Pawana seakan membawa semua beban pikiranku pergi.
🌸"Nggak. Gue nggak bisa, Jas."
Cewek di depannya menatap lurus pada lapangan di bawah sana. Ia memperhatikan kegiatan dari murid-murid di jam istirahat. Dari atas semua terlihat seperti semut, teramat kecil juga merayap dengan kaki mereka. Sama seperti dirinya, kecil tak tampak di mata Makki.
Semilir angin mendung lumayan mendinginkan hati juga perasaannya yang memanas. Ditolak mentah-mentah tanpa ada keraguan itu terasa seolah memang tak ada ruang baginya, barang sedikit saja. Perasaan cowok yang Jasmine eluh-eluhkan sudah penuh, dan terisi oleh satu nama saja, Zinni.
Dengan kedua tangan memegang besi pembatas di atas atap, ia mengeratkan pegangan. Dingin, besi itu tak pernah mendapat kehangatan. Seperti mentari di siang ini yang enggan menampakkan diri di balik gumpalan awan mendung. Bahkan semesta mendukung mereka untuk tak bersatu. Tetap dalam batasan sebagai seorang teman. Tidak lebih sampai kapan pun.
Padahal, Jasmine cukup berbesar hati atas kemungkinan yang hampir seratus persen bisa ia tebak. Patah hati, keretakan yang sudah diprediksinya. Setelah tahu, ternyata begitu sakit. Tetap saja ia lancang untuk mengungkapkan pada Makki. Setidaknya cowok bermuka dingin itu tahu tentang perasaannya selama ini.
Kalau dulu ia sengaja mencampakkan rasa di hatinya. Namun, kelamaan benih itu tumbuh, mengganjal relung di dalam dirinya. Jasmine bisa memahami bahwa jatuh itu sakit. Sekarang ia paham jika menjadi seorang pemeran figuran tak ubahnya seperti angin lalu. Lewat begitu saja, tak bisa memikat suatu yang manis.
"Kalo nggak ada lagi yang mau diomongin, gue pergi."
"Tunggu," pinta Jasmine memutar badan sembilan puluh derajat. Hingga saling berhadapan dengan Makki.
Cowok itu berdiri dengan dua alis hampir menyatu. Surai kecoklatan Makki sedikit berkibar diterpa angin.
Lihatlah sosok rupawan di depannya. Idaman bak manekin hidup yang Jasmine inginkan. Jika uang bisa membeli dia, sudah cewek itu lakukan. Sayang, tidak akan pernah begitu. Ia berjalan dua langkah, memangkas jarak mereka.
Itu tidak mudah. Sangat berat bagi Jasmine gagal di cinta pertama. Salah menaruh hati, bagaimana manusia bisa memilah hal tersebut. Jasmine tidak paham. Gadis itu belum mau menyerah. Ia ingin sebentar saja merasakan bagaimana jika dirinya yang berada dan menggantikan posisi Zinni. Apa lelaki itu setuju? Tidak ada yang tahu kalau belum dicoba bukan.
"Bukannya kamu harus mengabulkan satu permintaan Zinni?"
Makki tak bergeming, setelah lumayan lama Jasmine buka suara. Keputusannya bulat. Tetapi lelaki itu tidak mengerti atas pertanyaan Jasmine barusan. Dia tahu bagaimana situasi bisa dirubah olehnya menjadi hal menguntungkan.
"Tergantung. Apa perlu gue ngelakuin itu?"
"Iya. Gimana kalo kita coba sesuatu yang menarik," saran Jasmine tersenyum nakal. Pancaran matanya menyiratkan sebuah rencana yang membuat Makki terperangah.
Meski tak percaya dan masih mencerna semua bisikan yang terdengar seperti lelucon, Makki akhirnya setuju.
"Deal."
Jasmine menjulurkan tangan, yang mau tak mau Makki jabat. Lalu pergi meninggalkan dirinya lebih dulu.
"Tunggu! Jadi kalian ... selama ini?" sela Zinni di tengah-tengah cerita Jasmine.
Temannya itu sudah duduk bersila di samping Zinni setelah kepergian Makki. Entah ke mana cowok itu sampai sekarang belum kembali.
"Maaf, Zin. Gue bener-bener minta maaf. Gue bikin lo kesusahan dan ngerasain galau berkepanjangan. Gue nggak tau kalo lo nyimpen masalah sebesar ini, dan gue cuma pengen nguji lo," aku Jasmine ketar-ketir. Matanya nanar tak berani menatap Zinni. "Gue lanc-"
![](https://img.wattpad.com/cover/210375670-288-k550877.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ZINNIA ✔
Teen FictionSelama nyaris 17 tahun hidupnya Zinni merasa diabaikan oleh Geren--kakaknya yang punya julukan Bon cabe. Sumpah pedes banget kalau lagi sewot. Bikin Zinni jantungan tiap waktu. Tapi namanya saudara, Zinni nggak bisa benci sama Geren. Meski sering di...