Police

23 7 7
                                    

Matahari telah terbenam, gelap malam menyelimuti bumi, angin pun berhembus sangat kencang, hutan yang begitu kecil ini sekarang terasa sangat mencengkam, mereka sudah berada ditengahnya, jalan raya sudah tidak terlihat lagi, yang ada hanya pohon-pohon tinggi dengan daun2 yang lebat menutupi langit.

"Kita sudah berjalan dari tadi, tapi dimana rumahnya belum juga bisa kita pastikan?"Hideyoshi menceletuk kesal, ia terduduk pada sebuah batu.
"Apakah kita dipermainkan guru Chen?"gumam Nami berpikir.
Lampu senter yang dinyalakan lewat ponsel pun sudah mulai redup sejak tadi,"Baterai ponselku pun sudah tinggal 3%"sebut Nami mulai mengeluh.
Ren menatap Nami,"Lebih baik kita beristirahat terlebih dahulu"tambahnya menyarankan,"kita buat api unggun disini,"
Nami tertegun memperhatikan sekitar, kanan kirinya, depan dan belakangnya, bahkan juga atas bawahnya tanah yang ia pijak, "Tapi, apakah kita harus bermalam di tempat seperti ini?"tanya Nami, kemudian kembali melirik Ren yang ternyata sudah pergi meninggalkan nya untuk mengumpul kan kayu kecil bekas ranting pohon patah yang berserakan disekitar mereka.
"Apakah kau ingin terus disini Nami?"tanya Hideyoshi, seraya langsung mengikuti jejak Ren mengumpulkan kayu.
Nami masih terdiam ditempatnya, matanya menyusuri daun-daun lebat pohon diatasnya, angin berhembus kencang memainkan ujung rambutnya, ia tak bisa membayangkan jika ia harus bermalam ditempat yang bahkan tidak ada atap dan penghalang seperti ini.
"Nami,"
Nami menoleh, melihat siapa yang telah memanggilnya barusan, dan ia dapati Ren menatapnya, hingga mata mereka bisa saling beradu, di gelap malam seperti ini ia masih bisa melihat warna coklat cerah bola mata Ren yang sangat indah, ini adalah pertama kalinya Ren menyebut namanya.
"Kenapa kau berdiri disini?"tanya Ren kembali menyadarkan Nami.
"Ehmmm,"Nami mengedip-ngedipkan matanya cepat, mencari jawaban yang tepat.
"Sebaiknya kau duduk disini saja,"ucapnya, seraya membentangkan daun pisang ke tanah yang entah dari mana ia mendapatkannya, mungkinkah ia memanjat langsung pohonnya, baiklah itu urusannya.
Nami pun duduk di atas daun tersebut, seraya memperhatikan Ren yang kini sibuk menyusun kayu yang telah ia kumpulkan untuk membuat api unggun, kemudian ia mengambil dua batu dan mengadunya hingga berbunyi kencang 'tuk-tuk' untuk membuat apinya, hingga beberapa ketukan api pun keluar dan dengan lihai Ren langsung membakar kayu yang dikumpulkan tadi.
Cahaya api menerpa wajah Ren, menampakkan begitu indah elok ketampanan wajah yang Ren miliki, garis wajahnya tegas, dengan dagu yang panjang memperindah bentuknya, hidungnya juga mancung serasi dengan wajah tirusnya, ketampanan yang sempurna.
Nami tersenyum, mengingat dulu ia pernah memperhatikan murid Taekwondo ini, ia tak menyangka orang yang pernah ia kagumi sesaat kini berada  dihadapannya sedang membuat api unggun untuknya, sebenarnya Ren mungkin memiliki hati yang peduli, tapi karena sifatnya yang cuek dan sedikit bicaranya, membuat wajah tampannya seakan tertutupi datar begitu saja.
Hideyoshi pun datang dengan membawa beberapa kayu panjang dan terpal ditangannya.
"Aku telah membongkar sebuah rumahan kecil disana,"seru Hideyoshi terkekeh menertawakan aksinya sendiri.

***

Malam telah larut, Nami telah tenang tidur didalam tenda mini dari terpal lusuh yang dibuat darurat apa adanya, hanya muat oleh satu orang, dan bagaimanapun lagi-lagi mereka harus terpaksa mengalah tidur diluar kedinginan ditemani api unggun yang masih rela bertahan meski kayu sudah hangus menjadi abu.
Nyamuk banyak, mengganggu tidur Nami, berkali-kali ia menggumamkan keluhan kesal sambil menepuk-nepuk kulitnya yang gatal akibat gigitan, ia ingin menangis walaupun dalam tidurnya.
Ren pun yang tadi sudah terlelap, terbangun dibuatnya, melihat ke arah Hideyoshi yang tak sedikitpun terganggu meski banyak nyamuk yang hinggap dikulit kakinya, "hoooah,"Ren menguap, seakan tubuhnya masih menuntutnya untuk kembali tidur, tapi desahan kesal Nami juga kuat mendorongnya untuk mendekatinya.
Ren melepaskan seragam toksedonya, kemudian menyelimuti sebagian tubuh atas dan juga tangan nami dengan toksedo tersebut.
"Mhhh,"Nami terbangun ketika merasakan sentuhan ditubuhnya, matanya masih sedikit terpejam saat ia melihat remang-remang wajah Ren yang sedang menyelimutinya,"Kak Sadao?"Nami menggumam, tapi matanya yang berat seketika tertutup lagi.
Ren masih terpatung dengan tubuh merunduk menghadap tubuh Nami, matanya kini menatap wajah tenang Nami yang sepertinya sedang asik menyelami dunia mimpi, tanpa disadari kini tubuh Ren pun telah terduduk tepat disisi wajah Nami, memperhatikan setiap sudut wajah cantiknya dengan bibir mungil yang kini mengerucut melantunkan kata-kata lembut yang Ren tidak mendengar sama sekali suaranya.
Ren tersenyum melihatnya, lagi-lagi tanpa sadar tangannya sudah mendekati wajah Nami, dengan hati-hati telunjuknya menyentuh pangkal hidungnya kemudian turun menyusuri ujungnya hingga jatuh mengenai bibir atasnya.
"Superman,"igau Nami dalam tidurnya.
Ren terdiam sesaat, tidak, bahkan kali ini tubuhnya benar-benar membeku tidak bisa bergerak, ia berusaha menguasainya tapi tidak bisa.
Hingga tiba-tiba Nami lah yang kini bergerak, merasakan sentuhan di bibirnya ia pun mulai membuka matanya meskipun berat, dan melihat Ren dengan jari mengacung seperti menunjuk bibirnya, Nami langsung terkejut, terduduk dan seketika kantuknya pun hilang sirna,"hmmm? kenapa?"tanya Nami sambil mengusap-ngusap ujung bibirnya takut-takut sesuatu mempermalukannya lagi.
"Eumm,"Ren berusaha mencari alasan, tapi lagi-lagi ia tak pernah menghadapi keadaan seperti ini, "Tidak ada," jawabnya, hanya itu yang bisa ia katakan untuk menutupi semuanya, sedangkan Nami tetap saja tidak percaya dan terus mengusap-usap ujung bibirnya.
"Tidurlah,"ucap Ren mengakhiri, seraya pergi mendekati api unggun mencari kehangatan.
Ia masih terdiam termenung, mengingat kembali apa yang terjadi barusan, mencari alasan yang tepat untuk menutupi hatinya yang telah lama membeku, refleks yang membuatnya takut, karena kini hatinya kembali merasakan kehangatan yang pernah ia rasakan sesaat.
Seperti dulu.

***

Bukk,
"Aw,"
"Kau sudah bangun Nami?"tanya Hideyoshi melihat Nami keluar dari tenda sambil memegangi kepalanya yang sepertinya terantuk kayu atap tepat diatas kepalanya.
"Iya,"jawab Nami kemudian melirik Ren yang kini sibuk membereskan barang-barang nya, tiba-tiba Nami teringat kejadian semalam, cepat-cepat ia membalikkan badan untuk membersihkan ujung bibirnya agar tidak kelihatan lagi, takut jika saja tidak hanya Ren yang melihat aliran kental yang mungkin semalam mengalir lewat sudut bibirnya.
"Apakah ada air?"tanya Nami masih dengan membelakangi mereka, membuat Hideyoshi mengerutkan keningnya,"maksudku air bersih untuk membasuh wajah,"ulangnya lagi meminta.
Hideyoshi tegak dan mengambilkan sedikit air yang ia tampung ditangannya, kemudian menghampiri Nami yang masih membelakanginya,"Ini,"panggil Hideyoshi.
Nami menoleh, wajahnya ia tutupi dengan telapak tangan kirinya, "bagaimana aku bisa mencuci wajahku jika airnya tertampung di tanganmu?"keluh Nami, tentu saja, ia tak mungkin mengambil air itu dari tangan Hideyoshi, itu akan membuat mereka bisa saling bersentuhan.
"Buka wajahmu,"perintah Hideyoshi, dan dengan ragu-ragu Nami mengikutinya.
Hideyoshi pun mengusapkan air yang ia tampung ditangannya ke wajah Nami,"Kalau begini saja bagaimana?"ucap Hideyoshi tersenyum.
"Heeeei,"pekik Nami seraya berusaha melepaskan wajahnya dari tangan Hideyoshi, lagi-lagi ia tak kuasa, bagaimana pun letaknya ia sama sekali tidak bisa menyentuh tangan Hideyoshi yang kini dengan leluasanya mempermainkan pipinya.
Tawa lepas diantara mereka berdua.
Sedangkan Ren terdiam menyaksikan mereka.

***

"Pelajaran pasti sudah dimulai,"gumam Nami sambil menatap ponselnya yang sudah sejak tadi malam mati, wajahnya memberengut, tapi ia harus terus mengikuti langkah kedua pria yang ada disisinya, kembali sudah seperempat jam mereka berjalan, dan sudah banyak keluhan yang Nami ungkapkan, "Bagaimana mungkin pria seelegan guru Chen tinggal di tengah hutan seperti ini?"keluhnya lagi, "alamat ini pasti salah,"keluhnya terus menerus.
Sedangkan Hideyoshi dan Ren tidak terlalu mempermasalahkan keluhan-keluhan yang dicelotehkan Nami, mereka hanya menganggap nya seperti musik perjalanan, yang walaupun tidak dihiraukan tetapi tetap bisa menghibur lengangnya suasana dihutan, sesekali Hideyoshi tertawa saat Nami menceritakan tentang kisahnya tidur sambil bertarung melawan ribuan nyamuk semalam, wajahnya yang memberengut itulah yang membuatnya terlihat sangat menggemaskan.
"Lihat disana,"tunjuk Ren tiba-tiba.
Hideyoshi dan Nami pun langsung melihat ke arah yang dituju Ren, disana, dua lelaki berseragam polisi berdiri tegak menjaga sebuah gerbang.
"Ditengah hutan seperti ini, mengapa ada polisi yang berjaga?"pikir Nami heran.

***

Hallo guys
pembaca setiaku
Penyemangatku
Jangan pernah bosan buat selalu menantikan ceritaku yah, insyaallah aku usahain buat update setiap harinya, tapi kalo agak lambat gak papah yah, hehe maklum juga banyak kerjaan.
🤗🤗
Ohiya jangan lupa tingglkan jejak kalian yah, kasih bintang dan komentarnya, dimana letak kesalahanku, biar menjadi bahan perbaikan dikedepannya, sipp

Salam sayang
Penulis

TOUCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang