Dengan tangis kuhadapi
Dengan tawa kututupi
Karena luka masih menemani~Aan Apriansyah~
***
Semua menatap gadis dengan rambut ikal tersebut. Sedikit bergetar gadis tersebut menyisir rambutnya dengan jari. Sari dialah orangnya. Kini Aan, Aisah, dan Tama duduk di dalam ruang tamu. Mereka masing-masing menduduki kursi plastik yang terlihat sangat tua hanya saja belum rapuh walau telah termakan oleh usia.
"Ibu, kenapa Kak?" Aan mulai tak sabar. Segala praduga di dalam otaknya mulai mengganggu. Sari melirik adiknya tersebut. Dapat dilihat mata Aan masihlah sembab. Aan meremas jarinya sedangkan Tama dan Aisah hanya melihat mereka secara bergantian.
"Anemia Ibu sangat parah, kata dokter--" Sari menggigit bibir bawahnya. "Jika terlambat beberapa menit saja, kita akan kehilangan Ibu," lanjut Sari, meneteskan air mata sebab Sari tidak pernah kepikiran untuk hal separah itu. Gadis itu segera menghapus air matanya.
"Astagfirullah!" Air mata jatuh begitu saja di pipi Aan. Untuk kesekian kalinya dia menangis lagi. Remaja yang baru berusia 13 tahun itu tahu betul apa yang dimaksud dengan anemia. Aan tahu karena dia termasuk salah satu siswa yang pintar di kelasnya.
"Dan, masih ada penyakit lain yang dokter sedang tunggu hasil ceknya." Sari menunduk frustasi, terlalu banyak beban dalam pikirannya.
"Antarkan aku ke ibuku sekarang, Kak! Aku ingin bersama Ibu!" ucap Aan yang berdiri tak sabar pada Tama.
"Tenanglah Aan!" tegur Sari.
"Bagaimana aku bisa tenang, Kak! Ibu sedang sakit!" sanggah Aan, tak sadar lalu menunduk.
"Anemia itu apa, Kak?" tanya Aisah pada Sari. Bocah tersebut mendekat ke arah Aan menyapu lembut tangan kakaknya.
"Akan Kakak jelaskan nanti, tapi terlebih dahulu kita harus mencari uang untuk biaya rawat inap Ibu." Sari menghela napas. Jika Sari terus saja bersedih mungkin itu akan terus berdampak pada kedua adiknya. Sari harus terlihat tegar.
Aan yang mendengar itu, mengingat ucapan Abdul yang sama sekali tak memedulikan keadaan Sitti.
"Ya, Allah! Mengapa Kau beri cobaan pada ibuku yang selalu beriku kekuatan," ucap Aan dalam hati. Dia sepertinya sudah tak mengerti bagaimana dia bisa menyelesaikan hal ini.
"Aku akan membuka celenganku!" Ide Aan kemudian masuk ke dalam kamar mengambil sebuah celengan bambu yang dibuatkan oleh ibunya sejak menginjak bangku sekolah dasar. Bahkan melihat celengan itu, Aan dapat mengingat setiap inci dari senyuman ibunya saat memberikan celengan tersebut padanya.
"Aku rasa itu tak akan cukup," ucap Tama dengan pelan membuat Sari dan Aan menatapnya secara bersamaan.
"Aku juga punya!" Aisah berlari mengambil celengan ayam yang baru satu bulan lalu Aisah miliki.
Sari menahan tangisnya. "Bukankah tabunganmu itu untuk biaya masuk SMP nanti," ucap Sari menatap celengan Aan yang mulai dibuka. Celengan bambu itu diberi penutup yang bisa dibuka kapan saja.
"Tak apa Kak, Ibu lebih membutuhkan." Aan menumpahkan seluruh celengannya." Simpanlah tabunganmu Dek, itu untuk membeli Al-quran baru," ujar Aan pada Aisah. Adiknya tersebut menunduk lesu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Allah, Masihkah Kau Bersamaku? [Telah Terbit]
SpiritualitéBisa langsung cek shopee atau Dm TELAH TERBIT di Glorious Publisher [Real Story] [Challenge30GP] [Aan Story's] Diangkat dari kisah nyata Kisah seorang remaja yang berjuang untuk hidupnya. Untuk orang yang dikasihnya. Dia menjalani hidup dengan penu...