17| When It Rains, It Pours

4.9K 442 51
                                    

Pandangan pria itu nampak kosong, lalu-lalang di sekitarnya tampak menguap begitu saja dari dalam pikirannya, kedua sorot matanya kini hanya tertuju pada satu arah dengan meredup, jari-jari tangannya saling meremas satu sama lain, seakan-akan ingin mencari kekuatan. Tak tahu harus sampai kapan berdiam diri pada tempat ini, tanpa melakukan apapun yang berarti, seolah hidupnya sudah berada di ujung waktunya, rasanya ada beban berat yang kini berada tepat di punggungnya, sesuatu yang sulit untuk bisa dirinya lepaskan, tak ingin beranjak dari situasi ini, berharap bisa melindungi dirinya dari kenyataan yang sekarang tengah menunggu di depan matanya.

Banyak rasa bersalah yang kini menyeruak tanpa kata darinya, berputar-putar tanpa henti dalam benaknya mencoba untuk mengambil alih fokusnya, tetapi ia hanya bisa berdiam diri, tak tahu harus melakukan apa, pikiranya tampak benar-benar gelap, tak menemukan cahaya untuk bangkit, kejadian waktu itu memang sepenuhnya telah mengubah hidupnya dengan cepat, bahkan ia tak bisa mencerna ini dengan mudah.

Haruskah Singto bahagia sekarang ataukah ia harus bersedih sepanjang waktu?

Entah, Singto harus memilih yang mana, ia tak ingin melakukan apapun kini. Dalam hatinya di penuhi gemuruh aneh, sesuatu yang kian lama makin menghimpitnya, hingga dadanya sesak seperti kesulitan untuk bernapas dengan benar. Segalanya tampak kacau, berantakan. Tak bisa dirinya selamatkan lagi.

Kedua manik oniksnya menyapu sesuatu yang sedari tadi dirinya genggam, ia tak tahu apa itu, Singto bahkan tidak bisa bertanya sekarang, ia tampak seperti pria bodoh yang sejak beberapa saat lalu hanya bisa diam serta membisu. Keadaan ini tak bisa membuatnya melakukan apapun, seolah ia di paksa untuk tunuk, seakan-akan ada rantai tak kasat mata yang membelenggu tubuhnya, segalanya benar-benar buram, hingga meskipun ia mencoba untuk mencerna keadaan, Singto tetap tak bisa melakukannya. Ia tak bisa melakukan apapun.

Tangan Singto ingin membuka kotak itu, untuk melihat apa isinya akan tetapi tiba-tiba saja ada dorongan kencang yang dirinya rasakan secara mendadak, ada yang memegangi kerah pakaiannya dan mencengkeramnya dengan erat, sebelum satu pukulan mendarat padanya tanpa permisi, hingga tubuhnya sedikit terhuyung. Singto menatap seorang pria yang sekarang tengah melihatnya dengan tatapan penuh amarah, seperti ia sudah melakukan kesalahan besar, seakan-akan dirinya sangat bersalah di sini.

"Kau..," Singto memandang pria tersebut dengan mengerjap-ngerjapkan matanya, masih belum sempat mencerna keadaan, "kau siapa?"

"Kau tidak tahu aku siapa?"

Jika Singto tidak salah ini adalah pria yang waktu itu menghampiri Krist di tengah hujan, ketika mereka tengah bertengkar dan Krist memutuskan keluar dari rumah. Tidak mungkin Singto salah, karena sejujurnya ia beberapa kali melihatnya, akan tetapi dirinya tak mengenal pria ini lebih jauh lagi. Singto tak mencari tahu tentangnya, tak ingin tahu hubungan apa yang dirinya miliki dengan Krist, tetapi sekarang kata-kata bodoh itu meluncur begitu saja dari kedua sudut bibirnya.

"Kekasih Krist?"

Mendengar kata itu, emosi Zee sama sekali tak bisa terbendung lagi sekarang. Kekasih Krist? Bukankah ini tidak masuk akal? Pria itu beberapa waktu lalu sempat menuduh Krist berselingkuh dan kini juga mengira Zee kekasih Krist. Apa semua orang yang dekat dengan Krist maka itu artinya akan kekasihnya?

"Kau!" Ia mengarahkan satu pukulan lagi pada wajah Singto, lelah menahan kekesalannya selama ini tetapi tak bisa melakukan apapun, "kekasih? Kau pikir adikku semurahan itu? Apa yang membuatmu berpikir dia berselingkuh? Berselingkuh apanya! Apa kau tidak punya pikiran sama sekali!"

Di belakangnya, Saint mencoba untuk menahan Zee dengan cara memeluknya dari belakang, tak mau pasangannya membuat keributan di tempat ini. Tadi Zee sudah berjanji untuk tidak bersikap seperti ini di rumah sakit, akan tetapi baru sedetik saja ia melihat penampakan Singto di depan mereka, emosinya langsung meluap dan memukul pria tersebut, seakan-akan emosi itu meluap tanpa bisa di cegahnya. Jujur saja ia juga sangat kesal. Namun, mereka punya hak apa untuk menghakimi? Bukankah yang berhak untuk ini adalah Krist?

Eccedentesiast [ Krist x Singto ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang