Chapter Fourteen.
Lucas tersenyum sumringah ke arah lelaki mungil di sebelahnya. "Kau takut?"
Renjun terkekeh pelan kemudian meminum jus dalam kemasan kesukaannya. "Entahlah, sesuatu seperti mengatakan kepadaku jangan pergi."
"Kau merindukannya 'kan?" Lelaki tinggi di sebelahnya menyenggol pundak sempitnya, berusaha menggoda Renjun yang kini memerah.
Pemuda Huang itu tertawa pelan. Hari pertamanya di sekolah baru benar-benar diluar dugaannya. Semua orang di lingkungan ini benar-benar berbanding terbalik dengan lingkungan yang ada di Neo. Semua orang menyambutnya dengan hangat, saling melempar senyum dan sesekali menyapa Renjun yang masih kelihatan kebingungan dengan letak sekolah barunya. Untungnya Lucas, teman sebangkunya yang baru mau menemaninya berkeliling. Renjun juga tidak segan-segan bercerita tentang pengalamannya di Neo juga kisahnya yang rumit bersama Jaemin.
Menurut Renjun, Lucas itu seorang pribadi yang gampang bersosialisasi seperti dirinya. Namun sayang sekali, kini kepercayaan diri Renjun untuk mengubah kembali sirkelnya menurun. Ia takut untuk menggapai sesuatu yang baru semenjak hari mengerikan itu datang. Lucas seakan paham, Renjun bukanlah seorang siswa yang sulit didekati. Pembicaraan mereka selalu cocok satu sama lain walaupun ini adalah hari pertama mereka saling mengenal.
"Tapi Renjun. . Perasaanku juga tidak enak." Lucas mengusap tengkuknya, menatap lelaki di sebelahnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Renjun menghela nafas. Kini ia bimbang haruskah ia datang ke Neo atau tidak. Jika semakin ia menundanya, akan muncul pula kesempatan kesekian is harus mengunjungi Neo untuk beberapa kali karena harus menyesuaikan dengan jadwal guru yang memegang data-datanya.
"Aku akan pergi setelah ini." Renjun memainkan ujung hoodienya kemudian menghela nafas perlahan.
"Kau yakin ingin pergi?"
Yang paling muda mengangguk kemudian menoleh ke arah Lucas yang menatapnya khawatir. "Jangan khawatir, itu hanya perasaanmu saja."
Pemuda bermarga Wong itu menghela mafas kemudian mengangguk ragu sebelum memakan roti isinya. Ia mengusap lembut punggung Renjun kemudian tersenyum.
—
Untuk yang terakhir kalinya, Renjun menginjakkan kakinya di koridor kelas Neo. Ia tersenyum simpul sembari menarik tudung hoodienya. Mata cantiknya melirik ke sana ke mari seakan mengunci semua memori yang akan ia tinggalkan di sekolah mengerikan itu.
Mudah sekali, ia hanya harus pergi ke ruang guru untuk mendapatkan data kesiswaannya kemudian pergi dari tempat ini. Tapi setelah refleksi seorang lelaki berambut abu-abu yang tengah berjalan itu berhenti dan malah memandangnya, Renjun sadar. Ada satu memori yang tidak bisa ia tinggalkan di sini. Tapi jika memori itu ikut bersamanya, semakin saja memupuk luka yang ingin ia kubur.
Tidak mudah untuk melupakan si surai abu-abu itu. Apalagi lelaki itu kini berjalan ke arahnya, menubruk badan mungilnya dengan sebuah pelukan yang sangat erat.
"Renjun. ."
Yang lebih tua menghela nafas, is menahan air matanya dan memilih untuk mengusap lembut punggung yang lebih muda. Ia tidak bisa berkata apapun, lidahnya kelu walau hanya untuk mengucapkan apa yang ia rasakan sekarang. Ia amat sangat merindukan Jaemin sejak ia menamparnya hari itu di rumah sakit.
Jaemin menyenderkan kepalanya di bahu sempit milik Renjun. Membiarkannya melepas rindu walaupun mereka sudah diperhatikan oleh murid Neo yang berlalu-lalang. Juga seorang gadis berambut pendek di ujung tangga yang kini meremas sebuah benda di tangannya.
Wanita itu menarik pelatuk, kemudian mengarahkan benda itu ke arah Renjun. Salah satu matanya memejam, berusaha untuk membidik tepat sasaran. Jantungnya berdebar cukup kencang sebelum ia mempersiapkan hatinya untuk menarik trigger. Bibirnya bergetar melihat pemandangan pilu di depan sana. Perasaan kesal pun mendominasi. Dengan sepenuh keyakinan, gadis itu menarik trigger pistolnya dan membuat seluruh warga Neo menunduk karena terkejut dengan suara kencang itu.
Jaemin dan Renjun terdiam di tempat mereka berpijak. Keduanya saling berpandangan sebelum Renjun mendengar bahwa Jaemin memanggil namanya dengan terbata-bata. Sebuah rasa ngilu dan sakit itu tiba-tiba datang. Renjun membelalakkan matanya, tangan mungilnya meraih dadanya.
Waktu di antara mereka seakan berhenti dan berubah menjadi pelan. Renjun sempat memegang pundak Jaemin sebelum pegangan itu terlepas begitu saja. Dadanya amat sakit, ia bahkan tidak sadar bahwa noda darah itu sudah mengotori hoodie kesukaannya.
"Renjun— Renjun kau dengar aku 'kan?" Jaemin merasakan bahwa tubuh mungil itu melemas sementara matanya masih terbuka, menatap balik ke kedua maniknya. Jaemin menahan tubuh mungil itu agar tidak tumbang.
Yang lebih muda merasakan jantungnya berdegub sangat kencang ketika kedua mata indah itu tertutup dengan perlahan. Jaemin kalut. Dengan segera ia meletakkan tubuh mungil itu agar berbaring kemudian matanya melirik ke penjuru koridor hingga ia menemukan seorang gadis berambut pendek menatapnya dengan tatapan sendu.
"Kemari kau sialan!" Ia mengumpat. Tangannya meraih sebuah benda dari saku celananya kemudian mengarahkannya ke arah gadis itu.
Pupil mata Jaemin bergetar. Air mata pun mengumpul di pelupuk matanya. Bak orang gila ia berteriak sembari mengumpati Ryujin cukup kencang hingga membuat seluruh siswa yang masih menunduk di sana ikut ketakutan.
Beberapa guru yang terkejut karena suara tembakan itu pun memilih ke luar dari ruangannya dan hendak menghentikan mereka berdua. Namun Ryujin masih setia memegangi pistolnya dan menodongkannya ke arah Jaemin, membuat beberapa guru yang ada di sana tidak berani melakukan apapun. Inilah Neo.
"Sudah kubilang jika kau berani menyentuhkan walau hanya setitik aku akan menembakmu di kepala." Jaemin terkekeh pelan ketika merasakan satu bulir air mata jatuh membasahi pipinya. Ia mulai menarik pelatuk kemudian tanpa ragu menekan trigger. Tapi gadis itu dengan sigap menghindar, berlari ke atas meninggalkan Jaemin yang berteriak bak kesetanan.
Dunianya seakan tiba-tiba hancur ketika melihat Renjun terbaring lemah dengan noda merah pekat yang membasahi hoodienya. Jaemin sekali lagi berteriak frustasi sebelum memilih untuk menggendong Renjun keluar dari lingkungan Neo, mengabaikan guru-guru yang kaget melihat keadaan Renjun.
—
Sesampainya di rumah sakit, Renjun langsung mendapatkan penanganan dari tim medis sementara Jaemin hanya berdiam diri di depan ruangan dengan wajah pucatnya. Seragamnya ikut kotor akibat noda darah milik Renjun. Jaemin takut. Ia takut kehilangan Renjun karena kebodohannya sendiri.
Ketika ia menoleh ke arah pintu masuk. Seorang wanita paruh baya berjalan mendekatinya dengan buru-buru. Jaemin membungkukkan badannya memberi salam sebelum merasakan wanita itu memukul tubuhnya yang melemas sembari menangis.
"Kau apakan anakku?!"
Jaemin hanya diam. Wanita ia berteriak histeris sembari menggoyangkan pundaknya meminta penjelasan. Lelaki berambut abu-abu itu menunduk, membiarkan air mata kembali turun membasahi wajah tampannya.
Melihat ibu Renjun yang emosi dan menangis, Jaemin jadi tahu bahwa satu-satunya yang Renjun punya sekarang hanyala ibunya. Jadi ia hanya pasrah ketika wanita itu memukul dadanya, menyalahkan Jaemin atas semua yang menimpa Renjun barusan.
"Anakku tidak pernah berbuat jahat, Na Jaemin. Ia anak baik. Ia selalu menuruti perintah ayahnya. Mengapa kau malah melukainya?" Wanita itu berhenti memukuli Jaemin, ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Kakinya melemas diiringi suara tangisan yang keluar dari bibir tipisnya.
Jaemin menatap nyonya Huang yang kini benar-benar nampak hancur akibat ulahnya. Lelaki berambut abu-abu itu itu ikut menjatuhkan tubuhnya, berlutut di hadapan ibu Renjun.
"Tolong. . Maafkan aku. ."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAFIA ⋆ JaemRen。
Fanfiction❝ Hold your breath or we will die. ❞ tw // cw ; mention of death, blood, abuse, fight, scars, mention of sexual activity and kissing. ✧༚ 𝐉𝐀𝐄𝐌𝐑𝐄𝐍 ✧༚ 𝐁𝐱𝐁 ✧༚ 𝐁𝐚𝐡𝐚𝐬𝐚; 𝐅𝐚𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 ✧༚ 𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫𝐞 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐞𝐧𝐭 C O M P L E T E