Nostalgia membawa kita pada bukti nyata di waktu lampau.
🌸
Makki telah rapi dengan setelah kaus putihnya. Baju sederhana dan kesan biasa selalu menjadi andalan cowok bersurai cokelat tersebut. Dalam kepala Makki, ia hanya punya satu pikiran. Tidak lain adalah si penawar rindu yang sebentar lagi akan menyambangi kediamannya. Bukan, tepatnya panti asuhan Permata.
Sejak selesai dengan persiapan dan segala macam yang berhubungan dengan acara amal tersebut. Makki tak bosan memantau ke arah gerbang depan sambil melirik jam dinding berulang kali. Berharap seorang yang ditunggunya segera datang.
Hampir pukul tiga sore, sebuah Pajero Sport dengan warna Diamond Black Mica memasuki halaman panti. Raut muka Makki mendadak berbinar, dengan kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. Buru-buru ia beranjak dari kursi, dan menyusul Bu Minah yang lebih dulu menyambut kedatangan mereka.
"Geren, ayo turun, Nak," perintah mama pelan hendak turun dari mobil.
"Aku sini aja, Ma. Tunggu di mobil."
"Lho, kenapa?" tanya mama masih merayu. Lain halnya dengan Zinni yang sudah stay di sisi kursi roda. Hendak mendorong mama, begitu papa selesai menutup pintu.
"Turun, Ger. Jangan bikin malu!" Suara tegas papa terdengar mutlak, tak ingin didebat.
Dengan memutar bola mata Geren turun dari mobil. Akhirnya beranjak dan ikut berjalan dengan setengah hati menuruti titah kedua orang tuanya.
Papa termasuk jarang bicara, tetapi sekali bersuara tidak ada pilihan kecuali kata 'iya' yang harus dipatuhi.
"Selamat datang, Bu Ike, Pak Darma. Ayo silahkan masuk," sapa Bu Minah ramah selaku kepala panti, menyambut kedatangan keluarga tersebut.
"Iya, Bu. Maaf ya, agak terlambat. Tadi kejebak macet, di simpang sana," jelas mama seraya berjabat tangan. Begitu pun dengan papa.
"Iya, Bu Ike. Nggak masalah. Asal selamat sampai tujuan. Acaranya juga nggak buru-buru."
Di belakang, Makki ikut mengekor sambil melempar senyum sopan, dan maniknya berhenti tepat pada Zinni. Lalu mereka berjalan menuju ruang tengah. Di mana acara dilaksanakan. Makki menjajarkan langkahnya di samping Zinni sambil berbincang penuh makna.
Di lain sisi, ada mata bosan yang menyaksikan kedekatan keduanya. Ya, Geren selalu enggan untuk turut serta dalam acara amal bulanan yang rutin diadakan oleh keluarga mereka. Geren tidak berniat mengikuti rangkaian kegiatan yang amat membosankan baginya. Terlebih ia harus dikelilingi banyak anak dengan beragam umur, dan keberadaan dua makhluk yang merusak mood-nya. Di mana ia harus terus berdekatan bersama Zinni dan Makki selama acara berlangsung.
Selang kira-kira sejam setelah acara usai, Zinni pamit ke luar panti. Tentunya bersama Makki yang sudah membuat kejutan kecil di sisi lapangan rumah.
"Zin, sini."
"Ada apaan, Ki?"
"Ini buat kamu. Aku tadi ngambil dari sana tuh," ucap Makki menunjuk ke arah pohon jeruk bali yang menjulang dengan untaian buah bergelantungan bak bola lampu taman.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZINNIA ✔
Fiksi RemajaSelama nyaris 17 tahun hidupnya Zinni merasa diabaikan oleh Geren--kakaknya yang punya julukan Bon cabe. Sumpah pedes banget kalau lagi sewot. Bikin Zinni jantungan tiap waktu. Tapi namanya saudara, Zinni nggak bisa benci sama Geren. Meski sering di...