[ • lima belas • ]

58 7 0
                                    

Arka kecil menahan tangisnya didepan batu nisan yang bertuliskan nama ayahnya.

"Arka sayang, kalau mau nangis nangis aja. Gak baik menahan nangis." Suara lembut terdengar ditelinganya.

"Nggak Ma! Ayah pernah bilang cowok itu harus kuat gaboleh cengeng."

Reyna, sang pemilik suara lembut itu.
Tertawa kecil lalu tersenyum hangat menatap anaknya, "Menangis itu wajar sayang, apalagi kamu itu manusia, diciptakan dengan memiliki hati dan perasaan, perasaan senang maupun sedih,

Mama mau nanya, cowok juga manusia kan?"

Arka kecil mengangguk.

Senyum hangat tak pernah luntur diwajah Reyna,
"Nah, jadi wajar kalau kamu nangis sekarang, namanya juga sedih, air mata udah jadi temannya."

**

"Kak? Kok bengong?"

Arka tersadar dari lamunannya. Mengingat kembali sosok ibunya. Arka sangat merindukannya.

"Thanks."

Ziva mengangguk dan tersenyum.

"Jangan tersenyum, senyum mu membuat aku ingin menjadi munafik kepada temanku sendiri."







"Ihh kak Leo ngapain sih kesini?"

"Nyamperin lo lahh,"

"Aku kan uda bilang sama kak Leo, kalau nggak ada niat serius ngga usah deketin aku!"

Leo hanya diam. Tetap duduk dihadapan gadis itu. Senyumnya tak pernah luntur jika sedang berada didekat gadis ini.

"Udah sana, kenapa sih masih disini?!"

"Gue masih tetap ngedeketin lo, karena gue serius dengan lo," terdengar lembut, namun terlihat keseriusan disorot matanya.

Gadis itu, Delia. Kini hanya bisa tertegun mendengar ucapan pria didepannya, ditambah tatapannya yang sungguh, mempesona.

Melihat gadis ini hanya diam. Ia kembali melanjutkan kata katanya,
"Gue tau sebuah ucapan gak terlalu berguna jika tak ada bukti, maka dari itu, izinkan gue untuk ngedeketin lo dan ngebuktiin kalau gue serius sama lo."

Delia? Menangis.
Ini pertama kalinya ia mendengar ungkapan tulus dari seorang pria.

Mantannya? Cuih! Hanya gombalan basi yang selalu ia utarakan untuk Delia.

"Lah kok nangis Del?" Leo panik sekarang.

Delia tetap menangis dan menundukkan kepalanya.

Leo meredakan kepanikannya, lalu mengangkat pelan kepala Delia, membuat mereka saling bertatapan sekarang. Leo mengunci tatapan mereka.

Tangan lembut terasa dipipi Delia, bergerak halus untuk menghapus air matanya.

"Jangan nangis, salah satu bukti gue serius sama lo itu dengan membuat lo bahagia, bukan sedih."

"Hiks— tapi aku lagi bahagia kak."

Leo mengerutkan alisnya,
"Bahagia kok nangis?"

"Ini nangis bahagia kak, aku terharu dengar kata kata kakak tadi, hiks—"

Leo tersenyum, tingkah gadis ini sungguh menggemaskan. Polos, hingga membuat ia semakin pasti untuk selalu menjaga gadis dihadapannya ini.

"Jadi gimana? Lo ngeizinin gue?"

Sang BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang