Jika kuhitung banyaknya luka
Tak akan ada angka untuk mewakilinya~Aan Apriansyah~
***
Aan melamun di sudut kamarnya. Selimut tipis yang biasa Sitti gunakan kini berada digenggamannya. Remaja itu sudah berpikir sepanjang malam tentang bagaimana dia akan mengakhiri hidupnya. Namun, tak ada jawaban yang dia temukan. Kini hampir seminggu mendiang ibunya meninggalkan mereka. Raut wajah Aan tak pernah ceria. Bahkan Aan sering kali meninggalkan salatnya. Layaknya sebuah tempat, dia berada di titik terbawah dan tergelap. Matanya menyisyaratkan kelelahan yang mendalam. Bukan cuma fisik namun hatinya kini semakin lemah.
Sudah tiga hari Aan tak sahur dan tak berbuka puasa tubuhnya yang lemas dia biarkan begitu saja. Sari yang mengantarkan makanan tak tahu kalau makanan itu telah Aan buang lewat jendela kecil kamarnya. Bahkan makanan itu telah menumpuk. Aan tak main-main perihal dia ingin mengakhiri hidupnya. Buktinya Aan terus menahan perih dan rasa sakit di bagian perutnya. Alasan dia tak makan selama ini karena dia ingin orang yang mengurus dan memandikannya nanti tak kesulitan membersihkan kotoran dalam tubuhnya. Dengan kata lain tak menyusahkan orang lain. Sepertinya kata-kata penyemangat tidak akan Aan dengarkan lagi.
Di sisi lain Sari dibuat kebingungan melihat tingkah Aan yang semakin hari semakin mengurung diri. Hari ini gadis tersebut berniat mengajak Aan ke masjid untuk kajian para remaja. Lebaran sudah semakin dekat. Tapi kesedihan ditinggal sang Ibu masih mendalam. Sari masih saja menangis secara diam-diam. Pengajian di rumah untuk mendiang sang Ibu masih dilakukan tiap malam. Para tetangga datang ke rumah mereka walau Sari hanya mampu menyiapkan singkong rebus serta kopi dan teh untuk tamu. Mereka tak punya apa-apa, untung saja singkong hasil tanaman Sitti sudah siap digali. Apalagi Abdul belum kunjung pulang. Entah ke mana pria tersebut berada.
"Dek, kamu kenapa!" Sari sejak semenit lalu masuk dan menatap Aan di kamarnya. Namun remaja itu tak sadar akan kedatangan Sari. Bahkan sepertinya Aan tak mendengarkan Sari bicara. Sari takut kalau Aan menanggung banyak beban. Tanpa Sari ketahui gadis tersebut masih beranggapan kalau Aan punya hati yang kuat.
"Dek!" panggil Sari lagi namun Aan masih bergeming. Hingga Sari ikut duduk di samping Aan dan menyentuh bahunya barulah remaja itu tersadar. Aan tersenyum namun tak tampak seperti senyuman. Terlihat buruk sebab kesedihan mendominasi.
Sari menatap wajah Aan melihat setiap gurat kesedihan di sana. "Apakah kamu sakit, Dek?" tanya Sari namun Aan hanya menggeleng lemah. Sari mengkhawatirkan keadaan Aan. Disapunya surai rambut Aan, seketika Aan kembali mengingat ibunya.
"Entar di masjid ada kajian untuk remaja. Kita bertiga pergi, ya." Sari menarik tangan Aan untuk berdiri. Sari merasakan kalau tubuh adiknya tersebut semakin kurus.
Aan menghela napas. Mungkin kali ini Aan akan menuruti kakaknya untuk ke masjid. Setidaknya Aan harus menghabiskan waktu bersama mereka sebelum Aan menemukan cara untuk mengakhiri hidupnya.
"Kalau begitu mandilah," ucap Sari lalu berlalu pergi untuk membangunkan Aisah yang sedang tidur siang.
"Maafkan aku, Kak." Aan berbisik.
****
Sebentar lagi salat Asar akan dilaksanakan. Ketiga saudara tersebut telah siap-siap. Aan mengenakan baju Koko berwarna putih tulang polos. Sedangkan Sari dan Aisah mengenakan mukenah dengan warna senada.
Beberapa warga yang melihat mereka berjalan menatap aneh ke arah Aan.
"Anak itu sudah besar."
"Apakah dia sudah tahu."
"Dia bahkan tak mirip dengan Abdul."
Terdengar beberapa warga bergosip. Kalimat tersebut sampai ke telinga Aan membuat Aan menunduk dalam, berpikir apa yang mereka maksud. Sari langsung mendekati Aan. Gadis tersebut langsung mengalihkan pembicaraan. Sari bercerita tentang apa menu buka puasanya nanti. Tapi Aan sudah terlanjur larut dalam omongan warga tadi. Senyum pura-pura itu kembali Aan tampakkan. Aan menangkap sedikit nada kekhawatiran Sari. Apakah Sari tahu segalanya?
Tak terasa mereka telah sampai di masjid. Sebenarnya Aan sangatlah lemas. Bibir remaja tersebut sangat pucat. Tapi entah kenapa saat menginjakkan kaki di lantai masjid. Perasaan tegar itu kembali menyapanya namun terasa berbeda.
"Aan!" seru Alga. Remaja seumuran Aan. Lagi-lagi Aan hanya tersenyum.
Alga menarik tangan Aan agar duduk di sebelahnya sedangkan Sari dan Aisah duduk di seberang tepat dibarisan para hawa. Kajian segera dimulai namun Aan hanya menatap kosong ke depan. Tubuhnya memang berada di sini. Namun, pikirannya entah kemana.
Bu Tria mulai membahas tentang semangat hidup untuk mendapatkan akhirat yang indah. Aan mendengar sepatah dua kata saja. Kepala remaja tersebut terasa panas. Aan ingin berteriak. Tak terasa air mata jatuh di pipinya.
"Bagaimana cara aku mengembalikan rasa semangat." Aan tiba-tiba berbicara membuat Bu Tria dan semua remaja yang ada di dalam masjid menatapnya. Pertanyaan itu refleks Aan lontarkan. Aan menatap Bu Tria. Seolah mata Aan berbicara aku membutuhkan seseorang sekarang. Hening beberapa saat dan kemudian Bu Tria tersenyum.
"Pertanyaan yang bagus, Nak. Jika kalian patah semangat." Bu Tria menatap bergantian para remaja yang jumlahnya sekitar 25 orang tersebut. "Ingatlah satu hal yaitu ayahmu. Ayahmu tak pernah patah semangat untuk mencari nafkah untukmu," lanjut Bu Tria.
Jawaban itu begitu menohok untuk Aan. Perasaannya semakin hancur. Mengingat Abdul yang bahkan menyuapinya saja tak pernah. Tangisan itu kembali terjadi. Aan segera keluar dari masjid dan menuju toilet. Di sana dia menangis dan teriak sambil memasukkan wajahnya ke dalam bak air. Aan sudah tak kuat. Dunia tak adil. Dunia bukan untuknya.
Sari yang melihat tingkah adiknya semakin khawatir. Karena terlalu penasaran dia memilih membawa Aisah keluar untuk mengecek Aan.
Baru saja Sari keluar. Aan sudah berdiri di depan pintu toilet. Matanya yang merah dan juga hidungnya. Rambut hitam legamnya kacau. Peci yang Aan pakai sudah ada digenggaman. Sari segera menghampiri sang adik dan Aisah mengekor di belakangnya.
"Kak Aan kenapa?" tanya Aisah yang menyentuh jemari Aan yang terasa begitu dingin.
Tanpa pikir panjang Sari merangkul adiknya. Wajah Aan yang semakin pucat membuat Sari merasa sedikit takut. Tak berlebihan namun Sari merasakan ada yang tidak beres.
"Sepertinya kamu butuh istirahat," usul Sari.
"Seperti Ibu," jawab Aan sedikit berbisik namun masih terdengar jelas di telinga Sari. Baru saja Sari ingin menegur Aan tiba-tiba Aisah bersuara .
"Kak itu Ayah!" seru Aisah yang menunjuk pria dengan jaket yang sangat dikenali oleh mereka. Perhatian kembali teralihkan ke arah Abdul.
"Ayah," gumam Aan.
Sari berlari ke arah Abdul. Pria tersebut menatap mereka dengan ekspresi yang sangat sulit dijelaskan. Aisah tentu saja mengikuti Sari. Namun, Aan bergeming. Remaja tersebut sudah sangat lelah mengahadapi ayahnya. Baru kali ini Aan merasa seperti ini. Sedikit demi sedikit semuanya telah berkurang begitu saja.
"Ibu, aku akan menyusulmu." Aan menatap hamparan langit biru tanpa awan. Aan tersenyum namun air matanya ikut turun.
***
Vote
Coment
Kritik
SaranSilahkan tinggalkan jejak guys
Aan menunggu reaksi kalianSalam hangat Author
😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Allah, Masihkah Kau Bersamaku? [Telah Terbit]
SpiritüelBisa langsung cek shopee atau Dm TELAH TERBIT di Glorious Publisher [Real Story] [Challenge30GP] [Aan Story's] Diangkat dari kisah nyata Kisah seorang remaja yang berjuang untuk hidupnya. Untuk orang yang dikasihnya. Dia menjalani hidup dengan penu...