📖Dua Puluh Tiga📖

19 2 0
                                    

Rambut hitam legam Vania terayun sebab gadis itu yang berlari cukup cepat untuk kembali ke taman. Kejadian beberapa waktu lalu tak menyebabkan kesedihan, setidaknya untuk saat ini.

"Gimana, ada yang parah?" Nafas Vania belum cukup stabil untuk sekedar berbicara panjang.

"Sejauh ini aman, cuma memar aja," jawab Desi yang sedang membereskan kotak P3K.

Al menelisik gadis itu yang matanya cukup sembab. "Lo dari mana? Tadi katanya mau ambil obat."

Hembus kasar nafasnya terdengar. "Gue putus sama Akbar."

"Hah?!" Kening Desi berkerut dalam.

Vania hanya mengangguk mengiyakan.

"Dia anak ngga bener," saut Noufal dengan sangat santai.

Desi memukul pelan lengan laki-laki yang menjabat ketua OSIS itu. "Jangan ngomong gitu," bisiknya.

"Tenang-tenang, gue ngga sedih." Vania menghampiri Al dan duduk tepat di sebelahnya.

"Lo serius gapapa?" tanya Al.

Vania mengangguk. "Harusnya gue yang nanya gitu. Lo gapapa?"

Al tidak menjawab. "Lo putus karena gue?"

"Lo berantem karena gue?" tanya balik Vania tanpa menjawab pertanyaan yang Al lontarkan.

Keduanya saling tatap cukup lama. Baik Al dan Vania mencoba untuk mendalami arti tatapan yang sama-sama terpancarkan, dan keduanya pun sama-sama menangkap sebuah luka.

Al menghembuskan napas kasar, laki-laki itu yang pertama kalinya memutus kontak mata keduanya. "Lo ngga mau jujur tentang sesuatu?"

Vania menggeleng. "Apa yang dia bilang tentang gue?"

Al berdecak. "Gue nanya, lo jangan balik nanya!"

"Gue akan jawab setelah lo cerita."

Al menghembuskan napas kasarnya kemudian beranjak. "Lupain aja, ngga penting."

"Lo marah, Al?" Vania mencekal sebelum laki-laki itu beranjak pergi.

"Kalo gitu jawab pertanyaan gue yang satu ini." Al berucap serius dengan menatap mata gadis itu lekat.

Vania mengangguk mengiyakan.

"Lo kenal Vina?"

Vania terdiam. Gadis itu tidak menjawab apapun dengan suaranya. Namun, matanya memberi tahu segalanya.

Cukup lama mereka terdiam akhirnya Vania angkat suara dengan sangat pelan. "Ngga kenal."

Al berganti mencengkram pergelangan tangan gadis dihadapannya. "Lo kenal Van, lo kenal Vina!" Al menatapnya lekat.

"Gue ngga kenal Al, gue ngga kenal dia!" Vania meninggikan suaranya. Gadis itu mencoba melepas cekalan Al pada pergelangan tangannya.

Usahanya tidak sia-sia. Vania berlari meninggalkan taman sekolah dengan air matanya. Gadis itu beranjak cepat dari area sekolah dan berharap Barra sudah datang menjemputnya.

"Kak!" Barra memanggil cukup kencang saat melihat Vania akan berlari melewatinya.

"Ayo pulang!" ucap Vania dengan suara parau, khas orang menangis.

"Lo kenapa, Kak?"

Vania memakai helm dengan cepat. "Gapapa, ayo pulang, cepetan!"

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Barra melajukan motornya meninggalkan area sekolah kakaknya. Laki-laki itu membelah ramainya jalan dengan pikiran bercabang. Selain memikirkan tugas sekolahnya, Barra juga memikirkan apa yang terjadi dengan kakaknya.

"Kalo ada apa-apa cerita, Kak. Gue ini adek lo, bukan orang asing." Barra melirik spionnya, berharap sang kakak akan segera cerita.

Vania hanya membisu, pikirannya masih berada di taman sekolah saat Al bertanya tentang gadis itu. Dari mana Al tahu soal Vina? Itu yang dipikirkan Vania.

Rasa bersalah kembali menyelimuti perasaan Vania. Dua tahun ia melupakan rasa itu, kini kembali diungkit dengan keadaannya yang sedang tidak baik-baik saja. Kenapa dunia tidak membiarkanku merasa nyaman, Tuhan?

Masih dengan air matanya yang kian deras membasahi pipi, Vania berlari ke dalam rumahnya saat Barra mematikan mesin motor.

"Kak!" Barra memanggil, masih berharap kakaknya akan bercerita.

"Siapa lagi, yang kali ini buat lo nangis, Kak?" Barra mendesis.

***

"Vina siapa?" Desi ikut bangkit menghampiri Al yang terdiam menatap kepergian Vania.

"Lo ngga kenal Vina, Des? Bukannya satu SMP?" Al balik bertanya.

Desi menggeleng. "Gue ngga pernah kenal sama yang namanya Vina, dia siapa?"

Al berlalu pergi meninggalkan Desi yang masih terlihat bingung dengan situasi yang baru saja terjadi. "Bukan urusan lo."

Desi dan Noufal saling tatap. Kedua remaja itu masih di sana sedari tadi, menyaksikan sedikit keributan yang Al dan Vania buat. Mereka hanya diam menyimak tanpa tahu apa yang menjadi penyebab keributan.

"Mereka ada apa ya?" gumam Desi dengan melangkahkan kaki pergi dari taman sekolah yang diikuti Noufal.

Noufal hanya mengangkat bahunya acuh. "Jangan ikut campur, itu urusan mereka."

"Tapi, kan, gue sahabatnya Vania." Desi berbalik menatap lawan bicaranya.

Noufal sontak menghentikan langkahnya, menatap gadis itu dengan tatapan serius. "Sebagai sahabat, tugas lo itu cuma dengerin dan memberi masukan, bukannya ikut terlibat secara langsung. Kasih kesempatan buat Vania dan Al menyelesaikan masalahnya sendiri, mereka udah dewasa."

Napas Desi berhembus kasar. "Iya si..."

"Jangan terlalu dipikirin, gue yakin Al ngga akan nyakitin sahabat lo." Noufal menepuk pelan pucuk kepala Desi. Laki-laki itu sedikit iba karena bawahannya ini selalu terlibat dengan persoalan teman-temannya.

Desi mendongak, kemudian menepis kasar tangan Noufal yang masih betah di pucuk kepalanya. "Awas, ah! Mau ke ruang OSIS gue!"

Gadis itu berlalu cepat, meninggalkan Noufal yang diam-diam terkekeh. Ia yakini, gadis itu sedang salah tingkah. Noufal meyakini Desi diam-diam menyimpan perasaan dengannya, terlihat dari sikapnya. Sama dengan dirinya yang akhir-akhir ini sering berdebar ketika berdekatan dengan sekretarisnya itu.

"Sialan, jantung gue." Noufal berjalan sembari menepuk pelan dadanya yang masih berdebar.

***
Yash, akhirnya aku bisa update di 2024 hahaha❤️‍🔥




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Alih Hati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang