The Obsession.

8.3K 1.2K 107
                                    

Chapter Thirteen.

     Setelah meninggalkan rumah sakit sekitar dua hari yang lalu kini yang Renjun lakukan dirumah hanya tidur di atas ranjang super besarnya. Pikirannya berkecamuk. Dadanya terasa amat sesak ketika bayangan wajah Jaemin berputar di benaknya tanpa rasa salah. Hatinya masih amat sakit mengingat semua kejadian yang telah berlalu dan ternyata diluar dugaannya.

Ia tak pernah tahu bahwa Jaemin benar-benar ingin membunuhnya walaupun lelaki tinggi itu sudah berjanji sebelumnya. Mereka sudah cukup lama bersama semenjak permainan konyol itu. Tidur bersama, minum bersama, atau bahkan Jaemin berusaha menghiburnya ketika Jisung pergi— walaupun kenyataannya adalah Jaemin sendiri yang merencanakan pembunuhan itu.

Renjun menekuk lutut kemudian memeluknya dengan kedua lengan kecilnya. Untuk yang kesekian kalinya ia mengeluarkan air mata walaupun ia tahu itu sia-sia. Jisung tidak akan kembali atau bahkan Donghyuck dan Yangyang.

Juga. . Jaemin.

Tiba-tiba Renjun sangat merindukannya. Ia membayangkan Jaemin yang sedang mengecup juga memeluk tubuhnya dengan sangat lembut. Mereka melakukannya tanpa hubungan yang jelas. Tapi Renjun tahu, pernyataan perasaan Jaemin hari itu tidaklah benar. Tapi entahlah, ia merasa dipermainkan setelah mengetahui kebenarannya.

Kalau Jaemin pemilik semua skenario yanh telah terjadi selama ini, Renjun hanyalah seekor anak ayam yang tidak tahu-menahu apa yang akan terjadi ke depannya. Renjun pun sadar, ini semua bukan sepenuhnya salah Jaemin tapi ayahnya juga ikut andil dalam permainan bodoh ini. Ia tidak pernah bisa membayangkan bagaimana perasaan ibunya ketika tahu apa yang ayahnya lakukan terhadap dirinya.

Walaupun kini ia tidak punya lagi semangat untuk hidup, Renjun berharap ia bisa berguna untuk ibunya. Ia ingin melindungi ibunya dan membawanya pergi jauh sekali dari sini. Ia tidak bisa melihat ibunya menangis ketika melihat peti mati dirinya kelak. Ia takut ibunya benar-benar dicampakkan.

Suara tangisan itu mulai mengeras. Lagi-lagi lelaki mungil itu meremas selimut putih di kasurnya. Ia sadar ia tidak memiliki sandaran lagi untuk yang kesekian kalinya. Ia lelah, tidak sanggup walau hanya untuk memasang topeng di wajahnya untuk tersenyum.

Satu fakta yang membuatnya semakin tertawa miris adalah ayahnya memindahkannya. Ia bukan lagi bagian dari Neo yan mengerikan. Entah Renjun harus sedih atau senang karena ia tidak akan lagi dirisak oleh para orang gila itu. Hari itu, setelah ayahnya tahu bahwa Jaemin ketahuan oleh Renjun, lelaki paruh baya itu marah besar. Memaki Jaemin dengan umpatan kasar lewat telepon, bahkan teriakan itu terdengar hingga kamar Renjun. Lelaki itu hanya menghela nafasnya berat.

Ia ingin sekali menemui Jaemin sekarang. Menanyakan bagaimana perasaan lelaki itu, baik atau tidak baik. Kemudian memeluknya amat sangat erat agar tidak terpisah. Tapi selanjutnya ia mengingat semua yang telah Jaemin lakukan kepadanya tanpa sepengetahuannya.

"Aku. . Membencimu."

Arloji hitam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul tujuh tepat. Tapi mobil hitamnya sudah memasuki pekarangan sekolah. Setelah memakirkan mobilnya, lelaki berambut abu-abu itu keluar dan langsung berjalan menuju tempat yang ia tuju.

Sebuah ruang kelas yang masih sepi. Jaemin tersenyum samar kemudian berdiri di depan sana. Menunggu seseorang yang kini membuatnya benar-benar hampir gila.

Sudah semakin siang, waktu pun terus berjalan, para murid di kelas itu satu persatu memasuki kelas. Tapi hingga bel berdenting Jaemin masih tidak menemukan seseorang yang ia cari muncul di hadapannya. Padahal ia ingin sekali meminta maaf lalu berkata bahwa ia bukan lagi bagian dari para orang gila itu. Ia ingin merealisasikan janjinya, menjaga Renjun hingga akhir permainan.

Seorang guru pun datang, hendak masuk ke dalam kelas tersebut sebelum nampak heran dengan Jaemin yang mulai menghela nafas dan mencoba berjalan menjauh.

"Na Jaemin, menunggu siapa?"

Jaemin tersenyum simpul. "Huang Renjun."

Wanita itu nampak berpikir sebelum tersenyum. "Ia dipindahkan ayahnya."

Kemudian Jaemin sadar. Ia tidak memiliki lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya bersama Renjun. Ia ingin sekali menjatuhkan tubuhnya kemudia menangis begitu saja. Tapi ia yakin, Renjun juga menginginkannya.

Di dalam hati Jaemin berharap Renjun benar-benar menginginkannya. Biarkan ia meminta maaf lalu menebus semua dosanya kepada Renjun.

      Dari kejauhan seorang gadis berambut pendek menghela nafas melihat Jaemin dengan raut wajah yang nampak sedih. Gadis itu bersedekap kemudian menyenggol sikut lelaki di sebelahnya.

     "Kau ada rencana, Mark?"

      Laki-laki di sebelahnya mengedikkan bahunya kemudian menatap wanita di sebelahnya dengan seringaian. "Aku tahu apa yang ada dipikiranmu."

     "Ayo lakukan besok. Pastikan lelaki Huang itu benar-benar tidak bernafas lagi besok."

     Mark terkekeh sinis. "Kau. . Terlalu terobsesi, kau tahu, Ryujin?"

     "Aku tidak suka melihatnya terus-terusan sedih, kau tahu?"

      Lelaki berkaca mata bulat itu memutar bola matanya jengah heran dengan sikap wanita bermarga Shin itu. "Tidakkah kau sadar? Kau sendiri yang membuatnya seperti ini, Shin Ryujin." Setelahnya Mark memilih untuk meninggalkan gadis itu sendirian di koridor.

     Ryujin mengatupkan bibirnya, sedikit berdecak sebal kemudian terkekeh. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku blazernya kemudian memegang sebuah pistol yang ada di dalam sana.

     Berpuluh panggilan masuk tidak terjawab terlihat di layar ponsel pintar milik Renjun. Lelaki itu menghela nafas, menekan nomor tersebut kemudian menekan pilihan blokir. Setidaknya ia benar-benar butuh waktu hingga pulih.

     Kaki mungilnya turun dari mobil kemudian berjalan memasukin pekarangan sekolah barunya. Dalam hati Renjun berharap sesuatu yang baik terjadi di sini. Ia ingin bersekolah layaknya seorang anak remaja biasa walaupun hanya tinggal beberapa bulan lagi untuk dia lulus. Setidaknya ia ingin sekali merayakan kelulusannya nanti dengan teman sebangkunya di sekolah ini.

     Mengingat itu Renjun menunduk, Donghyuck adalah satu-satunya teman yang tersisa. Ia pasti akan sangat senang jika bisa merayakan kelulusan bersama lalu makan jajangmyeon bersama di hari itu juga. Tapi rencananya hancur. Perpisahan terakhirnya dengan Donghyuck bahkan tidak seindah itu. Ia melihat sendiri bagaimana sahabatnya itu mati di hadapannya karena Jaemin.

      Ia. . Jadi takut memercayai siapapun sekarang.

      Tapi ia memiliki tekat untuk memulai semuanya kembali walau hanya memiliki beberapa bulan. Ketika ia memasuki kelas, para murid di sana menyambutnya dengan suka cita. Tanpa sadar bibirnya membentuk sebuah lengkungan ke atas.

     Ini adalah senyum tulus pertama Renjun setelah kejadian mengerikan yang telah menimpanya dan mungkin masih akan berlanjut menghantuinya walaupun ia telah pindah.

     "Ku dengar sekolah itu mengerikan. Benarkah?" Seorang lelaki bermata besar itu sedari tadi menanyakan hal-hal yang tidak penting tapi dapat membuat Renjun tertawa lepas.

     Lelaki mungil itu mengulum senyumnya kemudian membaca name tag milik lelaki tinggi itu. "Neo itu tidak seperti yang kau bayangkan, Lucas. Tapi jangan pernah berpikiran untuk pergi ke sana."

      Lucas tertawa pelan kemudian mengangguk. "Kau sepertinya lelah sekali, tidakkah? Wajahmu terlihat pucat."

      Renjun mengedikkan bahunya. "Entahlah. Mungkin aku sedikit ketakutan karena seorang guru di Neo memintaku untuk datang ke sana mengambil data kesiswaan ku."

      Yang lebih tua tersenyum simpul kemudian mengusap lembut punggung Renjun. "Jangan takut, sebentar lagi semuanya berakhir."

MAFIA ⋆ JaemRen。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang