Pistol

22 5 3
                                    

Bumi terus berputar mengikuti porosnya, menghadirkan siang dan malam di setiap harinya, rintikan hujan dan embun bergantian membasahi bumi, matahari pun tak mau kalah menyinari, bulan purnama membawa bintang-bintang bertebaran di langit, keindahan tiada tara yang tercipta, itulah katulistiwa, yang tuhan ciptakan untuk manusia, memberi tahu mereka bahwa kekuasaannya tiada tara.

Nami menutup buku hariannya, tak terasa sudah setahun berlalu, kalender pun sudah diganti sejak kemarin pagi, tak ada yang berubah, semua berjalan seperti biasa, begitu pun dengan hubungannya dengan Hideyoshi yang tak lebih hanya sebatas teman, dan rekan sesama Touch saja.
Ia menyadari, bahwa Hideyoshi terus memberikan perhatian penuh padanya, menjaganya, dan bersedia menemaninya disaat-saat tertentu, ia pun selalu senang diperlakukan seperti itu, tapi hatinya masih mengganjal sesuatu kenyataan, apakah Hideyoshi benar-benar lelaki yang ia sebut Superman dulu.

Sedangkan guru Chen, seperti yang sudah diketahui, ia adalah guru yang sibuk dan sangat tertib, ia mengajar seminggu hanya dua kali pertemuan, dan pada dua kali pertemuan itu ia tak pernah datang telat dari jam masuknya.
Guru Chen pernah berkata didalam kelasnya,"telat adalah perkara yang paling saya benci, dan jika saya sudah telat, atau bahkan tidak masuk tanpa keterangan, berhati-hatilah, kemungkinan saya diculik oleh orang jahat," ucapnya dikala itu, dan langsung disambut tawa hangat dari semua murid yang hadir dalam kelas, mereka mengira itu hanya lelucon biasa, tapi Nami jelas mengetahui arti maksud dari kata-katanya.

Berbeda dengan Ren yang sudah sejak lama ia menghilang dengan kabar ia sibuk mempersiapkan ujian semester kelulusan jurusan Dokter spesialis jantung yang selama ini ia tekuni.
Ya, Nami baru tahu bahwa lelaki dingin berwajah datar itu mengambil jurusan dokter spesialis jantung di universitas ini, Berlainan dengan Hideyoshi yang memilih menjadi dokter psikologi karena ia merasa bisa membaca sesuatu di luar batas kemampuan manusia biasa.
Sangat sempurna, dengan begitu mereka berdua bisa memanfaatkan kelebihan yang mereka punya, tak seperti Nami, yang dengan bodohnya ia mengambil jurusan Hukum, entah akan menjadi apa ia esok hari, yang jelas ia yakin kelebihannya akan berguna dalam bidang yang ia pilih saat ini

***

'ting-tong,'
Suara bel berbunyi, bukan bel pintu rumah, melainkan bel masuk universitas language academic ini.
Memang terdengar aneh, tapi seluruh mahasiswa sudah mengerti, bahwa bel ini sudah menjadi sejarah di kampus language sejak pertama didirikan pada tahun 70 an, dan pihak pengurus tak ada yang berniat untuk mengubahnya, karena pernah tersebar mitos bahwa bel ini pernah diganti tapi malah kembali ke bunyi semula.
Hanya mitos, tak ada yang bisa memastikannya.

Seluruh mahasiswa/i pun berlari masuk kedalam ruangannya masing-masing, begitupun Nami yang sialnya ia telat 3 menit datang ke kampus dari hari-hari biasanya, ia terus berlari memacu waktu, mengejar pintu kelas yang siap di ajarkan oleh guru Chen hari ini.

Tiba-tiba,
'bruakkk,'
Sebuah badan besar menabrak tubuhnya, hingga ia kehilangan kendali dan ikut terjatuh bersama dengan semua barang-barang bawaannya.
"Aw,"pekik Nami, bokongnya terhempas ke lantai, membuat tulangnya berasa ngilu kesakitan, "Hei kau!!" Bentak Nami kesal, seraya berusaha berdiri melihat siapa yang berani-beraninya menabrak tubuhnya di jalan seluas ini.
Seorang lelaki berperut buncit, menatapnya tajam dari balik kaca mata hitamnya, kepala botaknya tertutupi topi layaknya pesulap, tubuhnya yang tinggi besar membuat Nami harus mendongak melihat wajahnya.
"Kkau, kkau, siapa?"tanya Nami mulai ketakutan, ia bergerak mundur menjauhi lelaki tersebut, tetapi lelaki tersebut ikut maju seiringan langkah Nami.
Nami menelan ludahnya, lelaki itu tak berkata apa-apa tapi tatapannya mampu membuat Nami tercekat tak bisa berteriak, seperti ada sebuah batu yang mengganjal di tenggorokannya.
"Bagaimana ini?"gumam Nami dalam hati, ia berusaha memutar otaknya berpikir, tapi buntu, lelaki tersebut terus saja mendekatinya dengan langkah-langkah tajamnya, bunyi detak sepatu hitamnya terdengar menegangkan di telinga Nami,
Lelaki tersebut merogoh saku celananya seperti ingin mengambil sesuatu, yang sudah bisa ditebak oleh Nami.
Pistol.
Lelaki tersebut benar-benar mengeluarkan pistol dari balik sakunya.
Nami ingin berlari, tapi, tiba-tiba, .

'buk,'
Kini giliran punggung Nami yang berbenturan dengan dada bidang seseorang.
Nami ingin menoleh, tapi ia takut ketika menyadari sesuatu mengepung dirinya dari depan dan belakang.
Tubuhnya semakin tegang, membayangkan nyawanya yang mungkin sebentar lagi sudah di ujung pelatuk pistol.
"Bisakah kau tak melakukan kekacauan disini?"ucap seseorang dibelakangnya, tepat didekat telinganya.
Nami ingin menoleh, lagi-lagi ia tak memiliki keberanian melihat siapa orang yang hadir dibelakangnya.

Lelaki berperut buncit itu hanya tersenyum sinis, sambil memasukkan kembali pistol ke dalam sakunya, ia berkata,"baiklah, kali ini aku akan mengalah, tapi bersiaplah untuk nyawamu nanti,"ucap lelaki tersebut.
Bersamaan dengan akhir suaranya, angin kencang berhembus, mengibas-ngibaskan pakaian, dan juga rambut Nami yang kini menutupi wajahnya, Nami menutup mata tak kuat menghadapi kencangnya angin yang membawa terbang debu-debu tebal, hingga angin itu hilang dan keadaan kembali seperti semula.
Nami membuka matanya perlahan, dan ia dapati tak seorang pun yang kini berdiri dihadapannya.
"Kemana lelaki itu?"gumam Nami seraya memeriksa kanan kiri dan belakangnya, takut-takut jika lelaki itu hanya mengecoh pandangannya.
"Dia sudah pergi,"jawab seseorang, yang jaraknya tidak lebih dari satu meter dari tempatnya berdiri.
"Kau??"Nami berusaha mengingat wajah lelaki tersebut.
Sebuah kejadian tersirat di otaknya, setahun yang lalu, setelah ia memperhatikan Ren Sadao berlatih Taekwondo, ia pergi dari sana dan menabrak seorang pemuda.
Wajahnya sama persis.
"Bukankah kau pemuda setahun yang lalu??",ingatnya, setelah bisa menyadari bahwa lelaki tersebut adalah pemuda yang dulu pernah berusaha bunuh diri dijalan laju truk angkutan gudang.
"Hei, Sudah lama kita tak jumpa,"ucapnya.
Membuat Nami kembali memberi pagar pembatas untuk keamanan dirinya dengan orang-orang asing yang hadir tiba-tiba.

***

Assalamualaikum teman-teman,
Karena sibuk bulan puasa, updatenya aku ganti dua hari sekali yah,

Yang penasaran dengan kisah rico si pemuda yang pernah mencoba bunuh diri itu disarankan buat baca buku berjudul

RED, karya amzusyar

Semoga kalian suka
😍

Salam manis

Penulis

TOUCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang