*BAB [6]*

292 128 44
                                    

Hancur melebur
Cukup aku yang rasakan
Walau semakin tak tertahankan

~Aan Apriansyah~

***

Baru sehari sahur tanpa Sitti, Aan sudah merasa sangat sepi. Biasanya ada Sitti yang mengajaknya bercanda bersama. Remaja tersebut hanya sahur bersama Aisah sedangkan Sari sudah berada di rumah sakit sejak kemarin malam. Mereka berdua hanya sahur dengan mi instan dan juga nasi seadanya. Abdul belum juga pulang sejak dia pergi kemarin.

Entah sudah berapa kali Aan mengatakan ingin sekali menjenguk Sitti pada adiknya. Tapi, dia masih punya tanggung jawab pada si Damar. Hari ini Aan harus bersiap, entah pekerjaan apa yang akan diberikan Damar pada remaja bertubuh kurus tersebut. Aan hanya bisa menerka-nerka. Mungkin saja dia akan disuruh untuk menyabit rerumputan liar di kebun Damar atau membantunya menanam sayur-sayuran.

Aan menutupi perban di kepalanya menggunakan topi yang biasa Sitti gunakan untuk menanam sayur di belakang rumah. Sebelum Aan berangkat dia mengantarkan adiknya ke rumah Jumrana. Sebenarnya Aan merasa tak enak untuk menitipkan adiknya tersebut ke kakak ibunya. Aan tahu, kalau Jumrana tak terlalu suka dengan anak-anak. Tapi, setidaknya ada yang menjaga adiknya tersebut. Aan sudah mengajari Aisah agar tidak menyusahkan Jumrana nantinya.

"Assalamu'alaikum!" Aan berdiri tepat di depan rumah Jumrana yang terlihat lebih bagus dari rumahya. Bau cat tercium begitu jelas, rupanya rumah tersebut baru saja dicat satu hari yang lalu.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita tua dengan rambut yang mulai memutih hampir semuanya, dia Jumrana. Tak ada senyum di wajah Jumrana namun, Aan paham kalau wajah Jumrana memang terkenal jutek.

"Mama tua, aku mau nitip Aisah di sini dulu ya. Aan pulang agak sore soalnya," ucap Aan kemudian menyalim tangan Jumrana. Aisah tersenyum ramah.

"Kamu mau ke mana?" Jumrana menatap Aan.

"Aku mau ke kebun om Damar sebagai ganti kalau kami meminjam uang untuk rawat inap Ibu di rumah sakit," jelas Aan.

Jumrana hanya mengangguk. Wanita tua itu sudah tahu kalau adiknya tersebut masuk rumah sakit dari Tama. Tapi dia lebih memilih untuk tinggal di rumah saja. Bukan tak mau menjenguk, kendaraan untuk menuju rumah sakit memanglah susah saat itu.

Aisah masuk ke dalam rumah setelah menyalim Jumrana. Sebab, Aisah melihat cucu Jumrana yang bernama Andini mengintip dari balik pintu.

"Kenapa kamu tak meminta uang pada, ayahmu?" tanya Jumrana.

"Ayah belum punya uang. Sekarang Ayah lagi cari pekerjaan," bohong Aan pada Jumrana. Aan tak mau mengatakan yang sebenarnya. Karena dia tahu aib keluarga tak boleh diceritakan pada orang lain. Usianya yang remaja berbanding terbalik dengan pemikirannya yang sudah luas.

"Bukan pada ayahmu yang itu! Ayahmu yang lain!" Jumrana keceplosan membuat wanita tua itu terlihat kebingungan.

"Ayahku yang lain?" gumam Aan. "Tapi, ayahku kan cuma sa..." Jumrana langsung memotong ucapan Aan.

"Pergilah! Damar mungkin saja sudah menunggumu di rumah!" ucap Jumrana tergesa-gesa.

"Ya ampun, Aan hampir lupa!" Aan segera pamitan kepada Jumrana dan sedikit berlari saat melewati lapangan. Di sisi lain Jumrana bernapas lega karena Aan sepertinya melupakan perkataannya.

Allah, Masihkah Kau Bersamaku? [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang