Orang yang benar-benar peduli tidak akan berpura-pura atau sembunyi dari masalahmu.
🌸"Gue ntar nyusul, Zin. Kalo udah beres OSIS, ya."
Lantas Jasmine melipir ke gedung timur di ruang ekskul. Sementara Zinni berkelok ke arah kantin. Keduanya berpisah dengan tujuan berbeda. Wajar saja kalau Jasmine lumayan sibuk. Sebab ia termasuk anggota inti di OSIS Bunga Bangsa. Anak yang easy going juga pandai bergaul sepertinya bukanlah perkara sulit untuk menjadi bagian dari organisasi tersebut.
Berada dekat bersama Jasmine di saat tertentu membuat Zinni segan. Sebab tanpa diminta, otak tumpulnya berkelebat tentang kisah asmaranya dengan Makki. Meski tidak ingin berpikiran jauh, nyatanya ia tidak bisa tidak penasaran.
Mulai bagaimana mereka menjalani hubungan tersebut, kegiatan apa yang dilakukan kalau bertemu, pembicaraan menarik seperti apa yang sering mereka singgung, dan masih banyak hal lainnya yang membuat ia kepo. Tetapi, jujur saja hampir seminggu yang katanya mereka jadian, Zinni belum mendengar lagi dari mulut Jasmine. Kecuali bahwa memang perasaannya tersampaikan.
Sepanjang perjalanan ke kantin Zinni bergumam sendiri.
Gadis itu menepuk jidat supaya kembali berpikir jernih. "Bukan waktunya mikirin itu."
Bergegas ke kantin demi mengisi perutnya yang keroncongan. Cewek itu duduk sendirian dan menyantap makanan tak mau ambil pusing dengan memikirkan apa pun. Sebab, perutnya sedang kekurangan asupan. Zinni lapar karena tadi pagi belum sempat sarapan.
Tumbenkan.
Alasannya ia bangun kesiangan karena tidur kelewat malam. Tugas fisika yang tidak Zinni ingat membuatnya harus begadang sampai larut. Alhasil waktu istirahatnya berkurang. Beruntung, ia tidak terlambat sekolah pagi tadi.
Coba saja pikirannya normal, pasti ia bisa menghandle jadwal harian dengan benar. Setelah rampung dengan makan siangnya, Zinni berniat menunggu Jasmine barang lima menit lagi. Siapa tahu dia akan datang lebih cepat. Kalau tidak, keputusannya kembali ke kelas.
Belum genap lima menit, Zinni berubah haluan. Ia buru-buru bangkit dan membayar pesanannya. Lalu berderap cepat menyusul siswa yang baru saja keluar kantin.
"Gg-geren!"
Panggilan dilayangkan pada Geren hingga membuat siswa tersebut berhenti, juga Sandi yang berada di sampingnya.
"Halo, Zin. What's up?"
Ia mencoba mendekat seraya mengatur napasnya yang masih naik turun. Alih-alih menunggu, Geren justru mulai melangkah lagi. Semakin memperjauh jarak di antara keduanya.
"Bon, lo dipanggil tuh. Budek ya?" Sandi mengomentari sikap abai Geren.
Seakan tuli Geren tetap berjalan begitu saja. Seolah benar-benar tak mendengar ada orang yang memanggilnya. Maka, dengan cekatan Zinni berhambur ke sisi depan dan memblokade jalan.
"Tunggu ... dengerin aku sebentar aja?"
"Minggir."
Geren berucap ketus dengan mata berkilat. Netranya enggan bersitatap pada Zinni. Dia lebih memilih menyapukan pandangan ke arah lain.
Menghirup udara dalam seraya meremas rok sekolah. Aku bisa! Tekadnya sudah bulat untuk membujuk sang kakak supaya pulang. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut lagi.
"Ayo, pulang. Mau sampe kapan kaya gini terus?"
Menoleh kanan-kiri di antara Geren dan Zinni. Akhirnya Sandi pamit duluan tak ingin terlibat dalam urusan mereka. Cowok ikal itu yakin, kalau mereka butuh bicara empat mata. Namun, Geren yang tepat berdiri di sampingnya langsung menarik kerah seragam Sandi. Memberi tanda untuk stay di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZINNIA ✔
Подростковая литератураSelama nyaris 17 tahun hidupnya Zinni merasa diabaikan oleh Geren--kakaknya yang punya julukan Bon cabe. Sumpah pedes banget kalau lagi sewot. Bikin Zinni jantungan tiap waktu. Tapi namanya saudara, Zinni nggak bisa benci sama Geren. Meski sering di...