Yang belum bisa kupercaya adalah ketika mimpi kecil ini terwujud bersama kamu di sampingku.
🌸Suasana meja makan terasa lebih hangat dari hari sebelumnya. Tidak ada drama menyedihkan yang perlu Zinni praktekkan lagi. Ia cukup menjalani rutinitas pagi yang berbeda. Ada sedikit perubahan dan berdampak besar dalam keluarganya, terkhusus bagi hubungan Zinni dan Geren.
Di kursi, Zinni terus menebar senyum merekah bak Miss Universe. Kedua tangannya memegang garpu dan sendok, sedang netra bulatnya bergerak-gerak memperhatikan sekitar.
Mama baru saja mencentong nasi ke piring Zinni, ditambahkan beberapa sayuran juga lauk. Sementara papa, sibuk dengan bacaan koran penuh berita. Lalu beralih menyeruput kopi panas yang baru saja disuguhkan.
Hampir lengkap. Sebab, sebagian puzzle yang Zinni tunggu akhirnya muncul. Buru-buru cewek itu bangkit dari kursi dan berhambur pada lelaki di anak tangga.
"Aku bantu ya ... Kak."
Mendelik lebar, sosok di samping Zinni kala mendengar kata terakhir tadi. Meskipun begitu, hanya ada decihan kecil dan membiarkan dirinya dipapah menuruni anak tangga. Entah mengapa Geren merasa jika makhluk di sebelahnya menunjukkan aura menyebalkan, seolah menghadapi makhluk berbeda.
"Ayo dimakan, Nak," suruh Ike pada kedua anaknya, "Kakak udah mendingan kakinya?"
"Hm, iya, Ma."
Geren menjawab singkat. Dia risih dipandangi oleh Zinni yang duduk tepat di sebelahnya. Baru saja tangannya mau meraih gelas susu di meja, cewek bin aneh itu lebih dulu menarik lengan Geren. Gerakan selanjutnya sukses membuat bola mata Geren seperti mau copot dari
peraduannya."Lo ngapain sih?" tanya Geren heran karena Zinni menuntun jemarinya untuk menepuk puncak kepala gadis tersebut.
"Nggak ada lagi akting."
Zinni terkekeh sesaat kemudian menyudahi aksi barusan. Ia memulai untuk sarapan.
Geren paham sekarang. Bagaimana adiknya bersikap adalah untuk mengingatkan kebiasaan Geren di waktu lampau. Di mana dia sering berpura-pura baik untuk mendapatkan simpati orang tuanya. Tetapi, tidak untuk sekarang. Dirinya masih lumayan kesal karena ulah mereka.
Mata Geren menyipit melirik anggota keluarga di meja makan. Dia tidak akan pernah lupa tentang perkara kemarin dan deretan kekacauan yang menimpanya. Kaki cidera akibat jatuh dari tangga sekolah, kenakalan kabur dari rumah, pertengkaran dengan papa, juga tamparan keras di tulang pipinya, dan sandiwara kepergian Zinni. Kejadian terakhir merupakan kejutan tersendiri.
Baik mama, papa, dan adiknya ternyata tidak sungguh-sungguh berperan sebagai penjahat. Mereka memilih menahan diri dan menunjukkan siasat, yang percayalah tak pernah Geren duga. Padahal saat itu, Geren lumayan frustrasi terhadap kondisi yang ada. Bahkan dia sempat mengeluh dan berlaku bodoh di depan Makki. Sungguh menyebalkan ketika semuanya telah direncanakan, lalu hanya dirinya yang tidak tahu apa pun.
Papa sengaja menyuruh Zinni minggat dari rumah. Keduanya saling menjaga rahasia sampai waktu yang telah ditentukan, baru Zinni boleh kembali. Sementara mama, cukup berperan sebagai korban lain yang tersakiti. Tetapi memang benar, jika mama jatuh pingsan dan kondisi kesehatannya tidak baik.
Sungguh apik persekongkolan terselubung dijalankan, sampai beban pikiran mendera batin Geren. Tidak lain adalah untuk memberinya pelajaran sekaligus menyadarkan sifat kekanak-kanakannya. Alhasil cowok itu jengkel setengah mati kala mengetahui hal konyol itu.
"Ger, kamu kenapa?" tanya papa membuyarkan lamunan, "cepet habiskan sarapan. Biar Papa yang antar kalian hari ini."
Melirik sekilas dengan raut sinis. Geren menyendok asal makanannya. Sikap kasar itu belum sepenuhnya berubah hanya dalam hitungan malam. Sepertinya dia harus lebih banyak belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZINNIA ✔
Подростковая литератураSelama nyaris 17 tahun hidupnya Zinni merasa diabaikan oleh Geren--kakaknya yang punya julukan Bon cabe. Sumpah pedes banget kalau lagi sewot. Bikin Zinni jantungan tiap waktu. Tapi namanya saudara, Zinni nggak bisa benci sama Geren. Meski sering di...