Senangnya bisa melupakan luka
Dan
Sayangnya itu bukan aku~Aan Apriansyah~
***
Andai Aan menuruti semua yang ada di dalam otaknya maka dia akan kehilangan suara karena menjerit tak henti-hentinya. Aan sangatlah butuh pengarahan. Kali ini dia seolah dipaksa untuk bertahan. Raganya yang masih muda harus diterpa beribu masalah.
Kini telah sampailah Aan pada penghujung bulan Ramadan. Puasa terakhir untuk tahun ini begitu memilukan. Aan telah menceritakan keluh kesahnya pada Sari. Tentu saja gadis itu menangis. Namun, Aan masih menyembunyikan perihal kelakuan Damar padanya. Aan malu sekaligus takut mengatakannya. Apalagi Aan tahu kalau Abdul juga terlibat di dalamnya. Aan tak mau Abdul mendapat masalah. Bagi Aan kehilangan Sitti belum bisa tergantikan apalagi jika Abdul juga meninggalkan mereka karena masalah tersebut. Cukup Aan yang merasakan. Setidaknya Sari telah memberi banyak masukan. Sari memang tamatan sekolah dasar saja tapi gadis tersebut punya kecerdasan yang baik.
Aan kini sedang duduk di dekat makam Sitti. Aan memejamkan mata, mengirimkan doa terbaik untuk Sitti. Saking rindunya Aan pada Sitti, remaja tersebut bahkan masih bisa merasakan kehangatan pelukan Sitti saat jemari kurusnya menyentuh nisan tersebut. Perlahan-lahan Aan disadarkan dari keterpurukannya selama ini. Kalau Aan mati siapa yang akan melanjutkan perjuangan ibunya? Kali ini Aan harus lebih kuat menghadapi segalanya. Kebenciannya pada Allah memang masih ada, tapi setidaknya itu berkurang. Keadaan Aan yang labil membuatnya sedikit kesulitan memahami kisah hidupnya. Aan hanya mengingat setiap lukanya.
Entah sudah berapa kali Aan mengucapkan rindu di makam Sitti. Intinya Aan tak pernah lelah. Makam Sitti berada tak jauh dari belakang rumah membuat Aan mudah berziarah. Tapi ini adalah pertama kali Aan ke kuburan Sitti setelah Sitti dimakamkan. Aan butuh mengumpulkan banyak tenaga untuk menerima kenyataan ini. Bahkan setelah dia dari makam Sitti, remaja tersebut masih menengok ke belakang berharap datang keajaiban dan ibunya dikembalikan. Sungguh harapan yang mustahil.
Sejak pagi Sari dan Aisah sudah tak ada di rumah mereka pergi ke pasar untuk membeli sedikit kue dari uang tabungan yang ternyata Sitti simpan semasa hidupnya. Setidaknya jika ada orang bertamu mereka masih bisa menyajikan beberapa kue meski sederhana. Aan berniat ikut namun kata Sari dia harus menjaga rumah sebab Abdul pergi entah ke mana. Namun Aan dibuat terkejut saat masuk ke dalam rumah di sana Aan melihat Abdul sedang berbincang dengan seseorang. Karena tamu yang datang itu dalam posisi membelakangi Aan jadi Aan tak tahu itu siapa. Remaja itu segera berbalik arah takut jika Abdul merasa terganggu seperti biasa.
"Mau ke mana kamu?" tegur Abdul membuat Aan sedikit ketakutan. Ketakutan tersebut bertambah setelah Aan tahu siapa yang sedang berbincang dengan Abdul. Orang itu adalah Damar. Aan mundur dengan cepat. Dia masih sangat trauma. Aan tak melupakan kejadian itu namun terasa lebih mengerikan saat Damar muncul di hadapannya dan tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja. Tubuh Aan gemetar, dia ingin berlari tapi kakinya melemah karena ketakutan. Setelah mundur beberapa langkah Aan mematung.
"Kemarilah!" panggil Damar dan pria itu menghampiri Aan.
Aan terus merapalkan doa agar dia bisa dilindungi. Aan baru ingat bagaimana Allah akan mengabulkan doanya jika dia saja tak pernah salat lagi. Aan tersadar. Ketika ketakutannya semakin bertambah disitulah hormon adrenalinnya ikut bertambah. Aan berlari keluar tanpa memedulikan panggilan Abdul. Untuk pertama kali Aan tak menghiraukan teguran Abdul. Hati Aan berkecamuk apakah dia berdosa? Karena tak menjawab panggilan Abdul.
Aan berlari tanpa menengok ke belakang sekalipun. Remaja tersebut bertemu Sari dan Aisah yang sedang menenteng plastik merah di tengah lapangan.
"Ada apa, Dek?" tanya Sari saat melihat wajah Aan yang begitu ketakutan. Aisah hanya melongo saja.
Napas Aan terengap-engap berusaha mengatur ritme detak jantungnya. Aan menggeleng sebagai jawaban membuat dahi Sari mengerut.
"Ok, baiklah," ucap Sari setelah hening beberapa saat. "Kalau begitu ikutlah pulang. Kakak membelikanmu sesuatu," lanjut Sari diikuti dengan cengiran Aisah.
Aan yang sedang berpikir keras kemudian ditarik Sari. Butuh sedikit tenaga Sari menariknya.
"Apakah Ayah sudah pulang?" tebak Sari yang sukses membuat Aan melotot.
"Bukan cuman Ayah tapi ada monster di rumah," Aan membatin entah sejak kapan julukan 'monster' itu masuk di kepalanya. Sari yang kebingungan tetap menarik Aan pulang.
Mereka tiba di halaman rumah. Melihat motor Damar saja seluruh tubuh Aan gemetar. Aan memang tak terlalu paham apa yang terjadi anatara dia dan Damar. Satu kata yang mewakili semuanya Aan dilecehkan.
"Tenanglah dia bukan anakku." Samar-samar Sari, Aan, dan Aisah mendengar suara Abdul. Sari menutup mulut Aisah yang mau berteriak memanggil Abdul. Kemudian Aan dan Sari menatap satu sama lain. Mereka pergi untuk lebih dekat ke arah dinding. Aisah yang bingung hanya mengikuti instruksi Sari yang menyuruhnya diam.
"Bukankah yang di dalam rumah itu adalah Om Damar?" tanya Sari sedikit berbisik disusul anggukan kepala Aan yang membenarkan.
Dinding rumah yang mulai rapuh tersebut memudahkan mereka mendengar percakapan di dalam.
"Jadi, biarkan Aan tinggal bersamaku." Kali ini suara Damar yang terdengar sangat jelas membuat Aan melotot.
"Ambillah! Dan berikan uang itu padaku," ucap Abdul dengan enteng seolah-olah pria tersebut sedang menjual barang.
Sari langsung memeluk Aan.
"Jangan dengarkan kata Ayah," bisik Sari dengan lembut. Wajah gadis itu memerah karena marah. Sari tak tahu apa yang sedang dibicarakan yang Sari tahu dia harus bertindak hari ini. Sudah cukup Sari yang melihat Aan terus-terusan disakiti. Apalagi mengingat kejadian Aan yang ingin bunuh diri. Bagi Sari itu menggores hatinya sebagai kakak. Aan menangis sesegukan diikuti dengan Aisah yang langsung memeluk Aan.Sari melepas pelukannya dan dengan langkah terburu-buru Sari memasuki rumah tanpa mengucapkan salam.
"Apa yang Ayah lakukan!" teriak Sari yang melihat Abdul mengambil uang di atas meja. Damar terkejut.
"Pelankan suaramu!" teriak Abdul yang tak kalah kencangnya. Tapi Sari tetap tegar dan tak bergeming sama sekali. Sari menjatuhkan plastik yang dia bawa. Tangannya mengepal kuat. Sedangkan Aan berada di dapur bersama dengan Aisah yang tampak ketakutan. Baru pertama kali Aan melihat Sari marah. Pasalnya gadis tersebut orang yang lembut.
Abdul yang gampang terbawa emosi mendekat ke arah Sari. Tak pikir panjang Abdul langsung menampar Sari. Diluar dugaan Sari tak menangis sedikitpun. Aan yang mendengar suara tamparan itu segera berlari ke arah Sari.
"Ayah ingin menjual anak Ayah sendiri? Hah!" tanya Sari langsung keintinya sambil menatap tajam Abdul.
"Aan bukanlah anakku!" Abdul menunjuk ke arah Aan yang sedari tadi masih menangis.
Sari menarik Aan ke hadapan Abdul.
"Dia saudaraku! Dan Ayah..." Sari akhirnya menangis. "Terlalu egois untuk mengakuinya!"Abdul tersentak mendapat perlawanan tak terduga dari Sari. Abdul tak tahu harus berbuat apa. Pria tersebut menyentuh bahu Sari.
***
Tetap stay sama cerita ini ya
Sedikit bocoran kalau bakal banyak kejutan di part selanjutnya.Cerita ini akan segera tamat akhir puasa
Bakal ada update yang banyak menuju deadline.Salam hangat
Abdi Tunggal
KAMU SEDANG MEMBACA
Allah, Masihkah Kau Bersamaku? [Telah Terbit]
SpiritualitéBisa langsung cek shopee atau Dm TELAH TERBIT di Glorious Publisher [Real Story] [Challenge30GP] [Aan Story's] Diangkat dari kisah nyata Kisah seorang remaja yang berjuang untuk hidupnya. Untuk orang yang dikasihnya. Dia menjalani hidup dengan penu...