14. Percikan

106 16 8
                                    

Awal kekacauan baru akan dimulai saat kita kembali membawa pulang berita lampau.
🌸

"Kalo bukan Zin yang minta tolong, gue nggak bakal mau. Inget lo!"

"Huh. Lo kira gue sudi apa nerima bantuan lo."

"Wah. Parah emang lo. Kayaknya lo perlu mirror dulu deh. Biar tau gimana muka lo sekarang."

"Awwh! Peduli amat."

"Coba lo pikir, kalo gue nggak dateng apa lo masih bisa ngomong dan duduk manis di sini?"

"Ck. Nggak usah sok jagoanlah. Cuma karena jadi superhero dadakan, aww! Pelan-pelan kenapa sih?" protes Geren menepis Zinni. Padahal Zinni sudah selembut mungkin mengusap bercak darah di mukanya. Tetap saja Geren mengaduh sakit.

Cewek bersurai gelombang itu mengernyitkan dahi. Gerakan tangannya mengobati luka terhenti di udara. Ia memilih diam ketimbang berkomentar lalu beralih mengoleskan salep antibiotik pada sekujur memar di wajah Geren.

Aslinya Geren sendiri enggan untuk diperlakukan demikian. Tetapi, Zinni terus memaksa. Ditambah ada kompor di belakangnya bak bossy.

"Diem dah. Lo diobatin juga, banyak gaya." Ziko geregetan sendiri melihat tingkah cowok itu yang bertingkah.

Kini mereka berada di depan apotek. Dari tempatnya bersandar Ziko terus mengamati dua cucu adam di depannya yang lebih mirip seperti anak kucing dan anjing. Geren yang tak tahu terima kasih dengan berkali-kali protes dan menggeram kasar sedangkan Zinni terus mengucap sabar.

Ingin rasanya Ziko saja yang memberinya pengobatan, supaya Geren kesakitan sekalian.

"Zin, lo beneran nggak ada yang sakit?"

"Iya. Zik. Makasih ya udah mau dateng dan nolongin kita," tuturnya terdengar serak.

Ia teringat beberapa saat lalu. Ketika dirinya dalam bahaya, gelisah, dan ketakutan. Apalagi dari tempatnya bersembunyi, ada lelaki yang tengah dihajar habis-habisan. Nasib apakah yang akan menimpanya kalau mereka telah selesai dengan Geren?

Dihantui pikiran kalut ia memutar otak mancari jalan keluar. Sebuah nama terlintas dipikirannya. Seorang yang lekat dengan perkelahian. Secepat kilat Zinni merogoh benda persegi dalam saku seragam. Dengan tangan bergetar, ia melakukan panggilan. Usahanya berhasil. Sebab selang beberapa menit Ziko datang ke sana, dan menghajar Doni serta kawanannya. Tak butuh waktu lama bagi si pemegang sabuk biru itu untuk membereskan para berandal tersebut.

Dari tempat kejadian, Ziko membawa keduanya pergi menggunakan mobil silver miliknya. Sedang Honda Jazz Geren sudah dikirim ke bengkel langganan Ziko. Sesungguhnya dia ingin melajukan mobilnya ke rumah Zinni. Namun, ego dari Geren melarang itu terjadi. Demi memastikan pertanyaan yang belum jelas, dia bertanya lagi.

"Syukurlah. Beneran nggak mau gue anter sekalian nih?"

"Hmm."

Kalimat Zinni tertahan saat menyadari Geren menyorot netranya tak suka. Ia tidak bisa memutuskan.

"Nggak usah. Balik aja, sana lo."

Tawaran cuma-cuma Ziko ditolak tanpa ragu. Lumayan jengkel juga Geren melihat tampang Ziko malam ini. Mata mereka kembali beradu di bawah temaram lampu jalanan.

"Gue nggak nawarin lo," tekan Ziko seraya menunjuk cowok berantakan itu dengan jari telunjuknya lurus.

Di antara keduanya, Zinni memijit kening yang berdenyut. Jika dibiarkan tidak akan ada yang mengalah.

Dering ponsel di sakunya bergetar. Sebuah panggilan masuk, menampilkan nama familier yang sangat jelas menunggu kabar sejak pulang sekolah tadi. Lantas ia menekan tombol hijau di layar yang menyala. Tidak banyak kata Zinni layangkan. Hanya pesan singkat supaya bisa menenangkan hati mama yang didera cemas.

ZINNIA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang