*BAB [2]*

570 186 116
                                    


Bahkan, sebuah senyuman juga menyimpan banyak kesedihan

***



Sejak kejadian di bulan desember 2006. Kebencian Abdul pada anaknya—Aan—semakin hari semakin menjadi-jadi. Aan yang masih polos dan tidak mengerti tentang ucapan ayahnya—yang selalu menyebutnya anak haram. Bahkan, melihat wajah Aan membuat sang ayah merasa muak.

Tanpa alasan yang jelas, Abdul selalu membeda-bedakan kasih sayang terhadap anaknya. Tentu saja Aan yang mendapat perlakuan buruk. Aan tumbuh menjadi anak yang kuat untuk perihal hati, namun tidak dengan fisiknya.

Sehari-hari dia terus menerima caci maki dari Abdul. Bahkan, pemandangan orang tua yang bertengkar sudah biasa dilihatnya. Hanya saja Aan selalu bersembunyi jika ingin menangis. Dia tak mau membuat ibunya bersedih. Dia menghabiskan masa kecilnya dengan banyak menangis dalam diam dan mengurung diri.

Sitti yang mengajarkan semua tentang agama. Salat, mengaji, dan ilmu agama lainnya. Aan tak pernah benci sikap ayahnya yang jelas-jelas tak menyukainya. Anak tersebut selalu mengingat apa yang guru mengaji katakan padanya.
“Surga di telapak kaki ibu dan ayah adalah penuntun.” Kalimat tersebut selalu terngiang-ngiang di kepala Aan. Sejak saat itu, Aan yang masih kecil bertekad untuk meraih hati sang ayah. Jika selesai salat Aan biasa mendengarkan ibunya berdoa untuk ayahnya. Aan tahu, tak ada orang tua yang durhaka. Jadi, Aan menganggap jika dia menerima pukulan ayahnya berarti dia sedang salah. Walau dari sisi manapun—jika dilihat—Aan layaknya anak biasa yang masih senang bermain dan butuh kasih sayang. Jika dia melawan, berarti dia adalah anak durhaka. Begitulah anggapan Aan saat masih kecil. Namun, semakin Aan menunjukkan rasa sayangnya pada Abdul maka semakin marah pula ayahnya tersebut. Entah apa yang ada dipikiran Abdul. Tak ada yang tahu selain dia dan tentunya Allah.

Juli, 2012

Tak perlu terluka untuk tahu rasa sakit itu seperti apa. Sebab, luka yang tak nampak terasa lebih perih.

Beberapa menit lagi azan Isya akan segera dikumandangkan. Aan yang mulai beranjak remaja sedang mengenakan peci sambil menatap wajahnya di cermin. Dia akan berangkat tarawih bersama kedua saudarinya, Sari dan Aisah. Aan tak pernah absen untuk salat tarawih, bahkan dia sempat mendapatkan hadiah dari ustaz karena rajin ke masjid untuk bulan Ramadan tahun kemarin. Tahun ini dia tak berharap hadiah dari ustaz. Aan hanya ingin ayahnya ikut salat bersamanya suatu saat nanti. Walau sikap ayahnya masih seperti dulu.

Sitti yang biasanya ikut tarawih tidak berangkat hari ini. Karena sedang masa haid. Wanita bermata sayu itu sedang memasak di dapur—masih menggunakan kayu bakar, sedangkan Abdul tengah merokok di dekat jendela ruang tamu sambil sesekali memegang kepalanya seperti memikirkan hal yang rumit.

“Kak Sari! Aisah! Ayo cepetan, bentar lagi azan, loh!” teriak Aan yang sedang berada di dekat daun pintu rumahnya. Berdiri tak sabar untuk ke masjid. Tiba-tiba suara petir berbunyi cukup keras membuat Aan terkaget dan sedikit menjerit.

“Tuh, kan! Udah mau hujan, nih! Buruan!” seru Aan sekali lagi.

“Iya, bentar Kak!” jawab Aisah yang tengah menggunakan mukena.

“Aan, kamu duluan aja entar aku sama Aisah kejar kamu dari belakang,” ucap Sari yang baru selesai wudhu.

“Yaudah, Aan duluan, ya!” Aan segera mengambil sajadah, lalu menaruhnya di bahu kanan. Disalimnya tangan Sitti, lalu Aan ke arah Abdul yang bahkan menatapnya saja tidak. Saat tangan Aan ingin menyalim ayahnya, Abdul malah menepis. Anak itu tersenyum, ditatapnya wajah Abdul sekali lagi lalu Aan pun berangkat. Aan akan terus mencoba hingga Abdul mau menerimanya.
Jarak rumah Aan dan masjid cukuplah jauh dan dia harus berjalan kaki. Keadaan jalan yang dia lewati sudah tampak sunyi. Orang-orang sudah berada di masjid untuk melaksanakan tarawih. Sejenak dia merasa takut melewati beberapa pohon besar di pinggir jalan. Jalanan yang masih berdebu dan banyak kerikil membuat Aan sering tersandung. Langkah kakinya sedikit dipercepat karena bunyi petir saling bersahutan, membuatnya was-was akan turunnya hujan.

Aan menengok ke belakang mencari apakah Sari dan Aisah sudah berada di belakangnya. Namun nihil, saudarinya belum juga muncul.

Seperti dugaannya, hujan mulai turun. Awalnya rintik-rintik lalu tiba-tiba menjadi deras. Aan pun berlari dengan cepat, dia tak memikirkan dirinya, dalam benaknya dia khawatir kalau kedua saudarinya tersebut kehujanan. Jalanan mulai basah membuat beberapa sudut langsung tergenangi oleh air. Aan yang masih berlari tidak sadar kalau bagian belakang bajunya telah kotor terciprat air dari entakan sendal jepitnya. Sajadah yang dibawa digunakan untuk menutup kepala. Sajadah itu dibalik agar bagian bawah yang anti air tidak membuat Aan basah.
Saat jarak Aan dan masjid sudah tak terlalu jauh. Dia mendengar suara deru motor yang sangat dikenali. Bibirnya melengkung membentuk senyuman. Dia melihat ke belakang, walau pandangannya tertutup oleh derasnya hujan, dia tahu siapa orang tersebut. Benar saja, dia melihat ayahnya sedang membonceng kedua saudarinya yang sedang mengenakan plastik untuk menghalau hujan mengenai mukenanya.

Aan memperlambat langkah walau itu membuatnya semakin basah. Menunggu sang ayah untuk membawanya ke masjid juga. Semakin dekat suara deru motor semakin Aan merasa senang dan berharap. Motor mulai mendekat ke arahnya. Aan maju selangkah, namun bukannya berhenti motor tersebut malah melaju melewati Aan.

“Ayah, itu Aan!” ucap Aisah namun tak membuat Abdul berhenti. Aan tersenyum menahan air mata.

“Biar saja dia jalan, masjidnya sudah dekat!” jawab Abdul yang mulai mempercepat laju motornya. Tak disangka ban motor tersebut menginjak lumpur dan membuat baju Aan terciprat olehnya. Lagi-lagi Aan harus menelan pil pahit saat berharap lebih pada ayahnya. Karena minimnya cahaya di jalan, Aan tidak sadar kalau bajunya sangatlah kotor. Azan pun telah berkumandang.

Sesampainya di masjid Aan baru melihat bajunya yang penuh lumpur. Bagaimana dia akan tarawih? Jika pakaiannya saja sudah kotor. Aan menghela napas. Dari jendela kaca masjid yang tembus pandang, Aisah melihat kakaknya tersebut masih berdiri di luar. Aisah segera keluar menghampiri.

“Kak, baju Kakak sangat kotor. Mari, Aisah bersihkan dulu,” ucap Aisah yang segera mengambil kain lap di masjid lalu dibasahi. Diam-diam Aisah menangis saat mulai membersihkan bagian belakang kakaknya. Entah apa yang sangat menyentuh Aisah, padahal sang adik baru berumur 10 tahun.

“Sudahlah, Dek, sepertinya bajunya tak akan bersih juga,” ucap Aan berbalik menatap Aisah yang mulai terisak.

“Hei! Kenapa kamu menangis?” tanya Aan. Aisah menggeleng.

“Masuklah ke masjid. Biar kakak pulang saja. Lagi pula, syarat kita untuk shalat harus mengenakan pakaian yang bersih.” Aan mengusap kepala Aisah.

“Tapi Kak, di luar masih hujan deras!” Aisah menunjuk keluar di mana tetesan hujan semakin deras.

“Kalau begitu kakak pinjam plastik yang kamu bawa tadi dan jangan lupa untuk memberitahu kak Sari, kalau Aan pulang,” jawab Aan.

Aisah hanya mengikuti apa kemauan kakaknya. Sebenarnya baju Aan juga cukup basah, dia tahu kalau hujan membasahinya dia bisa terkena demam. Cukup hatinya yang menerima luka, jangan fisiknya.

“Shalatlah dan jangan lupa berdoa sama Allah,” ujar Aan pada adiknya. Kemudian Aan berlari membelah hujan yang deras. Dia akhirnya menangis juga.

“Maafkan aku Ya Allah, karena meninggalkan salat tarawih di masjid.” Aan menatap langit seolah-olah tengah mengobrol dengan sang pencipta. Untuk pertama kalinya Aan meninggalkan salat tarawih.



Luka itu semakin terasa sejak aku paham dan mengerti arti perkataan orang lain
-Aan Apriansyah-

Allah, Masihkah Kau Bersamaku? [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang