📖lima belas📖

50 11 0
                                    

"Akhirnya sampe juga." Rina melempar tasnya ke sembarang arah saat kakinya menginjak kamar Desi. "Udah lama banget, nggak berantakin ini kamar."

"Gue bunuh lo, Rin!" Desi memungut tas Rina yang menghalangi jalannya.

Rina hanya terkekeh sembari merebahkan tubuhnya pada kasur Desi yang dilapisi seprai berwarna merah dengan motif bunga.

Vania mengamati sudut kamar Desi. Ia terkagum-kagum saat melihat banyak furnitur yang berubah. Mulai dari lemari yang semulanya berwarna cokelat kini berwarna putih, dinding yang semulanya berwarna biru pun kini menjadi warna putih. Vania menyadari barang milik Desi berevolusi menjadi warna putih, kesan elegan lah yang pertama kali Vania rasakan saat menginjakkan kakinya di kamar tersebut.

"Binatang itu masih ada aja," tutur Vania saat melihat toples yang berisi tiga ekor hewan melata.

Desi tersenyum miring, ia berniat untuk mengerjai sahabatnya yang cerdas. "Nama ilmiahnya?" tanya Desi sembari mengambil toples tersebut.

"Hirudinea," jawab Vania cepat sembari menatap ponselnya.

"Berada di kelas?" Desi mengeluarkan satu hewan peliharaannya tanpa disadari oleh Vania.

"Clitellata." Vania menarik napas kasar sejenak sebelum kembali berbicara. "Lo udah kayak guru ipa tau nggak—sinting!" Vania mengumpat saat lintah peliharaan Desi berada tepat di depan wajahnya yang sedang menoleh.

Desi terbahak melihat Vania mengumpat dengan tatapan sengitnya. Vania memang pintar, namun ia akan bodoh pada keadaan sekitar.

"Otak doang pinter, tapi soal peka kalah sama kucing!" Rina menimpali sembari tertawa. Sudah jelas Desi membuka toples itu bahkan mengeluarkan isinya, Rina yang juga sedang bermain ponsel pun menyadari.

"Sembarangan kalo ngomong!" Vania bersiap melempar bantal pada Rina namun terurungkan karena melihat Desi yang memejamkan matanya karena menikmati hisapan hewan peliharaannya.

"Lintah medis juga nggak bisa sembarangan dipake! Setau gue, lintah medis cuma bisa sekali pake dan nggak bisa digunain di sembarang tempat," ucap Vania dengan helaan napas kasar yang menjeda ucapannya.

"Ini bentuk menyakiti diri versi lo? Aneh, tapi lebih berbahaya. Kesehatan organ dalam lebih penting dari segalanya. Emang nggak akan ada penggumpalan darah, tapi bisa juga jadi infeksi 'kan? Belum lagi kalo sampe anemia, lintah bakal menghisap darah dua puluh sampai tiga puluh menit dan itu bisa sampai sepuluh kali lipat dari ukuran badannya!" Habis sudah kesabaran Vania.

"Sekretaris OSIS kok gini," cibir Vania masih dengan tatapan tajamnya.

Rina memilih diam melihat sahabatnya sedang mengomel pada Desi. Sedangkan sang empu yang diberi omelan hanya tersenyum menikmati perhatian dari sahabatnya.

"Gue udah sering begini kok, lintah gue pasti bersih. Gue rajin ganti airnya dan juga cuma gue yang darahnya dihisap sama dia. Nggak usah bawel gitu!" Desi terkekeh sembari menatap seekor lintah yang tubuhnya semakin membesar karena darah yang lintah itu hisap dari tubuhnya.

"Sinting! Lo kalo sampe mati karena digigit lintah, gue party! Bodo amat, persetan apa kata orang!" Vania berlalu ke dalam kamar mandi. Selain jengkel, ia juga merasa risih dengan hewan peliharaan desi yang anti-mainstream.

"Temen lo tuh udah kayak dokter, Rin!" Desi menunjuk Vania dengan dagunya yang sudah memasuki kamar mandi yang berada di kamar Desi.

"Maklum, anak pinter."

***

"Setengah jam nggak, tuh, di kamar mandi." Desi berteriak sembari memungut lintah yang tergeletak di lantai. "Aku yakin kau tidak lagi lapar, lintah cantik!"

Alih Hati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang