Gelap. Suasana remang-remang menelungkupi tempat ini dengan erat, sesosok pria di dalamnya terlihat linglung dengan keadaan, ia mencoba untuk menerka apa yang terjadi di sekitarnya, sampai akhirnya tempat dirinya berpijak kini berganti mirip seperti salah satu ruangan di dalam rumahnya. Apakah ia bermimpi?
Mengapa segalanya tumpang tindih tak menentu, dari kejauhan ia mendengar suaranya khas yang tampak tak asing untuknya, hingga akhirnya ia melangkahkan kedua kakinya untuk mendekat, ia mencoba mencari sumber suara tadi, mencoba untuk mengumpulkan kesadarannya akan satu hal, dalam benaknya hanya ada satu orang yang berkuasa dan kini tak jauh dari tempatnya berpijak ada punggung seorang pria yang tengah bergulat dengan bahan-bahan makanan di dapur rumahnya.
Sosok itu tampak tidak asing, hingga akhirnya ia mendekat, di pandanginya sosok tadi beberapa waktu, sampai akhirnya memberanikan diri untuk menghampiri serta memeluknya dari belakang. Singto mengeratkan kedua tanganya pada perut pria tersebut, seakan tak ingin melepaskannya apapun yang akan terjadi.
Ia bisa menyentuh sosok tersebut jadi tentunya ini nyata, 'kan? Tak mungkin hanya ilusi yang di timbulkan oleh rasa rindunya. Tidak Singto harap ini lah kenyataan dan semua yang menimpanya selama ini itu hanya mimpi semata.
"Krist...."
Pria tersebut tak menjawabnya dan justru masih melakukan apa yang dirinya kerjakan tadi, seolah tak mendengar panggilan dari Singto, sebelum akhirnya setelah beberapa saat kemudian bergumam pelan padanya.
"Ini benar kau? Apa aku bermimpi?"
Mendengar hal itu langsung Krist membalikan tubuhnya, seolah ingin Singto yang membedakannya sendiri apakah ini mimpi atau nyata. Wajahnya terlihat sangat pucat, bahkan terkesan tak ada jejak-jejak darah di sekitarnya, tak ada bekas luka yang Singto lihat tempo hari, pandangan pria ini tampak tenang dan memandangnya dengan senyuman samar, tubuhnya terasa sangat dingin. Tidak ada kehangatan yang tersisa kecuali senyuman tadi.
"Apa kau baik-baik saja?"
Anggukan kepala pelan di keluarkan olehnya, tanpa ada niatan untuk menjawabnya sama sekali, seolah lebih nyaman dengan kebungkamannya, tak ingin membagi apapun bebannya pada Singto.
"Maafkan aku."
"Tidak perlu meminta maaf." Suara itu tampak parau serta lirih, ia hampir tak mendengarnya, seolah embusan angin yang pelan dapat meredupkannya tanpa meninggalkan bekas.
"Kau pasti sangat membenciku, 'kan?"
Lagi-lagi Krist tak menjawabnya, ia hanya menggelengkan kepalanya pelan, sosok itu hanya memandang Singto dengan tatapan sendunya, seakan tak ingin mendengarnya mengatakan hal ini lagi.
"Jangan tinggalkan aku."
Ia merengkuh sosok itu dalam pelukannya, hanya tak lama kemudian Singto merasa ada yang aneh, ketika tubuh dingin seorang pria tadi tak bisa ia rasakan lagi, Singto mencoba untuk menatap ke arah Krist, pria tersebut hilang dari dekapannya begitu saja, raip dari sisinya kini. Singto khawatir, ia panik mencoba untuk mencari sosok tadi, hanya saja sekeras apapun dirinya mencoba, hasilnya tetap sama. Krist tak dapat dirinya temukan di manapun. Ia menghilang tanpa bekas dari hidupnya.
Dengan napas terengah-engah Singto bangkit dari tempat tidurnya, ia menengokkan kepalanya ke kiri dan ke kanan mencari sosok seseorang akan tetapi tak menemukannya di manapun. Pria berkulit tan itu mencoba untuk bangkit, bahunya sedikit gemetar, ia menginjakkan kedua kakinya pada lantai yang dingin, mengarahkannya untuk berjalan ke tempat yang ingin dirinya tuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast [ Krist x Singto ]
FanfictionPernahkah kau tetap tersenyum dan menyembunyikan luka? memasang topeng baik-baik saja, hanya untuk bersama seseorang yang kau cintai? Bagi Krist mungkin ini karena salahnya, ini berawal darinya yang terlalu memaksa dan terobsesi pada seseorang, berh...