📖dua puluh satu📖

45 6 1
                                    

Mereka kini duduk satu-persatu. Hanya terdapat dua puluh orang siswa dalam satu kelas. Ya, murid-murid SMA Bintang sedang mengadakan penilaian akhir semester atau yang biasa disingkat PAS.

Al, Vania, Rina, Desi, dan yang lainnya sedang menunggu giliran masuk dalam kelas. Karena ruang yang terbatas, jadi mereka dibagi menjadi beberapa bagian. Kelas 10 dan sebagian kelas 11 diadakan pada pukul tujuh sampai pukul sebelas. Sedangkan sisanya dilaksanakan pada pukul duabelas sampai pukul empat sore.

Dan, kini Al, Vania, Desi, dan Rani memiliki waktu yang sama. Mereka ditempatkan acak, baik itu kelas IPA maupun IPS disatukan. Seperti saat ini, Noufal memiliki kelas yang sama dengan Al dan Vania, sedangkan Rina, Desi, Akbar, dan kawan Al lainnya ditempatkan di satu kelas yang sama.

Benar-benar ujian yang seru, pikir mereka.

"Semangat, gais! Nanti kalo nilai kita bagus semua bakal gue traktir! Doain biar nilai gue nggak turun lagi." Vania membuka pembicaraan dengan intonasi penuh semangat dan tangan terkepal seolah menyuarakan kobaran api semangat. Ia menatap Rina dan Desi yang juga tersenyum menatapnya.

"Ini kita juga bakal ditraktir, kan? Nggak cuma besti lo aja, kan?" Bimo menyaut dengan nada ragu.

"Tekor gue kalo disuruh traktir lo pada, secara cowok, kan, porsi makannya kayak kuli!"

Bimo mendesah kecewa, berbanding terbalik dengan kawan-kawannya yang tertawa.

Bel berbunyi, semua menoleh ke arah suara yaitu pada sudut tembok ruang tata usaha.

"Semangat! Waktunya kita yang tempur." Al bersiap diri seolah ingin menghajar seseorang.

Siapapun yang ada di sana tertawa, di tengah ketegangan yang terjadi masih ada Al dan kawan-kawannya yang selalu mencairkan suasana. Kecuali Akbar. Laki-laki itu hanya diam, menyender pada tiang dan melihat kekasih serta kawan-kawannya tertawa.

"Semangat, Akbar!" Vania mencoba ramah dengan menampilkan senyum terbaiknya.

"Makasih," balas Akbar sembari mengusap pucuk kepala Vania, dengan wajah datar. Tanpa senyum atau semacamnya.

Akbar berjalan menuju kelas untuk ia ujian, tepat di samping kelas Al dan Vania. Vania memperhatikan sampai punggung tegap itu hilang ditelan pintu masuk ruang kelas. Ia menghela napas, hubungannya dengan Akbar masih sama, tidak ada perubahan. Namun, yang berubah adalah sikap Akbar terhadap dirinya.

"Sabar, ya, mungkin ada sesuatu yang buat Akbar jadi begitu." Desi berucap sambil mengusap punggung sahabatnya.

"Udah biasa." Vania tersenyum. "Gue masuk, ya. Lo pada semangat, jangan malu-maluin gue sebagai temen!"

"Siap, lo juga, semangat!"

***

Dua jam sudah berlalu, kini kertas yang sedari tadi mereka baca dan kerjakan haris dikumpulkan. Tidak ada yang protes saat para pengawas meminta kertas, karena siswa yang bersama dengan Al dan Vania tergolong murid rajin walau tidak dipungkiri juga cerdas.

"Mau balik apa main?" Al menoleh, memutar tubuhnya agar bertatap mata dengan Noufal.

"Gue mau di sekolah, ngurus kegiatan, sekolah bakal ada acara awal tahun nanti," balas Noufal yang buat Al mendesah kecewa.

Alih Hati [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang