Manakah yang terbaik dari merelakan atau menahan diri untuk bertingkah sesuka hati.
🌸Setelah semalaman berpikir dan kurang tidur, gadis itu belum juga mendapatkan jawaban. Kesenduan tampak di wajah putihnya. Padahal ia sendiri tak tahu tengah memikirkan apa. Ada sesuatu yang menghimpit dada tetapi begitu sulit dijabarkan melebihi materi perhitungan trigonometri.
Tanpa kejelasan dan perasaan mengambang, Zinni cuma bisa memutar otak tak pasti. Ia bermuara pada kebuntuan. Sebenarnya hanya perlu kata ‘ikhlas’ untuk melepas kekhawatiran tanpa alasan.
Namun, seperti belenggu yang menawan hati. Ia merasa ingin menjadi egois untuk tak mendengarkan keinginan Jasmine. Andai sekarang Zinni sedang bermimpi! Bukankah sangat melegakan.
Sayang, semua nyata bukan ilusi. Bagaimanapun, ia masih harus berpikir lebih bijak.
Tin!
Klakson nyaring memekakkan telinga Zinni. Hingga cewek itu tersentak dari lamunan. Sadar dan mengerjapkan mata seperti orang linglung.
“Heh, lo mau sampe kapan di sono?” tanya Geren karena Zinni tak kunjung masuk ke dalam mobil, “naik atau gue tinggal.”
Zinni sempat tersentak sesaat, juga dengan beberapa murid lain di sekitar parkiran. Meskipun begitu, ia belum menjawab, membiarkan Geren dipenuhi tanda tanya besar atas kelakuan adiknya. Pandangan Zinni kosong mengarah pada manik Geren yang menyalak.
“Jin! Lo budek ya? Buruan napa sih.”
Rasa kesal Geren sudah di ubun-ubun. Dia terus mengumpat dan menekan klakson berulang kali. Lelaki itu sukses membuat suara berisik yang menggema di area sekolah. Sementara Zinni, tengah bergelut dengan pikirannya sendiri. Kali ini ia tak peduli dengan kakaknya yang marah. Justru ia memilih memutar badan dan pamit dari sana. Membiarkan Geren pulang lebih dulu.
“Aku harus pergi. Kamu duluan aja. Nanti aku kabarin mama.”
“Setan!” umpat Geren karena menghabiskan waktu sia-sia demi menunggu Zinni, dan pada akhirnya cewek itu malah kabur entah ke mana. Tahu begitu, kenapa tidak sejak tadi Zinni mengabari.
Dengan emosi Geren menarik gas cepat, dan melesat meninggalkan parkiran. Decakan dari bibir pedasnya terus merapalkan kutukan pada Zinni yang dirasa kurang ajar! Andai saja dia penyihir, ingin sekali Geren menghilangkan Zinni.
Pedal rem diinjak tanpa ampun kala mobil putih Geren hampir menabrak seorang di depannya.
“Woi! Mau mati lo ya?” teriak Geren membuka kaca mobil. Lalu beringsut turun seraya membanting pintu mobil keras.
“Lo kira ini jalan nenek lo?” balas Ziko tak terima karena ulah Geren yang serampangan. “Udah tau salah, malah ngegas.”
Bagaimana kalau dia benar-benar tertabrak dan mati konyol. Ziko melirik pada pixy merahnya yang sudah tergolek di tanah. Sepertinya dia harus memberi pelajaran pada makhluk songong bin gila ini.
“Minggir lo, ganggu aja,” protes Geren penuh amarah. Dia ingin segera pergi, namun Ziko sudah lebih dulu meraih kerah seragam Geren.
“Lo kayaknya perlu diajarin sopan santun deh.”
“Maksud lo apa, huh!”
Keduanya saling beradu tatap dengan mata menyalak.
“Orang itu kalo salah harusnya minta maaf,” tutur Ziko tegas.
“Bacot lo. Mata lo siwer ya, jelas-jelas lo yang tiba-tiba muncul.”
Letupan api semakin membara dari dua cowok itu. Geren yang memang keras kepala dan merasa tak bersalah harus berhadapan dengan Ziko, siswa dengan harga diri tinggi. Salah ya tetap salah. Begitulah prinsip Ziko.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZINNIA ✔
Novela JuvenilSelama nyaris 17 tahun hidupnya Zinni merasa diabaikan oleh Geren--kakaknya yang punya julukan Bon cabe. Sumpah pedes banget kalau lagi sewot. Bikin Zinni jantungan tiap waktu. Tapi namanya saudara, Zinni nggak bisa benci sama Geren. Meski sering di...