The Notes.

8.7K 1.4K 245
                                    

Chapter Nine.

      Jisung baru beberapa hari tinggal di rumah Renjun, anak itu beralibi bahwa ia kesepian di rumah. Sama seperti Renjun, Jisung adalah anak tunggal. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk tinggal sementara di tempat kakak sepupunya.

     Badan kecil Renjun melemas, ia terlalu lelah hanya untuk menangis meratapi abu Jisung di rumah duka. Adik sepupunya itu tewas tertusuk di bagian perutnya. Ia ditemukan di sebuah gang kecil tepat di sebelah sebuah toserba. Tidak ada yang menyadari kejadian itu. Setelah mendapat telepon dari seorang wanita semalam, Ayahnya memberitahu kalau adik sepupunya meninggal karena ditusuk. Padahal Renjun sudah siap untuk pergi mencari keberadaan Jisung.

     Kini Renjun hanya terdiam di depan abu Jisung. Tatapannya kosong. Sedari semalam pun ia belum makan juga mengabaikan tamu yang keluar masuk untuk memberi doa. Tamu tersebut banyak dari kalangan atas, seakan-akan menjadikan kematian adik sepupunya itu ajang untuk menunjukkan siapa yang paling peduli. Renjun muak, ingin rasanya ia berteriak kepada semua orang itu. Kepada semua orang yang kini pura-pura menitihkan air matanya seakan peduli dengan keberadaan Jisung.

     Seorang wanita melangkah mendekati Renjun, membantu pemuda bermarga Huang itu untuk bangun. "Sudah seharian kau belum mengisi perut. Ayo ibu temani makan?"

     Yang lebih muda mengangguk lemah, membiarkan badannya dituntun oleh ibunya menuju ruang makan.

     "Jisung pasti sedih melihatmu seperti ini." Nyonya Huang menghela nafas berat, tangan wanita itu dengan lembut mengelus pelan punggung Renjun.

Tangisnya pecah begitu saja. Renjun menunduk dalam, membiarkan tangannya menumpu badan mungilnya. Tangisnya terdengar pilu, beberapa tamu juga menatapnya dengan tatapan kasihan.

Sekarang kata-kata Donghyuck dihari ia mendaftarkan diri untuk masuk ke dalam permainan gila itu seakan menusuknya. Boomer. Renjun masih ingat bahwa ia bilang semuanya akan baik-baik saja. Kini tidak ada lagi Yangyang, Donghyuck, ataupun Jisung yang menjadi tempat keluh kesahnya.

Ketika Renjun menoleh, ia mendapati ayah Jisung sedang menatapnya dari kejauhan. Bukan tatapan biasa. Tapi sebuah tatapan yang sulit diartikan hingga sebuah seringaian terpampang di bibir lelaki tua itu.

Setelah dua hari puas menangisi Jisung di rumah duka, Renjun memilih untuk libur dari sekolah selama seminggu. Yang ia lakukan di rumah hanyalah membaca surat dari adik sepupunya yang tidak ia mengerti sama sekali. Renjun ingin tahu arti dari rentetan kata yang Jisung tuliskan di kedua secarik kertas itu. Berakhir dengan dirinya yang kebingungan kemudia menghela nafas panjang.

Renjun masih terpuruk dengan kepergian Jisung. Saudara yang paling dekat dengannya hanyalah Jisung, selebihnya sanak sepupu dari keturunan Huang hanya sebatas mengenalnya sebagai anak dari firma hukum ternama di Korea. Tidak ada yang tahu kisah yang Renjun jalani selain Jisung.

Kini pemuda bermarga Huang itu sedang terdiam, menikmati angin malam yang dingin menusuk hingga ketulang. Tapi sesuatu menginterupsinya dari lamunan. Suara pintu kamarnya terbuka, menghadirkan seorang pemuda berambut abu-abu yang sedang tersenyum manis ke arahnya. Renjun membalas senyuman lelaki itu lalu berjalan menuju kasur, menepuk tempat di sebelahnya agar si pemuda Na duduk di sebelahnya.

"Pegang."

Renjun terdiam, namun ia tetap menerima flute yang Jaemin beri. Kemudian yan lebih muda menuangkan Dom Pérignon Rose Gold ke dalam gelasnya. Selanjutnya lelaki bermarga Na itu menuangkan cairan dari botol tersebut ke flute miliknya.

"Agar Renjun tidak sedih lagi, mari bersulang." Jaemin tersenyum. Ia mengetuk flutenya dengan flute Renjun hingga menghasilkan suara nyaring. Keduanya terkekeh pelan kemudian meminum champagne itu secara perlahan.

"Sepertinya setelah aku kemari kau merasa jauh lebih baik?"

Renjun mengangguk ragu. Tapi memang betul. Sedari tadi kerjaannya hanya melamun juga membaca surat yang Jisung beri. Setelah Jaemin datang ia jadi sedikit terdistrak.

Renjun menaruh flutenya di meja. "Aku ambil libur seminggu."

Yang paling muda mengangguk, ikut menaruh flutenya kemudian mengusap bahu Renjun. "Bagaimana lukamu?"

"Sudah baikan, mulai mengering perlahan. Aku hanya diberi sebuah plester." Renjun membuka kancing piyamanya, menariknya kesamping hingga Jaemin dapat melihat sebuah plester berwarna krem terpajang di sana.

Tidak, ia tidak fokus pada plester itu. Jarinya dengan refleks bergerak menyentuh tulang selangka milik yang lebih tua. Renjun sedikit terkejut. Ketika tangan dingin itu menyentuh kulitnya, ia memundurkan badannya, menutup kembali piyamanya.

"A—ah maaf." Jaemin jadi salah tingkah lagi. Lelaki itu memilih untuk menunduk, mengambil flutenya lalu meminum isinya perlahan.

"Jaemin."

"Y—ya?"

Yang lebih tua terdiam sebentar, memalingkan wajahnya enggan menatap lelaki bermarga Na itu. "Aku— mau melunasi hutangku."

Jaemin menatap lelaki di depannya bingung tapi ia mengingat sesuatu kemudian menyeringai. Setelah menaruh kembali flutenya, Jaemin mendekati lelaki mungil itu. Ia memegang pipi gembil milik yang lebih tua, mengelusnya pelan dengan ibu jari.

     Detik berikutnya Renjun ikut mendekat. Lelaki mungil itu tiba-tiba melayangkan satu kecupan di bibir yang lebih muda. Jaemin terkejut, tapi ia tetap diam lebih memilih untuk menatap paras manis milik lelaki di hadapannya.

     "Jaemin, do me."

     Kini seringaian di wajah itu berubah menjadi senyum simpul. Jaemin mendekatkan wajahnya, menempelkan kedua bibir itu lalu menciumnya dengan lembut. Secara perlahan tapi pasti, ia juga berusaha mendorong Renjun agar lelaki itu tertidur di kasur, di bawah kungkungannya.

      Renjun hanya mengikuti alur tapi ia benar-benar gugup. Telinganya juga memerah. Kedua tangannya ia biarkan melingkar bebas di leher Jaemin, mendorong tengkuk yang lebih muda untuk memperdalam pergulatan bibir mereka.

     Ciuman itu awalnya ringan, tapi semuanya berubah ketika Jaemin dengan telaten membuka satu-persatu kancing piyama Renjun seperti tempo hari. Ketika Renjun memukul pundaknya, ia mengerti kalau lelaki mungil itu kehabisan nafas. Jaemin melepas pagutan mereka kemudian beralih ke leher.

     "J—Jaemin. ."

     Tak memperdulikan panggilan itu, si pemuda Na kini tengah sibuk menciumi dadanya. Renjun seperti disengat listrik, entah kenapa tiba-tiba saja ia mendorong Jaemin. Membuat pria itu tersungkur di karpet. Kemudian yang lebih tua kembali merapatkan piyamanya.

      "M—maaf aku. ."

       Jaemin berdecih pelan ia merapihkan bajunya lalu bangkit. Renjun paham, kalau begini tandanya lelaki itu sudah mulai emosi.

     Detik berikutnya Jaemin kembali menyerangnya. Menindih tubuh mungilnya kemudian mempermainkannya tanpa ampun. Renjun memejam, merapalkan berbagai macam doa di otaknya agar selamat dari amukan Jaemin.

      "Jaemin, jangan begini! Ahh—" Renjun meremas selimut putihnya perlahan ketika Jaemin mulai melebihi batas. Memberontakpun percuma, ia akan kalah juga pada akhirnya.

     Ketika keduanya telah menyatu, Renjun berdebar cukup kencang. Rambut abu-abu itu jatuh bersamaan dengan bulir keringat yang membasahi dahi yang lebih muda. Tapi satu hal yang Renjun pahami ketika tidur dengan Jaemin dalam keadaan lelaki itu emosi adalah, Jaemin berbicara seperti orang melantur.

黄仁俊
- 朴智星

Pengkhianat sendok emas tidak mati hidup merisak

10.00

Paham tambah ww21911 diancam tidak mungkin aku mati tak akan berhenti believe me

01.00

MAFIA ⋆ JaemRen。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang