Pull The Trigger.

8.8K 1.3K 107
                                    

Chapter Ten.

Hari liburnya tersisa sekitar dua hari lagi. Selama lima hari sebelumnya ia hanya diam di kamar, tidak berniat untuk keluar dari sana walau hanya sedetik. Setiap tiga jam sekali, ia akan menelepon kebawah, meminta salah satu pelayan untuk sekedar membawakannya air mineral.

Sekali lagi Renjun melihat secarik kertas yang Jisung beri, ia mengulang kata-kata yang tertulis tidak beraturan di sana. Di surat pertama ia sediki mengerti apa yang berusaha Jisung sampaikan. Pasti seorang old money yang diam-diam berkhianat, hidupnya selalu merisak orang. Membaca salah satu kalimat lagi, Renjun terdiam. Ia tidak mengerti mengapa Jisung menulis kata tidak mati di sana. Sudah pasti dalang dibalik semua kejadian itu belum mati.

Renjun mulai membuka buku catatannya, menulis apa yang ada di kepalanya. Ketika beralih ke surat kedua, ia benar-benar terdiam. Jisung menulis kata-kata yang lebih aneh dari sebelumnya. Ia berpikir untuk melanjutkannya esok hari.

      Kini lelaki bermarga Huang itu memilih untuk menjatuhkan tubuh kecilnya di kasur. Ia memejamkan matanya. Bayangan wajah Jaemin kembali merasuki pikirannya. Rahang tajam itu, tatapan manis itu, Renjun menyukainya. Tiba-tiba jantungnya mulai berdegub kencang, semburat merah mewarnai pipi gembilnya. Ia menghela nafas, menertawakan dirinya yang mungkin menyukai bagaimana Jaemin memperlakukannya.

      Walaupun awalnya lelaki bermarga Na itu cukup kasar, tapi semakin kesini sikap kasarnya itu tiba-tiba berubah menjadi manis. Renjun tersenyum manis membayangkan Jaemin tersenyum manis ke arahnya. Ia jadi merindukan lelaki itu.

     Namun sebuah kalimat terlintas di benaknya. Renjun menghela nafas mengingat kegiatan panasnya dengan Jaemin beberapa hari yang lalu. Setelah mereka selesai, Jaemin kembali tersenyum manis ke arahnya. Renjun masih ingat bagaimana Jaemin menangkup pipinya kemudian melarang Renjun untuk jatuh hati padanya.

     Jauh di dalam lubuk hati Jaemin yang paling dalam. Ia sudah jatuh lebih dahulu ketika Renjun menatapnya dengan mata indahnya itu. Jaemin pertama kali menyadarinya ketika mereka berciuman di rumahnya. Senyumnya nampak sangat polos dan tulus, Jaemin menyukainya.

      Sejujurnya keduanya telah menyimpan rasa masing-masing. Tapi Jaemin mencoba menahan perasaannya. Tentu saja ia punya alasan.

     "Yiren mengajak bertemu di sini." Jaemin berujar tenang sembari memutar stirnya ke salah satu restauran ternama di Gangnam. Renjun hanya mengangguk, memerhatikan betapa lihainya Jaemin memakirkan mobil kesayangannya.

Jaemin keluar dari mobilnya diikuti Renjun. Lelaki yang lebih muda itu mengulurkan tangannya, Renjun dengan senang meraihnya. Mereka berdua saling menggenggam hingga masuk ke dalam restauran.

Yang lebih muda tersenyum simpul merasakan tangan yang lebih kecil menggenggamnya. Mereka berjalan berdampingan hingga sampai di salah satu meja tempat seorang wanita dengan dress putih duduk.

Jaemin menarik sala satu kursi, mempersilahkan Renjun untuk duduk baru setelahnya ia mendudukan dirinya di kursi sebelah Renjun. "Jadi?"

Yiren menyeringai, ia meronggoh tasnya lalu mengeluarkan dua tiket pesawat juga dua blackcard dari dalam tasnya. "Sepertinya kalian sudah akur." Wanita itu menyodorkan benda itu kepada keduanya.

      Salah satu lelaki berambut abu-abu tersenyum simpul, ia mengambil kertas dan kartu itu. "Terima kasih nona Wang."

       Wanita itu terkekeh sinis, ia memutar bola matanya jengah seakan menantang Jaemin. "Nikmati liburan kalian." Kemudian wanita itu pergi begitu saja meninggalkan Renjun dan Jaemin yang menatapnya heran.

"Disini tanggal keberangkatannya 3 hari lagi, mari perpanjang hari liburmu." Jaemin terkekeh pelan sembari mengusap sayang surai mullet milik lelaki di sebelahnya.

Renjun tersenyum kemudian mengangguk. "Aku tidak sabar. Sudah lama tidak liburan."

     Yang lebih muda ikut tersenyum, ia mendekatkan wajahnya, mencuri sebuah kecupan dari bibir Renjun.

"Kau. . manis sekali."

Yang paling tua terkekeh pelan. Entah manis apa yang dimaksud Jaemin. Tapi memang sebelum berangkat ke sini ia berusaha untuk memilih pakaian yang membuatnya terlihat seperti lelaki polos. Berakhir dengan ia menggunakan kemeja putih polos yang kebesaran di tubuhnya juga celana jeans panjang.

Jaemin tersenyum. Ia meraih pipi Renjun lalu mengusapnya lembut. "Seharusnya aku tidak melarangmu untuk jatuh hati padaku, karena aku sudah jatuh lebih dulu."

Renjun terdiam mendengar kata-kata Jaemin. Ia tersenyum manis.

Namun tiba-tiba ia mempertanyakan kepercayaan Jaemin di dalam benaknya.

Renjun bukan pemuda introvert, dia pandai sekali bergaul. Tapi perlahan setelah kabar Donghyuck dan Jisung kepercayaan dirinya hanya menguar ketika ia bersama Jaemin. Ia takut hanya untuk sekadar menyapa orang-orang yang berlalu lalang di koridor sekolah. Biasanya ia tidak begini.

     Sambil ditemani Donghyuck. Biasanya ia akan berjalan di lorong menuju kantin sembari menyapa siapapun yang lewat. Satu Neo hampir mengenal wajahnya karena sangat familiar. Energinya juga positif. Tapi sekarang semua itu seakan menghilang dari diri Renjun.

     Ia menunduk sangat dalam sembari memakai tudung hoodienya. Tidak ingin melihat para murid Neo yang kini menatapnya dengan tatapan membunuh.

     Ketika berbelok ke toilet, ia mulai membuka tudungnya. Menatap pantulan dirinya di cermin kemudian membasuh wajahnya dengan air. Ia cukup tertekan setelah permainan gila itu berakhir. Ia tidak tahu harus apa jika tiba-tiba rasa takut menghampirinya.

      Renjun menghela nafas perlahan. Ia berbalik, hendak keluar dari toilet tetapi suara tangisan seorang wanita menginterupsinya. Mau tidak mau ia mendekat ke arah satu bilik yang ada di pojok. Tangannya sudah siap meronggoh pistol yang ada di saku hoodienya. Ini kamar mandi khusus pria, untuk apa wanita menangis disini? Pikir Renjun.

     Ia mengetuk beberapa kali pintu bilik tersebut tanpa berbicara apapun. Ketika pintu itu terbuka, menampakkan seorang lelaki berambut cokelat menodongkan pistol ke arahnya. Renjun dengan refleks menarik pistol di dalam saku hoodienya, menarik pelatuk lalu mengarahkannya ke lelaki itu kemudian menembaknya.  Saat lelaki itu terjatuh, di sana terlihat seorang wanita yang wajahnya sangat familiar di mata Renjun. Wanita itu benar-benar tanpa busana, ia menoleh kesamping, menolak untuk menatap Renjun.

    "Yiren. ." Buru-buru Renjun melepas hoodienya, mendekat ke arah wanita itu kemudian menutupi tubuhnya dengan hoodie miliknya. "Kau baik-baik saja?"

     Yiren mendongak, menatap sekelilingnya takut kemudian bangkit dari duduknya. Membiarkan hoodie Renjun terjatuh begitu saja. Dengan buru-buru wanita itu mendekat ke arah Renjun, mengalungkan tangannya di leher si lelaki kemudian mencium bibirnya

     Renjun cukup terkejut. Ia berusaha mendorong Yiren dengan hati-hati. Tapi semuanya seperti diluar dugaan. Seorang lelaki tua dengan setelan jas rapih memergoki mereka. Matanya membulat hebat, kemudian ia menarik kerah baju Renjun. Melayangkan satu tinjuan yang sangat keras ke pipi gembil pemuda Huang itu. Yiren berteriak, beberapa kali melarang lelaki tua itu untuk kembali melayangkan tamparan ke pipi Renjun.

     "Dasar anak sialan! Tidak tahu diuntung! Sudah kuperintahkan para bedebah itu menyingkirkan semua yang ada di dekatmu. Tapi membunuhmu saja tidak bisa!"

     Renjun terkapar lemas di lantai toilet. Ia tidak mendengar jelas umpatan-umpatan yang di keluarkan ayahnya. Matanya hanya fokus ke arah pistol pemberian Jaemin yang terlempar ke arah Yiren. Nafasnya tersenggal-senggal.

     "Sama saja kalian semua bodoh, termasuk anak pemilik yayasan itu!" Ketika kaki lelaki tua itu hendak menginjak Renjun, Yiren kembali berteriak cukup kencang.

     Itu adalah hal terakhir yang Renjun rasakan sebelum ia menutup matanya.

MAFIA ⋆ JaemRen。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang