9. Absurd

118 14 11
                                    

Seketika tanpa kata, lupa, dan menghilang.
🌸

“Bon! Bon cabe. Hati gue kaya ditusuk pisau,” rengek Sandi begitu berlebihan. Tangan kirinya mengepal kuat dan ditepuk keras berkali-kali tepat di depan dada. Belum lagi cucuran keringat yang bau mendukung akting Sandi sebagai orang yang merasa tersakiti.

“Rasanya gue mau mati, Bon.”

Dia kembali mendalami perannya yang menyedihkan. Meski sakit, nyatanya lelaki berisik di samping Geren tak berhenti menjadi stalker pujaan hatinya. Dari gawai miliknya terpampang jelas akun gadis berponi rata tengah menampilkan seorang cowok bersama piala kebanggaan. Sandi tak tahu pasti bagaimana semua terjadi, yang dia tahu perasaannya bertepuk sebelah tangan.

“Nggak mungkinlah. Mereka kan cuma temenan ya, Bon?”

“Tapi kenapa foto dia, Bambang.”

“Berat saingan gue."

"Cabut yuk, Bon.”

“Sinting. Latihan bego,” sarkas Geren menimpuk Sandi dengan handuk yang baru saja digunakan untuk mengelap keringat.

“Gue perlu nelpon Zi—“

“Mati aja lo. Berisik!”

Geren tak tahan lagi. Ia menjitak keras Sandi. Entah karena mendengar omong kosong barusan, atau nama laknat itu. Sehingga ia angkat bicara setelah tak peduli.

“Sekali lagi lo ngoceh nggak jelas, San. Gue tabok juga.”

Sandi menoleh, sedetik kemudian berujar di luar nalar, “Apa gue mati aja ya? biar hati gue damai.”

“Sini. Gue bantu lo menjemput ajal.” Dengan senang hati Geren siap mencekik Sandi.

“Lo beneran niat mau bunuh gue? Lo manusia bukan sih?” tanya Sandi was-was. “Gue becandaa kali.” Sandi meralat omongannya merasa menyesal karena salah bicara.

“Cih.”

Baru saja Sandi ingin meneguk air mineral, Geren sudah merampas botol tersebut kemudian ia meminumnya sampai tinggal setengah wadah.

“Lo haus? Elah minum gue juga lo embat, ya!”

Geren tidak menyahut. Ia hanya fokus memandang hamparan lapangan futsal di hadapannya. Mata malas Geren semakin menyipit kala diterpa cahaya matahari. Ada ingatan menyebalkan yang berputar bebas di kepala. Sesi istirahat latihan itu terasa membuat pikirannya berat. Sampai akhirnya ia merebahkan badan seraya memejamkan mata.

“Dih. Kok jadi lo yang galau. Bon!?”

“Diem. Bawel amat mulut.”

Lima menit cukup melayangkan ingatan pagi tadi.
.
.
.
Seperti kebanyakan hari libur, ia bangun lebih siang dari jam biasanya. Tidak ada kegiatan, kecuali sesi latihan futsal yang sengaja ia pesankan pada sang mama.

“Bangun.”

Jemari Zinni mendarat ragu di punggung Geren. Pelan, saking lemahnya ia menyentuh tidak berdampak apa pun. Geren masih pulas di bawah selimut yang menutupi seluruh badannya.

“Mama bilang katanya ada latihan pagi ini. Bangun udah jam delapan.”

Usahanya sia-sia. Bagaimana mungkin, suara yang lebih mirip alunan nina bobo itu bisa membangunkan Geren. Kalau bukan mama yang menyuruh pun, Zinni tak sudi masuk ke sarang macan ini. Hanya dengan menginjakkan kaki di sana membuat bulu kuduknya menegang. Ia khawatir jika Geren akan marah karena masuk tanpa izin.

Sekilas ia melirik jam beker di atas meja. Teringat akan jadwal dirinya bersama teman. Jangan karena hal sepele, ia terlambat. Kemudian, ia beringsut dan menyibak gorden hingga seberkas cahaya masuk lewat celah-celah yang ada. Membiarkan semilir angin menyapu wajahnya. Lalu kembali ke sisi tilam.

ZINNIA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang