*BAB [3]*

416 170 81
                                    

Penguat hatiku adalah Ibu
Layaknya napasnya bagaikan napasku

~Aan Apriansyah~

***

~Juli 2012~

Aan terbangun kaget mendengar suara azan subuh yang tengah berkumandang. Dengan sedikit kecewa dia bangun dari ranjangnya. Bukan kecewa akan waktu salat tapi sahur kali ini telah dia lewatkan. Syukur saja dia sudah niat puasa sebelum tidur. Padahal Aan tidak tidur kemalaman. Aan juga heran mengapa Sitti tidak membangunkannya, apakah ibunya tersebut lupa?

Dengan langkah sedikit gontai Aan pergi membasuh wajahnya di kamar mandi dan mulai berwudhu. Saat keluar dan melewati kamar Sitti, Aan tiba-tiba merasa khawatir. Aan mulai tak tenang membuat dia berbalik arah, yang awalnya ingin membangunkan Sari dan Aisah.

"Ibu! Ibu! Aan masuk ya!" teriak Aan berada di depan kamar ibunya dimana tak ada daun pintu hanya sebuah gorden biru tua yang menutup akses masuk ke kamar Sitti. Tak ada jawaban membuat Aan semakin tak tenang. Aan menggeser gorden tersebut.

Di ranjang dengan sprei berwarna merah muda, Sitti terlihat sangat pucat. Walau hanya disinari lampu temaram Aan cukup jelas melihat ibunya. Abdul tak berada di sampingnya. Pria itu mungkin tengah tertidur bersama teman-teman mabuknya seperti biasa.

"Ibu!" Aan mulai menggoyangkan kaki Sitti yang terbalut selimut. Sekali lagi tak ada jawaban dari Sitti. Tubuh Aan mulai bergetar, takut terjadi apa-apa pada ibunya. Beberapa kali Aan menarik napas agar tenang dan berpikir positif. Disentuhnya dahi sang Ibu membuat Aan terbelalak.

"Ya, Allah! Badan Ibu panas banget! Ibu! Ibu! Bangun!" Aan menggoyangkan bahu Sitti. Seperti tadi, masih tak ada jawaban. Dengan dilanda kebingungan Aan berlari mengambil handuk kecil yang terletak di atas lemari dapur kemudian dia membasahinya. Aan mengompres dahi ibunya sambil berdoa agar Sitti baik-baik saja.

"Aduh! Ayah dimana ya?" Aan mulai menggerutu tak jelas. Bagaimana tidak? Belum ada reaksi dari Sitti dan Abdul tak ada di rumah membuat Aan makin merasa khawatir.

Karena suara dan langkah kaki Aan yang mulai gaduh membuat Sari yang letak kamarnya di sebelah kamar Sitti terbangun. Gadis 18 tahun itu segera beranjak dari tidurnya dan tersadar saat melihat jam kecil di meja dekat ranjangnya. Sari lupa untuk bangun sahur.

"Dek, kamu kok, nggak bangunin kakak sahur?" tanya Sari yang menyingkap gorden ibunya dan menemukan Aan berdiri tak tenang di dekat ranjang Sitti. Aan bahkan tak menjawab pertanyaan Sari karena sedang bergelut dengan pikirannya.

"Loh! Ibu kenapa, Dek?" Tanya Sari membuat Aan akhirnya berbalik.

"Kak Sari! Kak Sari! Badan Ibu panas banget, Ayah kemana?" gerutu Aan sambil memegang tangan kakaknya tersebut. Sari segera menghampiri Sitti.

"Kenapa kamu nggak bangunin kakak?" Sari menatap Aan yang mulai meneteskan air mata. Entah kenapa Aan mulai merasa begitu sesak di dadanya.

"Aku juga barusan ngecek Ibu. Aku kira Ibu capek sehingga Ibu lupa untuk membangunkan Aan sahur. Tapi ternyata ibu sakit," jawab Aan sambil mengusap air matanya.

"Kamu tungguin di sini, aku mau panggil bidan dulu. Satu lagi, salatlah, doakan Ibu dan berhenti menangis." Sari segera berlalu dari hadapan Aan. Sari yang merupakan anak tertua dikeluarga tersebut tentunya memiliki tanggung jawab yang juga besar. Sesekali Sari mengumpat menghadapi kenyataan bahwa ayahnya tersebut tidak ada lagi di rumah.

Aan mulai menunaikan salat di kamar ibunya. Perasaan khawatirnya semakin bertambah. Saat sujud terakhir Aan kembali menangis dan berdoa pada Allah. Aan tak tahu apakah salatnya diterima atau tidak karena menangis. Dalam pikiran Aan saat ini, dia membutuhkan pertolongan Allah.

"Eghh!" Sitti mulai mengeluarkan suara membuat Aan segera mendekat pada ibunya.

"Ibu! Ibu kenapa? Ibu sadarlah! Aan takut," ucap Aan memeluk Ibunya.

Aisah yang baru saja terbangun mengahampiri Aan.

"Kak! Ibu kenapa?" tanya Aisah dengan wajah polosnya. Aan hanya menggeleng. "Ayah kemana?" tanya Aisah, lagi.

"Entahlah, Dek," jawab Aan singkat.

Aisah kemudian naik ke atas ranjang kemudian duduk sambil menatap wajah ibunya.

"Kak, bibir Ibu kok pucat banget?" Aisah masih saja bertanya. Rasa penasaran anak itu sangatlah tinggi. Lagi-lagi Aan tak menjawab karena dalam pikirannya mulai kacau.

Sedari tadi Aan menatap ke arah pintu berharap Sari datang dengan cepat.

Tiba-tiba suara pintu yang sedang dibuka terdengar. Aan berlari ke arah pintu. Ternyata bukan Sari yang datang melainkan Abdul. Abdul muncul dengan pakaian yang sangat acak-acakan. Rambutnya berantakan dan sedikit noda hitam di lengan bajunya.

"Ayah, dari mana? Ibu sedang sakit!" tanya Aan yang langsung menatap mata Abdul. Bahkan Aan melupakan salam terlebih dahulu. Fokusnya kali ini hanyalah ibunya, Sitti.

"Tck! Berhentilah menggangguku!" Abdul kemudian duduk dan menyalakan sebatang rokok dengan korek kayu. "Ibumu itu hanya terlalu manja," lanjut Abdul yang mulai berpangku kaki.

"Ayah!" Aan berteriak tak terima. "Ayah boleh abaikan aku tapi tidak dengan ibu!" lanjutnya disertai isak tangis. Aan tak habis pikir ada apa dengan ayahnya?

"Berhentilah ceramah dan pergilah dari hadapanku!" Abdul kemudian mengambil asbak rokok yang ada di meja kemudian melempar kepala Aan yang tak punya waktu untuk menghindar.

"Aww!" Ringis Aan tertahan.

"Aku memang tak peduli denganmu jadi berhentilah merengek! Kau memang tak berguna!" Abdul melempar puntung rokok ke sembarang arah kemudian berlalu ke arah dapur melewati Aan yang masih memegang kepalanya yang terluka.

"Rasa peduli itu akan kuperjuangkan!" Aan berucap di dalam hati.

"Kak!" teriak Aisah. Aan berlari ke dalam kamar tak memedulikan rasa sakit kepalanya yang ternyata mulai mengeluarkan darah.

"Ada apa, Dek? Aduh!" Mata Aan mulai mengabur. Dia mulai merasa pusing. Ternyata luka di kepalanya cukup parah. Kakinya mulai tak kuat menopang tubuhnya.

"Kak! Kepala kakak berdarah!" Itulah kata yang terakhir kali Aan dengar sebelum dia jatuh tak sadarkan diri.

Sari muncul dengan seorang bidan dan satu perawat. Gadis tersebut kaget melihat Aan sudah tersungkur di lantai. Ditatapnya Aisah seolah-olah tatapan itu bertanya 'Ada apa?' dan Aisah menggeleng tak tahu.

Tanpa bertanya, Sari segera mengangkat tubuh Aan ke atas bersama Sitti.

Bidan pun mulai memeriksa Sitti. Sedangkan perawat tersebut langsung menangani Aan.

"Sepertinya, ibumu harus dibawa ke dokter. Saya takut ada yang lebih parah dari anemianya," usul bidan tersebut.

"Tapi, bagaimana saya bisa membawanya ke rumah sakit. Saya tidak punya kendaraan." Sari mulai merasa cemas.

"Kalau begitu kami akan menelpon ambulance terdekat untuk segera datang." Bidan yang bernama Ayu tersebut meraih tangan Sari untuk menenangkannya.

"Adikku bagaimana?" tanya Sari pada suster yang sedang memerban kepala Aan. Syukur saja suster tersebut selalu membawa perban dan peralatan P3K lainnya.

"Dia tak apa-apa, cuman benturan di kepala membuatnya pusing. Luka di kepalanya memang cukup parah. Tapi, tenanglah itu bisa diatasi," jelas suster tersebut.

Sedikit bernapas lega, Sari kemudian terduduk di kursi dalam kamar sambil melihat bidan tersebut menelpon ambulance.

"Ya Allah, semoga tak terjadi apa-apa dengan Ibu dan juga adikku," doa Sari. Lalu, sejenak berpikir kenapa Aan bisa terluka?

****

Vote and coment guys
Wattpad eror membuat cerita ini lambat di publish

Salam hangat
Abdi Tunggal

Allah, Masihkah Kau Bersamaku? [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang