Keheningan di dalam ruangan itu mendominasi keadaan, membuat sesosok pria berkulit putih tadi hanya bisa menundukkan kepalanya, tak mau melihat ke arah lain, bahkan tak mendengarkan makian kekesalan kedua orangnya, Krist hanya meremas tangannya sendiri, sembari memasang wajah baik-baik sajanya, sampai akhirnya sebuah tamparan mendarat pada permukaan pipinya. Namun, tubuh pria itu bergeming, tak bergerak sama sekali. Bahkan tak ada pembelaan apapun yang ia utarakan, menurutnya percuma meskipun ia mengatakan jika dirinya tidak salah, maka Krist akan tetap salah di mata kedua orang tuanya.
Krist tahu tak seharusnya ia melakukan hal itu, lalu bagaimana jika Singto saja tidak pernah mau berbicara padanya, beranggapan kalau Krist tidak ada, seandainya ia tak melakukan hal tadi maka kemungkinan dirinya terpaksa harus diam selamanya.
"Kau membuat malu kami semua, bagaimana dengan Kakakmu? Kenapa kau selalu membuat ulah dan menyusahkan orang lain?"
"Membuat ulah apa? Aku korban di sini. Pria itu memperkosaku, lalu ketika aku hamil, aku harus bagaimana? Haruskah aku diam, membiarkan Phi menikah dengan pria brengsek sepertinya."
"Kau menjebaknya."
Krist memejamkan matanya, "Pakai akal sehatmu phi, kau pintar kan? Bagaimana aku menjebaknya? Meskipun itu terjadi kenapa dia hanya diam? Kenapa dia tidak pergi? Kenapa dia justru melakukan hal yang buruk seperti itu padaku, bukankah aku Adik kekasihnya sendiri?"
"Cukup aku tidak mau mendengar apapun darimu."
Pria itu memejamkan matanya, "Bagaimana phi bisa tetap membela pria itu, setelah apa yang dia lakukan padaku?"
"Aku membencimu. Jangan harap aku mengganggapmu Adikku, aku tidak punya Adik jalang sepertimu."
Wanita itu melangkahkan kakinya untuk membuka pintu ingin pergi hanya saja sewaktu pintu terbuka ada sosok Singto yang kebetulan ingin memasuki ruangan itu. Ia menatap pria itu dengan tajam, tangan Singto ingin meraih lenganya akan tetapi wanita tadi menampiknya, tak mau Singto menyentuhnya sama sekali.
"Aku kecewa padamu."
"Tunggu dulu, aku ingin mengatakan sesuatu," hanya saja wanita itu melangkahkan kakinya semakin menjauh, tak memedulikan apa yang Singto katakan, "Baitoei, tunggu! Aku belum berbicara!"
Ucapan Singto bagaikan angin lalu bagi sosok wanita itu, hingga ia mengembuskan napas beratnya, pria tersebut menatap Krist yang tengah duduk dan menatapnya, ia hanya memasang wajah datarnya sebelum mengisyaratkan agar pria itu mengikutinya.
Tanpa banyak bicara Singto memasuki audinya, membiarkan Krist yang hanya terdiam di tempat begitu Singto memasuki kendaraan tersebut. Pria itu memejamkan matanya, ia membuka jendela dan berteriak pada Krist untuk memasuki mobilnya, hal itu membuat Krist langsung melakukannya duduk di samping kemudi, membiarkan Singto membawanya pergi ke tempat yang dirinya tak ketahui.
Kendaraan pria itu menepi pada sebuah hunian pada pusat kota, Singto melangkahkan kakinya untuk keluar begitu mereka sampai tanpa mau menengokkan kepalanya sama sekali pada sosok Krist bersikap jika Krist tidak ada. Lagipula ia tidak membutuhkan pria itu, kalau bukan karena Krist mungkin hidupnya akan baik-baik saja. Ia membenci Krist lebih dari apapun.
Ia muak pada sosok itu yang selalu menggodanya, selalu mencari cela untuk mendekatinya, bahkan melakukan hal di luar akal sehat untuk bersamanya. Semakin hari Singto merasa ia makin terjebak bersama pria tidak waras itu. Ia benci kenyataan jika Krist lah yang kini menjadi pendampingnya, ia tidak menyukai pria itu. Lagipula sejak kapan Singto berubah menjadi gay?
Jika bukan karena makanan sialan itu, kalau Krist tak berbohong padanya, mana mungkin ia sudi tidur dengan seorang pria. Melihat Krist saja Singto muak dan bagaimana bisa kini ia bersama dengannya dalam ikatan pernikahan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast [ Krist x Singto ]
FanfictionPernahkah kau tetap tersenyum dan menyembunyikan luka? memasang topeng baik-baik saja, hanya untuk bersama seseorang yang kau cintai? Bagi Krist mungkin ini karena salahnya, ini berawal darinya yang terlalu memaksa dan terobsesi pada seseorang, berh...