sama-sama terdiam. "Bar."

Helaan napas terdengar dari seberang telepon sana. "Jangan gatel sama sahabat gue! Lo pacar gue, nggak seharusnya lo terlalu deket sama sahabat gue. Gue tau semua pikiran cowok." Akbar menutup panggilannya sepihak.

Vania masih terdiam tak percaya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali mencoba merenggut kembali kesadarannya. Tanpa diduga, matanya memanas. Air mata pun jatuh membasahi kedua pipi tembamnya.

"Sial! Gue nangis karena dia?" Gadis itu mengusap kasar air mata yang terus jatuh tanpa diduga. "Dasar, hati dan pikiran nggak bisa sejalan!"

***

Dilain tempat seorang laki-laki sedang berkumpul bersama beberapa rekannya.

"Pacar lo, Bar?" Seorang remaja masih dengan seragam lengkapnya bertanya pada Akbar.

"Iya, mainan aja sih." Akbar meneguk minuman kaleng yang menuliskan merek terkenal dengan keterangan 0,0% yang menjadi ciri khas minuman tersebut.

"Mainan? Tapi keliatannya posesif banget lo."

"Hati nggak sejalan dengan pikiran, bentar lagi bakal gue selesaiin semua permainannya." Akbar mentap lurus ke depan dengan pandangan mata tajam.

"Yoi, buat mereka sengsara yang udah berani ngambil Vina!"

***
Dilain tempat, seorang laki-laki sedang termenung menatap tenangnya air kolam. Terpaan angin malam ia nikmati sambil terpejam.

Pikirannya berkelana, fokusnya terpecah untuk beberapa hal. Memikirkan gadis pujaannya, memikirkan hasil ujiannya, dan memikirkan cara untuk berkomunikasi dengan ayahnya.

"Gue nggak sedih, cuma bingung aja. Kenapa semua cerita hidup nggak ada habisnya, nggak ada ujungnya, nggak ada endingnya." Al menghela napas pelan sembari tersenyum kecil.

"Gue udah berusaha semampu yang gue bis, gue udah berusaha untuk mendapatkan semuanya, tapi semakin gue berusaha kayaknya semua hal justru semakin jauh untuk gue dapet." Al berbicara sembari menatap langit malam yang hampa, tanpa adanya kerlap-kerlip bintang. "Gue nggak nyalahin Tuhan, gue nggak nyalahin takdir, karena apa yang terjadi sama gue itu juga karena gue."

Lama Al terdiam. Suara langkah kaki memasuki indra pendengarannya. Ia masih terdiam, tidak menoleh atau pun menerka-nerka siapa yang datang.

Semakin lama langkah itu semakin terdengar dekat. Namun, Al mengerutkan dahinya saat langkah itu sudah tak terdengar tapi tak ada siapa pun yang menghampirinya.

"Ada apa, Pah?" Al bertanya tanpa menoleh. Ia sudah mengetahui siapa yang datang.

"Papah ganggu waktu kamu?"

***
Meredam luka dengan tawa, seperti Vania yang dipatahkan oleh harapannya:)

Alih Hati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang