Vania terus saja berguling menghadap kanan-kiri karena matanya yang tak kunjung terpejam. Ia tidak menyangka bahwa pengaruh ucapan Akbar begitu besar pada dirinya.
Vania pernah berjanji bahwa ia tidak akan mencintai Akbar dan hanya sebatas suka karena pertemuan pertama. Namun, nyatanya semua tak berjalan sesuai apa yang ia inginkan.
"Sialan cowok itu, bisa-bisanya bikin gue sakit hati!" Vania memaki sembari duduk menyender pada kepala ranjang.
Kedua tangannya menjamah kepala, kemudian mengacak rambutnya frustasi. Vania benar-benar merasa terluka karena ucapan kekasihnya.
"Sialan ...!" teriak Vania yang teredam bantal.
Tak berselang lama dari teriakannya, Vania mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki yang mendekati ranjangnya. Ia pun mendongak untuk memastikan yang menghampirinya benar-benar manusia.
"Papah. Ada apa, Pah?" Vania menyapa dengan senyuman lebarnya.
"Nggak ada apa-apa, cuma tadi Papah denger sesuatu dari sini." Raksa—sang Papah—mendekati ranjang Vania kemudian duduk di pinggiran ranjang.
Mata Vania terbelalak, ia lupa jika kamarnya tidak kedap suara bagai kamar-kamar yang biasa berada dalam sebuah cerita. "Enggak, Pah, tadi Vania kesandung, reflek teriak deh." ucap Vania dengan cengiran polosnya.
"Kamu si ceroboh!" Lagi-lagi Vania hanya bisa menyengir tanpa rasa bersalah. "UAS sebentar lagi, Kakak udah ada persiapan? Papah nggak mau kamu sampe kalah lagi sama teman sebangkumu."
Vania menjadi terdiam. Wajahnya sempat berubah tanpa ekspresi, tapi sedetik kemudian ia kembali ceria. "Tenang aja, Pah. Vania belajar banyak kok, kalo perlu Papah daftarin Vania bimbel," ucap Vania dengan antusias. Raksa juga ikut tersenyum mendengar ambisi sang anak. "Buku-buku latihan Vania juga udah habis, udah Vania isi semua, Pah. Tolong sekalian beliin lagi, ya, kalo Papah ada waktu."
"Nah, gini dong baru namanya anak Papah." Raksa mengacak rambut putrinya pelan. Kemudian menuruni ranjang lalu pergi meninggalkan Vania seorang diri setelah pamit.
Beberapa menit Vania terdiam dengan senyum yang tidak pudar. Hatinya yang terluka semakin terluka karena ucapan sang papah.
"Kenapa dia nggak nanya kabar gue dulu? Semenyedihkan itu gue berharap." Tidak juga pudar tawa itu. Mulutnya tersenyun lebar seolah menertawakan nasibnya.
Harapannya terlalu tinggi, pantas saja ia sakit saat terjatuh. "Huh! Miris!" Vania berteriak. Tidak memedulikan jika Raksa akan mendengar. Air matanya ia biarkan lolos. Bukan lagi hanya karena Akbar, kini Raksa pun menoreh luka dan ia jadikan alasan untuk mengungkapkan kesedihan.
Hatinya kini porak-poranda. Pikirannya terbang berkelana. Ingatan beberapa tahun yang lalu kembali berputar. Ia berandai, jika saja saat itu dirinya pergi bersama seorang wanita akankah hidupnya semenyedihkan ini. Penyesalan kembali menghampiri, ia menyesal tidak ikut pergi dari bumi.
Vania menarik rambutnya kuat. Kini sisi gelapnya telah datang, berbaur bersama dirinya yang selalu terlihat ceria. Kalimat-kalimat yang menghasutnya untuk cepat pergi mulai terdengar dalam otaknya. Vania dengan sekuat tenaga mencengkeram kepalanya, ia berharap kalimat-kalimat itu cepat pergi.
Tangisnya tidak bersuara, namun jika ada orang yang melihatnya pasti akan merasa iba. Luka yang ia miliki tak terlihat, tapi Vania juga tidak bisa selalu terlihat kuat.
"Jangan pergi sekarang, Barra masih butuh lo!" lirih Vania disela-sela tangisnya. "Gue berguna, maka dari itu gue banyak dikasih beban. Bertahan sebentar lagi, Van!"
Tangisnya tak kunjung reda, kalimat-kalimat itu masih juga terdengar di telinganya. Vania tak sanggup lagi, semakin ia mengenyahkan perasaan dan pikiran tentang penyesalan, Vania justru semakin teringat dan merasa tidak berguna.
Tentang perkataan Akbar, perkataan sang papah, belum lagi perkataan Al yang menyalahkan dirinya. Semua berputar begitu saja, seolah menyuruh Vania enyah dari bumi karena kesalahannya.
Tidak ada suara yang keluar selain isakan-isakan kecil yang tak sengaja lolos dari bibirnya. Vania tak lagi bisa berpikir jernih, ia sudah pasrah. Pikiran dan keinginannya tidak sejalan. Vania ingin berhenti menangis dan menenangkan dirinya, tapi pikirannya seolah tak mengijinkan.
Gadis itu lelah berperang dengan dirinya sendiri.
Butuh waktu tiga puluh menit sebelum akhirnya tangis itu reda. Vania mengusap kasar sisa-sia air matanya. Ia kini tertawa, bukan lagi tawa miris melainkan tawa bahagia.
"Bisa, kan, gue berhenti." Kekeh Vania disela-sela tawanya. "Nggak jadi mati deh!"
***
Dilain tempat, Al benar-benar merasa hatinya berbunga. Beberapa menit yang lalu sang papah menghampirinya untuk menyampaikan kata maaf.
Al tidak pernah menyangka atau menduga jika sang papah akan mengucap kata maaf. Ia sudah tidak memiliki harapan apapun tentang hubungan keluarganya.
Kini, sambil berbaring laki-laki itu tersenyum lebar. Matanya tak bisa terpejam padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
"Gue nggak pernah menyalahkan Tuhan atau pun takdir, karena apa yang terjadi sama gue itu juga karena kesalahan gue. Dan, begitu juga saat hal menyenangkan yang terjadi," gumam Al tak berkedip. "Hal bahagia datang karena gue mencarinya. Gue berusaha memperbaiki semuanya, dan inilah hasilnya."
Takdir memang semudah itu membolak-balikkan perasaan manusia. Beberapa saat yang lalu Al benar-benar merasa sedih dan kesepian, tapi saat ini laki-laki itu merasa bahagia tak ada lawan.
"Misi gue belum berhasil, masih ada satu lagi permintaan Papah, dan gue harus bisa mewujudkannya."
***
Pelajarannya adalah : "Kebahagiaan datang setelah adanya keterpurukan."
Jangan mudah berputus asa, berusaha lah selagi masih diberi masa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alih Hati [On Going]
Novela JuvenilAl termotivasi untuk unjuk diri dengan prestasi hanya karena ucapan angkuh seorang gadis yang telah lama memegang takhta. Meski ia tidak berniat untuk merebut posisi ternyaman gadis itu, tapi, keberuntungan berpihak padanya untuk merebut segala yang...