Semua butuh waktu
Apalagi perihal menyembuhkan sebuah luka~Aan Apriansyah~
***
Jalanan mulai ramai oleh warga yang berlalu lalang untuk pulang ke rumah masing-masing. Menjadi sebuah keharusan jika selesai salat idul fitri semua saling bermaaf-maafan. Padahal untuk mengucap maaf tak perlu menunggu hari lebaran. Aan masih sibuk mencari Abdul. Kini remaja itu dibantu oleh Sari dan Aisah. Sari pun benar-benar tak menyangka setelah Aan memberitahu bahwa Abdul ikut salat berjamaah. Aan terus saja menangis sampai beberapa temannya bertanya-tanya. Namun nihil mereka tak menemukan Abdul sama sekali.
Karena telah lelah, Sari, Aan, dan Aisah akhirnya kembali ke rumah. Tapi, belum sempat Aan tiba di rumahnya salah satu teman Aan, Alga, memanggil namanya dari arah belakang.
"Ada apa Alga?" tanya Aan pada Alga yang mulai meremas jemarinya. Alga terlihat sedikit khawatir.
"Ini tentang Ayahmu," jawab Alga sambil menengok ke belakang, menatap pria dewasa yang datang bersamanya tadi. Pria itu adalah Hamza, Ayah Alga. Seolah meminta persetujuannya, Hamza mengangguk sambil menatap Alga yang merupakan anak satu-satunya. Hamza membiarkan Alga yang menceritakan semuanya pada Aan.
"Katakanlah, ada apa?" Aan menatap lekat Alga. Sari pun terlihat begitu penasaran.
"Semalam ayahmu menginap di rumahku." Alga terdiam beberapa detik memerhatikan ekspresi Aan. "Dia malu untuk pulang ke rumah untuk berkumpul bersama kalian," lanjut Alga.
Sari tak terlalu kaget mengetahui kalau Abdul menginap di rumah Hamza sebab setahu Sari Hamza adalah salah satu teman Abdul yang Sitti pernah ceritakan padanya. Aan tak mengerti apa yang sedang terjadi. Untuk apa Abdul menginap dan untuk perihal apa Abdul malu untuk ke rumah.
"Di mana ayahku sekarang, Om?" tanya Aan pada Hamza.
Pria itu mendekat dan tersenyum ramah. "Untuk saat ini kalian jangan bertemu dulu. Tenanglah ayahmu akan baik-baik saja. Lagipula Om udah janji sama ayahmu untuk tidak mengatakan dimana dia sekarang," ucap Hamzah.
"Tapi, kami semua ingin meminta maaf pada Ayah kami," ucap Sari tak terima.
"Berikan ayahmu waktu," jawab Hamza. Membuat ketiga anak tersebut terdiam.
Aan semakin bingung. Untuk apa Abdul mengulur waktu. Bukankah lebih cepat lebih baik. Untuk satu alasan Abdul masih menyimpan rasa bersalah. Aan sadar bahwa sikap Abdul terlihat tak seperti biasanya yang selalu terburu-buru.
"Kalau begitu sampaikan salam kami pada ayahku, Om. Katakan kalau kami menunggunya," ucap Sari.
Setelah salaman mereka kemudian berpisah dengan Hamza dan juga Alga.
Mereka telah tiba di rumah. Aisah langsung berlari ke arah toples plastik berisi kue selai. Sedangkan Sari dan Aan disibukkan dengan pemikirannya masing-masing.
"Kak, ayo ke makam Ibu," ajak Aan sambil menepuk bahu Sari. Sedikit terkaget Sari pun mengangguk sebagai jawaban.
"Aisah ayo ketemu Ibu!" panggil Sari membuat kegiatan makan kue Aisah terhenti. Aisah berlari sambil terus menguyah kue tersebut. Kemudian bocah tersebut mengekor pada kedua kakaknya.
Kaki Sari sedikit gemetar. Ada rasa yang membuatnya lemah, karena untuk kesekian kalinya dia sadar kenyataan hidup memanglah pahit. Aisah yang dari tadi hanya mengekor kedua kakaknya segera berlari memeluk nisan Sitti. Wajah polos bocah tersebut tersenyum bahagia layaknya dia memeluk Sitti bukan sebuah nisan. Sari dan Aan berjongkok. Dibersihkannya daun kakao kering yang menutup gundukan tanah. Mereka mendoakan Sitti agar diberi tempat yang indah di sana.
"Semoga kita semua bisa berkumpul dan bertemu di surga nanti," doa Aan dan mereka serempak mengucapkan kata amin. Kemudian Aisah dibiarkan memimpin doa untuk membaca surah Al-fatihah. Dengan senang hati Aisah melafazkannya. Sari dan Aan memejamkan mata sedangkan Aisah menatap satu arah ke depan. Tepat di belakang Sari dan Aan dia melihat Abdul berdiri tak jauh dari mereka. Niat Aisah ingin berteriak namun Abdul memberi isyarat dengan meletakkan telunjuknya di depan bibirnya yang artinya Aisah harus diam. Pandangan Aisah memang teralihkan tapi bacaan surahnya tak ada yang salah.
Setelah berdoa Aan menatap heran ke Aisah dan remaja tersebut langsung menengok kemana mata Aisah tertuju. Sayangnya Abdul sudah tak ada di sana. Aisah tersenyum dan Aan hanya memicingkan matanya.
***
Sari, Aan, dan juga Aisah duduk melingkar di tengah rumah sambil memakan kue lebaran. Sesekali Aisah bertanya ke mana Abdul pergi. Karena kedua kakaknya tak tahu jadi mereka hanya menggeleng sedih. Saat inilah yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul keluarga. Tapi, sekarang mereka berkumpul tanpa Ayah ataupun Ibu. Tentu saja mereka merasa sedih. Sari dan Aan berusaha untuk tidak menangis di depan Aisah. Setidaknya mereka berdua bisa memberi contoh untuk adiknya.
"Kak, apakah kita harus mencari Ayah?" usul Aan yang memang sedari tadi ingin sekali bertemu lagi dengan Abdul.
"Ayah hilang?" tanya Aisah membuat Sari refleks menggeleng.
***
Hari pertama lebaran dihabiskan Aan untuk menjamu beberapa teman yang datang ke rumahnya begitu pula dengan Sari. Kadang Aan keluar ingin memastikan apakah Abdul sudah pulang ke rumah. Lagi-lagi Aan berharap. Bagaimanapun Aan juga ingin tahu bagaimana wajah Ibu kandungnya. Terdengar egois namun itulah keinginannya. Aan juga ingin tahu di mana Eva dikuburkan. Begitu banyak pertanyaan. Tapi, bukankah Abdul mengkhianati Sitti demi Eva.
"Jadi, aku adalah hasil dari kesalahan mereka," pikir Aan. Tak bisa dipungkiri hal itu mengganggu pikirannya. Perlahan-lahan Aan mengerti mengapa Abdul tak akan menceritakan tentang Eva padanya. Semua itu akan membuka luka lama. Mengapa Abdul malas menatapnya mungkin karena Aan mirip dengan Eva. Tapi alasan itu terdengar tidak rasional. Semakin Aan pikirkan semakin Aan tak menemukan jalan keluar. Karena semua hal ini pasti Abdul yang tahu. Abdul yang membenci berarti Abdul pula yang punya alasan.
Di dalam kamar Aan kemudian menengadahkan tangan lalu meminta pada Allah agar Aan diberi petunjuk. Sari yang melihat Aan sedari tadi berpikir keras akhirnya memberi satu solusi yang Aan sendiri tak terpikirkan sejak tadi.
"Bagaimana jika kita bertanya kepada saudara Ibu," usul Sari.
Hal tersebut ada benarnya. Tentu saja akan ada sedikit yang tahu tentang ibu kandungnya. Aan mengangguk setuju. Lagi pula Jumrana juga belum berkunjung ke rumah mereka seperti tahun-tahun kemarin. Atau Jumrana tak ingin datang karena sudah tak ada Sitti?
"Bagaimana kalau sekarang saja!" Aan berdiri di hadapan Sari yang tadinya terduduk di samping Aan.
"Sebaiknya jangan dulu. Pasti di rumah Mama tua (Jumrana) sedang ramai. Bukankah ini akan menjadi pertanyaan yang sangat sensitif?" jelas Sari.
Setelah Aan pikirkan dia mengikuti apa yang diucapkan Sari barusan. Di sisi lain mereka tak tahu kalau Aisah yang berada di luar kini dalam pelukan pria yang Aan ingin temui. Siapa lagi kalau bukan Abdul.
***
Vote
Coment
Tetap stay guysLove you
From
AuthorBesok ending ya
Tapi masih ada beberapa part untuk menuju Ending
Yuhuu
KAMU SEDANG MEMBACA
Allah, Masihkah Kau Bersamaku? [Telah Terbit]
EspiritualBisa langsung cek shopee atau Dm TELAH TERBIT di Glorious Publisher [Real Story] [Challenge30GP] [Aan Story's] Diangkat dari kisah nyata Kisah seorang remaja yang berjuang untuk hidupnya. Untuk orang yang dikasihnya. Dia menjalani hidup dengan penu...