All The Lies.

10.7K 1.6K 166
                                    

Chapter Six.

Sudah sekitar 15 menit mereka berada di ruang unit kesehatan. Sudah beberapa menit juga semenjak Jaemin menyodorkan sebuah handgun dengan ukiran special forces di sisinya. Renjun kini meneliti pistol itu, sembari sesekali melirik ke arah Jaemin yang juga menatapnya.

"Ed Brown Special Forces." Ujar Jaemin. "Mudah untuk digunakan dan pasti kau akan membutuhkannya."

"Berapa harganya?"

Jaemin melirik ke atas sejenak, mencoba mengingat-ingat harga pistol berwarna abu-abu tua itu. "Sekitar 2,400 dolar?"

Renjun memutar bola matanya malas, "aku akan mengganti mobil Lincoln's mu nanti."

"Tapi lebih mahal harga mobilku dari pada pistol ini—" balas Jaemin dengan tatapan bingung. Ia bahkan tidak butuh Renjun untuk menggantikan pistol ataupun mobil yang hanya dipinjam lelaki bertubuh mungil itu.

"Baiklah, aku tahu kau tidak mau itu."

Detik selanjutnya yang lebih muda menyeringai, ia menopang dagu pemuda Huang lalu menatap kedua manik hitam itu. "Memang apa yang aku inginkan?"

     Renjun ikut menyeringai, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Jaemin. "Tidur denganku?"

       Jaemin terkekeh pelan, ia mengecup bibir mungil itu lembut lalu mengacak asal surai milik yang lebih tua. Menurut Jaemin, Renjun memang manis, tubuhnya kecil dan ramping. Jaemin menyukai postur tubuh seperti itu, ideal untuknya.

     Sementara yang dicium memanyunkan bibirnya sebal. Ia menepuk pelan lengan yang lebih muda dengan pistol sebelum memasukkan benda itu ke saku blazernya. "Jangan mudah terpancing emosi karena orang gila itu. Hanya akan menghabiskan energimu saja."

Jaemin sedikit tidak yakin dengan nasihat yang diberikan Renjun. Sejak kecil ia sudah keras kepala dan selalu memecahkan masalah diawali dengan emosi. Siyeon salah satu orang yang sudah kebal di bentak oleh Jaemin. Wanita itu hanya terkekeh dan malah makin memanas-manasi Jaemin hingga suatu hari pernah Jaemin mendorong wanita itu hingga jatuh. Tidak ada penyesalan, ia malah senang bisa balas dendam, Siyeon pun juga tidak masalah dengan itu.

Wanita itu paham Jaemin tidak suka diganggu. Kadang ketika Jaemin emosi, Siyeon akan mencoba untuk mengusap lengan ataupun punggung sahabatnya itu dengan lembut, membisikkan kata-kata yang membuat Jaemin sedikit tenang. Ketika Renjun melakukannya tadi, tiba-tiba ia teringat Siyeon yang mati mengenaskan di tangannya. Jaemin amat sangat menyesal, tak bisa dipungkiri ia juga sedih. Bukan hanya Siyeon yang ceroboh tapi juga dirinya.

Kalau saja ia lebih bisa menahan emosinya sedikit saja, pasti tidak ada yang tewas di ruang kepala sekolah malam itu. Ia sedikit merindukan Siyeon, tapi ia juga tidak kesal kepada Renjun.

"Kau tidak marah ketika aku menciummu?"

Renjun mengangkat kedua bahu mungilnya acuh tidak acuh. "Aku dan adik sepupuku sering melakukan itu."

Jaemin mengangguk paham. Jadi itu adalah kebiasaan di dalam keluarga Renjun. Pantas saja lelaki itu terlihat apatis ketika mereka berciuman, tapi Jaemin masih ingat waktu itu. Mereka berciuman lebih dari sebuah kecupan, hampir panas dan hampir membuat mereka hilang kesadaran. Renjun bahkan membalas ciumannya yang terkesan buru-buru itu.

"Kalau lebih dari sekedar kecupan?"

Yang lebih tua terkekeh, ia memegang salah satu pipi Jaemin sebelum mengelusnya pelan menggunakan ibu jari. "Aku dan kau pernah melakukan itu."

Semburat merah mewarnai pipi Jaemin naik ke telinganya. Lelaki bermarga Na itu berdeham sebentar sebelum memegang tengkuknya, mengusapnya pelan secara gugup.

     Renjun terkekeh lagi, melihat air wajah Jaemin yang berubah tegang disertai warna merah muda yang menghiasi pipi juga telinganya. Lelaki itu malu karena sikap Renjun barusan. Padahal Renjun baru mengatakan satu kalimat saja.

     "Huang Renjun,"

Renjun menoleh ke arah yang lebih muda. Ia memamerkan senyuman simpul hingga lesung pipinya terlihat. Jaemin ikut tersenyum, lelaki itu meraih pipi gembil yang lebih tua, ia mengusapnya pelan menggunakan ibu jari kemudian menempelkan bibir mereka.

     Lelaki bermarga Huang itu sedikit terkejut, tapi ia tidak berontak terlebih saat Jaemin mulai menghisap bibir tipisnya, melumatnya perlahan dan tidak buru-buru seperti tempo hari. Ketika Jaemin menggigit bibirnya, Renjun secara refleks membuka mulutnya, membiarkan Jaemin berkerja disana. Lalu Renjun merasakan bahwa tubuhnya didorong, kini ia berada di bawah, tangan mungilnya senantiasa menahan bahu lebar Jaemin agar tidak melakukan hal yang lebih gila lagi.

     "Na Jaaemiin—" Renjun mendorong lelaki di hadapannya agak kasar kemudian mengusap bibirnya yang basah dengan sapu tangan yang ia ambil dari saku celananya. "Dasar gila!"

     Jaemin terkekeh. Ia menarik Renjun agar lelaki mungil itu kembali duduk di sebelahnya.

    "Sebenarnya ada yang ingin ku katakan padamu, soal Donghyuck."

     Mendengar nama itu, Renjun menghela nafas kasar. Ia merapihkan blazernya kemudian menatap Jaemin serius. "Jadi?"

     "Tolong jangan potong dulu. Kau tahu 'kan Siyeon salah satu orang gila itu?"

     Renjun mengangguk.

     "Donghyuck sebenarnya ingin menyelamatkanmu hari itu, Siyeon juga tidak benar-benar ingin membunuhmu. Tapi aku terlalu emosi hari itu."

     Yang lebih tua memutar bola matanya malas. "Dasar ceroboh."

     Jaemin tersenyum bodoh. "Mereka mengadu domba dirimu dan Donghyuck. Membicarakan tentang Yangyang."

     Renjun terperanjat mendengar nama salah satu sahabatnya yang hilang itu. Ia menatap Jaemin kaget, bagaimana pemuda Na ini bisa tahu tentang Yangyang?

     "Berakhir dengan Donghyuck berusaha menembakmu." Jelas Jaemin.

    Selama 19 tahun Renjun hidup di dunia ini, ia tidak pernah berpikir sekeras ini hanya karena satu masalah yang seakan dapat mengungkap seluruh misteri yang telah terjadi. Ia termenung di sebelah Jisung yang kini ikut menatapnya bingung, ia baru saja menceritakan segala hal yang ia alami hari itu hingga hilangnya Yangyang kepada Jisung. Bocah itu sedikit kaget, kakak sepupunya itu tidak pernah seterbuka ini. Kalau mungkin iya, pasti masalah itu adalah masalah besar.

     Kini Jisung paham mengapa Renjun melarangnya untuk bersekolah di Neo. Benar-benar bahaya dari dugaannya. Banyak sekali para pembunuh dan pembohong ulung di sana. Jisung menyimpulkan sesuatu di dalam otaknya, ia akan menulisnya ketika kakak sepupunya itu tidur nanti. Jisung tahu ia juga tidak boleh gegabah langsung memberikan kesimpulan yang ia buat kepada Renjun. Suatu masalah besar yang lain bisa saja terjadi.

     "Ge. . Tetap dekati Na Jaemin." Jisung berkata tiba-tiba.

     Renjun menoleh, menatap adik sepupunya heran, "kenapa?"

     "Dekati, tapi jangan percaya. Di dunia ini tidak ada orang yang bisa kau percaya. Aku akan menjelaskan kepada gege mungkin dilain waktu." Jawab Jisung tenang.

     Yang lebih tua tidak mengerti perkataan adik sepupunya itu. Tapi ia tidak ambil pusing, Jisung masih kecil, mungkin anak itu masih suka berkhayal. Renjun mengedikkan bahunya kemudian bergerak mendekati Jisung. Ia mengelus lembut surai yang lebih muda lalu mengecup sayang bibir Jisung.

     "Selamat tidur, Jisungie."

Tepat sekali pukul satu malam Jisung terbangun. Ia menoleh kesamping tempat Renjun tidur. Lelaki mungil itu sepertinya tertidur cukup nyenyak. Langkah yang selanjutnya Jisung ambil adalah ponsel pintar milik Renjun. Ia mengetik sesuatu di sana kemudian menaruhnya lagi tanpa bersuara.

Selanjutnya, Jisung bangkit dari kasur. Lelaki tinggi itu berjalan ke arah meja belajar milik Renjun. Mengambil kertas dan pena lalu menulis sesuatu di sama dengan hati hati. Setelah selesai, ia melipat kertas itu lalu menyelipkannya di salah satu buku paket milik kakak sepupunya.

"Ge. . Aku percaya kepadamu." Jisung menghela nafas panjang kemudian kembali ketempatnya semula.

MAFIA ⋆ JaemRen。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang