Sayap pun bisa patah sebelum ia terbentuk. Begitulah Aku.
~Aan Apriansyah~
***
~Desember, 2006~
[Jika masa kecil mu bahagia, aku penuh luka. Sebab selalu ada derita dari sekian banyaknya cerita]
***
Sore hari, hujan mulai mengguyur tubuh mungilnya. Langkah kakinya sedikit melambat akibat rasa dingin yang menyentuh kulit. Dipeluknya erat sekantung beras sambil menunduk, agar beras yang dia bawa tidak terkena air dan menjadi basah. Wajahnya terlihat memucat, bibirnya bergetar, dan giginya bergesekan menimbulkan bunyi yang khas.
Aan Apriansyah, bocah berumur 6 tahun itu mulai melewati lapangan yang setengahnya dipenuhi ilalang untuk menuju ke rumahnya. Sesekali dia mendongak untuk melihat jalan. Aan takut berasnya tumpah jika dia berlari. Aan tak bersedih, sebab dia sangat suka dengan hujan, sama seperti anak-anak pada umumnya. Hanya saja beras yang dia bawa mengurangi pergerakannya untuk menikmati hujan. Suara petir mulai bersahutan, Aan mulai mempercepat langkahnya. Tak terasa dia sudah tiba di rumah dan langsung menuju pintu belakang.
"Assalamu'alaikum!" ucapnya dengan lantang saat melihat ibunya, Sitti Azizah, tengah mondar-mandir di dalam dapur.
"Astaga Aan! Berapa kali ibu, bilang! kalau hujan singgahlah bernaung, kalau begini kamu kan jadi basah, Nak!" Sitti segera mengambil beras tersebut kemudian tersenyum hangat sambil mengusap kepala Aan dengan kain handuk yang terlihat usang dimakan usia. Aan tahu Sitti tak akan pernah marah padanya. Dia ikut tersenyum sambil memperlihatkan dua gigi kelinci yang tampak menggemaskan.
Aan kemudian bergegas ke kamar mandi dan langsung mengguyur tubuhnya dengan air. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan, jika Aan telah selesai bermain hujan. Kata ibunya, Sitti, agar Aan tak demam. Aan berlari keluar tanpa sehelai kain menutupi tubuhnya. Dengan tubuh dan rambut yang masih basah meninggalkan jejak kaki di lantai kasar rumahnya. Beberapa baskom diletakkan di lantai untuk menampung air hujan yang jatuh dari atap rumbia yang sobek. Aan mulai bernyanyi lagu anak-anak kesukaannya. Semakin lama suaranya semakin meninggi. Ayahnya, Abdul Hakim, yang sedang tertidur mulai terusik dengan suara nyaringnya.
Abdul terbangun dengan decakan emosi dari bibirnya. Dengan langkah lebarnya Abdul mendekati Aan lalu memukul bibir mungil anak tersebut. Aan yang tadinya tersenyum seketika menangis dengan kencang. Bibirnya terluka dan mulai mengeluarkan darah.
"Dasar anak haram! Kelakuanmu seperti ibumu saja!" teriak Abdul di depan wajah anaknya. Aan masih saja menangis. Tubuhnya bergetar hebat. Sari, kakak perempuan Aan, keluar dari kamar dan segera menarik Aan dari hadapan Abdul. Sari mencium aroma yang tak asing saat dia mendekati Abdul. Sari yang berusia 12 tahun, tahu betul kalau itu adalah aroma minuman keras yang biasa Abdul bawa ke rumah.
"Kamu apakan anakkmu?!" Sitti mendekati Aan yang tangisnya makin lama makin menjadi. Anak tersebut mulai sesegukan dan sulit bernapas.
"URUS ANAKMU ITU!! Kalau bisa jauhkan dari pandanganku!" Suara Abdul semakin meninggi. Sitti yang tadinya duduk akhirnya berdiri menatap wajah Abdul.
"Ada apa denganmu, Mas? Dia anakmu dan akan selalu seperti itu!" Sitti memegang bahu suaminya, Abdul. Tak lama Abdul pun menepis kasar tangan wanita tersebut.
Hari itu Aan dan Sari menyaksikan Abdul memukul Sitti dengan ikat pinggang yang terbuat dari kulit. Sari pun ikut menangis. Kemudian dengan wajah yang penuh murka Abdul menatap kedua anaknya tersebut.
"Ini yang akan kalian dapatkan jika berani melawan, Ayah! Paham!"
Kedua anak tersebut mengangguk dengan tubuh bergetar. Sari menggigit bibir bawahnya. Aan yang menunduk semakin tertunduk takut melihat wajah Abdul. Masih dengan amarah Abdul keluar dari rumah tanpa memedulikan hujan di luar.
"Tinggal di rumah ini membuatku emosi saja!" ucap Abdul kemudian berlalu seolah dia tak bersalah apa-apa.
Kedua anak tersebut langsung berlari memeluk Sitti yang terisak menahan perih. Aan menatap wajah ibunya lalu menyeka air mata Sitti.
