17. Dua arah

84 12 2
                                    

Bertahan seorang diri di atas keraguan itu bagaikan berlari penuh kecemasan.
🌸

“Papa nggak perlu jemput Zinni, ‘kan aku bisa minta jemput pak Ujang aja.”

“Papa yang pengen kok.”

“Emang Papa nggak capek? Harusnya Papa bisa langsung istirahat di rumah, nemenin mama.”

“Udah bawelnya?”

“Heum. Zinni serius, Pa.”

“Kamu kira Papa lagi becanda. Denger ya, Zin. Berhenti mikirin orang lain, sebelum kamu mikir diri sendiri.”

“Zinni nggak paham, Pa.”

Darma menggelangkan kepalanya sambil menatap datar putri kesayangannya yang kini telah tumbuh sebesar ini. Pria bongsor itu mengamati lekat Zinni yang sibuk dengan gadget-nya.

“Pa, Zinni punya permintaan.”

“Apa?”

“Apa Papa nggak bisa suruh kakak pulang?” tanya Zinni penuh penghayatan. Berharap kalau-kalau pria di sampingnya mengalah pada anak laki-lakinya yang nakal.

“Kamu harusnya tau. Pembahasan ini udah nggak perlu diperpanjang.”

“Tapi, Pa. mama ….”

Keduanya saling menyelami pikiran masing-masing. Di balik kemudi mobil, Darma tetap fokus menyetir dengan pandangan lurus ke jalan. Sementara Zinni, kembali teralihkan pada handphone di tangan. Menunggu balasan yang tak kunjung datang.

Semua tahu. Yang paling bersedih adalah mama. Wanita itu selalu kepikiran Geren karena sudah 3 hari belum pulang. Perdebatan tempo hari membuat cowok tersebut memilih kabur, tak ingin kembali ke rumah. Mungkin terlanjur sakit hati.

“Geren perlu banyak belajar, Zin. Mama juga. Kalau kakak kamu itu berpikir benar, harusnya dia tidak melakukan hal nggak guna begini.”

“Pa—“

“Kamu ingat, Papa udah pernah kasih dia kesempatan dulu ‘kan. Tapi lihat, Geren berulah lagi.”

“Tapi itu beda cerita, Pa.”

Berkali-kali Zinni berusaha meyakinkan. Tetap saja Darma beranggapan lain. Tentang kelakuan anak laki-lakinya itu.

“Iya. Tapi itu nggak akan terjadi, kalo dia nggak mulai duluan.”

Pernyataan papa benar. Kalimat barusan membuat Zinni kicep. Apalagi yang bisa ia lakukan supaya bisa membantu Geren.

“Pa, setidaknya coba se—“

“Zin. Apa kamu mau Papa marah lagi?” Darma mulai tersulut emosi. Memang susah sekali mengontrol diri.

“Kamu nggak usah hubungi dia, percuma. Papa tau, dia anak nakal. Percaya aja dia akan
pulang saat ada waktunya.”

Rupanya sejak tadi Darma memperhatikan Zinni. Sambungan telpon, pesan singkat, pada Geren berujung sawangan. Tak ada balasan dari empunya hp di seberang sana.

Papa sama seperti Geren, sifat tempramennya menurun pada kakaknya. Mau berdebat seperti apa pun, amarahlah yang lebih dulu keluar. Bahkan hal-hal kecil saja bisa memantik emosinya.

Sesampainya di rumah, Zinni menyeret kaki memasuki rumah. Mengikuti jejak papa yang duluan berjalan dengan langkah lebar.

“Pa, mana Geren? nggak ikut pulang?”

“Zinni, kakak kamu gimana? Apa dia baik-baik aja? Kenapa kamu nggak bareng dia?” berondong mama dengan banyak pertanyaan. Alih-alih menjawab, papa melengos begitu saja. Jengah dan tak mau lagi bicara perihal urusan itu.

ZINNIA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang