Daun itu gugur lebih awal dari waktunya. Seperti aku yang terlalu cepat mengambil pilihan.
🌸
Ia tidak pernah paham akan perasaan yang mendiami relungnya. Meski melawan logika, nyatanya Zinni tetap menurut pada hati kecil di dalam diri. Apa ia telah salah membuat keputusan atau itulah yang seharusnya Zinni lakukan.
Dihadapkan pada dua kemungkinan membuatnya gundah.
Mana yang lebih utama dalam pertemanan, pengorbanan atau kepercayaan?
Sejak jam istirahat berbunyi, ia masih menimang untuk stay di kelas dan dilanda penasaran, atau berperan jadi penguntit sebentar saja. Sesekali Zinni meremas jemari, menggaruk tengkuk yang tak gatal, menggigit bibir cemas. Hampir dua puluh menit, Makki belum kembali. Apa seberat ini karena ia memikirkan masa depan nanti.
Bukan.
Masalahnya ada pada sekenario yang ia cipta sendiri demi mempertemukan kedua sahabatnya.
Zinni tahu, ia terkesan memaksa Makki. Tetapi, ia tidak bisa mengabaikan permintaan Jasmine. Dalam keseharian cewek yang sering curhat dan mengeluhkan sikap Makki pada Zinni membuat ia sedikit berpikir, apa salahnya untuk mendengar sebentar sesuatu yang ingin Jasmine sampaikan. Hingga pada akhirnya, Zinni hanya menengahi antara satu sama lain.
“Zin, lo kagak liat Makki?” Woii! Zin?” panggilan Ziko tak dijawab ketika gadis itu beringsut ke luar kelas. “Apa dia nggak denger gue?” desisnya kemudian berlalu pergi dengan raut mengernyit.
Ia harus memastikan sendiri. Begitulah batinnya berkomentar. Namun, ketika sampai di tangga menuju rooftop gedung A. Tungkainya berhenti melangkah tepat di anak tangga terakhir. Zinni sedikit mengintip dari balik celah pintu yang terbuka.
Background langit redup membingkai kedua insan yang berdiri saling berhadapan. Pandangan mereka terkuci satu sama lain, sampai Jasmine berucap sesuatu dengan senyuman yang sulit diartikan. Melihat itu, jantung Zinni berpacu dua kali lipat. Sesaat otaknya tak mampu berpikir jernih.
Dari jarak hampir sepuluh meter, mustahil Zinni bisa mendengar. Apalagi suara mereka tersamarkan karena deru angin di sana. Ditambah pintu yang membatasi pendengaran.
Aku ngapain sih?
Otak Zinni sangat tidak sinkron saat ini. Ia menempelkan dan mempertajam pendengaran pada daun telinga. Berharap dapat menangkap suara dari keduanya.
Sekarang persis seperti maling yang tengah beraksi, ia merasa seakan di sisi sebelah kiri ada makhluk buruk yang membisikkan ajakan negatif, sedangkan telinga kanannya mendengar siraman rohani.
Mampus!
Belum juga berhasil nguping. Makki sudah mulai beranjak dari sana. Kontan Zinni mundur perlahan dan hampir terjungkal. Beruntung ia dengan sigap berpegangan pada pinggiran tangga. Kemudian, buru-buru melesat kabur. Berderap pelan sembunyi di bawah tangga, di samping lemari besar.
Sumpah! Ini lebih menegangkan hanya dengan mendengar sepatu Makki yang beradu dengan tegel lantai, dari pada menonton film horor. Satu kecemasan, ia hanya takut ketahuan. Sungguh Zinni tidak memiliki sedikit pun alasan.
Jantung yang berdetak kencang, dan kaki seolah terpaku. Membuat ia kaku dengan deruan napas tertahan. Apalagi ketika Makki sempat berhenti dan menyisir sekitar. Gadis itu sampai membekap mulut demi menetralisir suara kalau-kalau beraduh kaget.
Syukurlah ….
Zinni mengembuskan napas lega. Namun, kembali waspada kala Jasmine menyusul di belakangnya. Dari tempatnya berada, ia cuma memandangi siluet Jasmine yang kemudian menghilang di balik dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZINNIA ✔
Teen FictionSelama nyaris 17 tahun hidupnya Zinni merasa diabaikan oleh Geren--kakaknya yang punya julukan Bon cabe. Sumpah pedes banget kalau lagi sewot. Bikin Zinni jantungan tiap waktu. Tapi namanya saudara, Zinni nggak bisa benci sama Geren. Meski sering di...