"I..bu jangan menangis, kalau ibu menangis siapa yang akan tersenyum untuk Aan?" ucap Aan dengan polos dan air mata yang terus mengalir dipipinya. Sitti akhirnya tersenyum, menyapu lembut bibir Aan dengan jarinya. Mereka kemudian berpelukan.
Sari bergegas mengambil minyak gosok tradisional yang biasa digunakan untuk mengatasi lebam dan luka. Sitti yang melihat perhatiannya anaknya merasa tersentuh. Sitti sadar bahwa penguat hatinya adalah anak-anaknya. Aisah, adik Aan, bangun dari tidurnya.
"Ibu, aku lapar!" ucap Aisah, bocah 4 tahun tersebut. Mereka semua menatap Aisah. Aan kemudian tertawa melupakan perih di bibirnya melihat adiknya itu muncul dengan rambut berantakan.
***
Malam telah tiba, namun pemadaman lampu di desa tersebut terjadi lagi. Alhasil Sitti hanya mengandalkan sebuah pelita buatan sendiri. Terbuat dari bekas kaleng susu berisi minyak tanah dan ditambahi sumbu. Sekitar 20 menit yang lalu mereka telah makan malam. Aisah bahkan sudah tertidur. Sari tengah belajar di dekat pelita sedangkan Aan mendekat ke arah Sitti lalu memeluk erat ibunya tersebut.
"Ibu, Ayah kemana? Kok udah jam segini belum pulang?" ucap Aan dengan pelan di dekat telinga Sitti.
"Kamu nggak perlu nungguin Ayah, Nak, pergilah tidur besok kamu sekolah," jawab Sitti sambil mengelus lembut punggung anaknya. Aan menatap ibunya, dia tersenyum lalu berkata, "Aku ingin meminta maaf pada Ayah."
Sitti terharu melihat anaknya. Seharusnya Aan membenci ayahnya setelah kejadian tersebut. Tapi Aan malah ingin menemui ayahnya. Untuk anak seusia ini Aan termasuk anak yang cerdas dan penyabar.
"Besok saja, Nak, tidurlah sekarang. Ibu akan bernyanyi untukmu." Sitti kemudian berdiri lalu membawa anaknya ke atas kasur yang sudah robek sana-sini. Bukan karena tak ingin mengganti kasur tersebut. Sitti tak punya uang untuk membelinya. Pekerjaan hanya menjual nasi uduk di sekolah dasar tempat Aan bersekolah dan itupun tak seberapa.
"Aku juga, ya, Ibu!" Sari berlari dan ikut berbaring di sebelah Aan.
Sitti pun bernyanyi tentang sebuah lagu yang menceritakan anak yatim piatu. Entah kenapa Aan sangat menyukai lagu tersebut begitu juga dengan Sari. Suara Sitti terdengar sangat nyaman di telinga kedua anaknya. Tak bagus namun membuat Sari tertidur lebih dahulu.
"Ibu, bangunkan aku jika Ayah datang," ucap Aan yang mulai tertidur.
Sitti menatap kedua anaknya tersebut. Dalam pikirannya berkecamuk. Ayah yang seharusnya jadi patokan anaknya malah berbuat hal yang kejam. Dielusnya surai rambut keduanya. Air matanya terjatuh begitu saja. Sitti segera beranjak kemudian ke tempat Aisah untuk menemani tidurnya. Tak lupa Sitti mematikan pelita hingga menyisakan satu pelita yang menyala. Baru saja Sitti ingin memejamkan matanya. Suara ketukan kasar di pintu membuatnya segera terbangun.
"SITTI BUKA PINTUNYA!" teriak Abdul yang mulai dengan brutal menggedor pintu. Sitti segera membuka pintunya. Bau minuman keras langsung tercium jelas di hidung Sitti. Dia mundur selangkah.
"Dasar lamban! Nghhh!" Suara Abdul mulai tak terkontrol akibat mabuk.
Malam itu Sitti tertidur larut malam karena harus mengurusi suaminya yang muntah untuk kesekian kalinya.
***
Aku berusaha melupakan segalanya. Namun, masa ini begitu membekas di ingatanku. Tak bisa keluar begitu saja.~Aan Apriansyah~
****
Halo semua bagaimana dengan bab 1? Aku mau jujur pas nulis ini aku sempat nangis. Apalagi mendengar langsung dari yang punya kisah ini. Aku yakin kalian akan menangis.
Oke guys see tou to next chapter
Tinggalkan jejak kalian denganVote dan coment ya
😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Allah, Masihkah Kau Bersamaku? [Telah Terbit]
SpiritualitéBisa langsung cek shopee atau Dm TELAH TERBIT di Glorious Publisher [Real Story] [Challenge30GP] [Aan Story's] Diangkat dari kisah nyata Kisah seorang remaja yang berjuang untuk hidupnya. Untuk orang yang dikasihnya. Dia menjalani hidup dengan penu...