Mundur selangkah untuk mengingat
Bukan untuk menetap
Karena semua telah ditetapkan
Oleh Allah SWT.~Aan Apriansyah~
***
Aan memeluk sajadah. Di depan rumahnya remaja itu duduk menanti Sari dan Aisah. Aan mengkhayalkan banyak hal tentang hidupnya yang begitu rumit. Sesekali Aan menghela napas kasar akan semuanya. Aan perlu waktu untuk membangkitkan semangatnya kembali. Semalam Aan habiskan untuk bercerita dan berkeluh kesah pada Sang Pencipta. Aan benar-benar merasa bodoh melupakan Allah yang selalu memberikan kekuatan di balik cobaannya.
Perlahan remaja itu mulai bangkit tapi masih saja ada yang mengganjal di hatinya. Aan tak mengenal ibu kandungnya. Tapi Allah memberi Sitti sebagai ibunya. Sosok Ibu tak akan bisa diganti tapi Aan sadar Sitti lah yang merawatnya selama ini. Sesekali Aan menengok ke arah jalan berharap Abdul muncul karena sejak kemarin pria tersebut tak kunjung pulang padahal Aan ingin sekali bercerita dengan Abdul untuk meminta semua penjelasan. Tentang alasan mengapa Abdul membencinya. Memang telah timbul beberapa praduga yang Aan dan Sari cemaskan. Tapi, Aan tak puas jika itu bukan berasal dari mulut Abdul. Lagipula itu hanya kemungkinan saja, pikir Aan.
Sari pun keluar bersama dengan Aisah yang tersenyum malu mengenakan mukenah barunya. Rupanya hati Aisah sangatlah senang.
Hari ini merupakan hari yang begitu dinanti-nanti yaitu hari idul fitri. Salat akan dilakukan di lapangan pagi ini. Umat muslim mulai meramaikan lapangan. Berbagai pakaian sederhana hingga mewah dapat ditemukan. Allah sangatlah penyayang, pagi ini matahari tak terlalu panas seperti biasanya. Udara sejuk dan juga menenangkan.
Langkah Aan sedikit melambat, ditatapnya langit cerah dengan sedikit awan. Halusinasi Aan saat menatap ke atas dia melihat Sitti tersenyum dengan mukenah yang biasa digunakan. Suara takbir menggetarkan hati Aan. Air mata jatuh begitu saja. Sama halnya dengan Aan, Sari ikut menangis mengingat Sitti. Waktu cepat berlalu. Aan belum benar-benar bisa menerima kepergian Sitti.
"Untuk Ibu kandungku semoga kau tenang di sana dan untuk ibuku tersayang terima kasih untuk semuanya. Aku mencintaimu. Semoga aku mendapatkan wanita sabar seperti dirimu kelak." Aan menunduk sambil menangis. Sari menggenggam erat tangan Aan juga Aisah. Gadis tersebut berusaha menguatkan hati kedua adiknya. Meski begitu perih melihat orang-orang berdatangan dengan orang tua mereka.
Disela tangisnya Aan tersenyum manis. Menyeka semua air matanya juga air mata Aisah yang ternyata ikut menangis.
Baju muslim yang Aan kenakan terlihat sangat cocok dengannya. Berwarna putih bersih dipadukan celana hitam pemberian sepupunya, Tama. Ternyata Sari membelikan Aan baju muslim.
Mereka berpisah saat memasuki tempat salat masing-masing. Lapangan dikelilingi tali untuk mengatur bentuk arah kiblat. Pintu dibuat dari lengkungan daun kelapa muda yang masih berwarna kuning kehijauan. Di depannya ada remaja masjid yang menunggu sambil memegang sebuah plastik hitam sebagai wadah untuk uang sedekah yang warga berikan.
Dengan ucapan basmalah Aan melangkah untuk masuk. Diberikannya dua lembar uang seribu pada remaja tersebut. Aan mengenal remaja itu, dia adalah Alga. Alga sepertinya ingin memberitahu sesuatu pada Aan. Namun, Aan segera berlalu. Untuk menjaga kebersihan lapangan ini dilapisi tikar yang panjang juga koran. Para warga diharuskan membawa sajadah masing-masing.
Aan menaruh sajadahnya dibarisan kedua. Karena barisan sudah diisi oleh beberapa ustad dan tokoh masyarakat.
"Aan!" panggil remaja dengan kulit hitam dan bertubuh gemuk. Dia adalah Syahril. Tapi Aan biasa memanggilnya Ahril. Aan tersenyum walau hatinya kini berkecamuk. Dimana Abdul berada. Aan takut terjadi apa-apa pada pria tersebut.
"Aku duduk di sebelahmu saja ya," ucap Syahril.
"Silahkan," jawab Aan. Akhirnya selama keterpurukannya Aan bisa menemukan sedikit perubahan.
"Kok, kamu nggak duduk sama ayahmu?" tanya Syahril yang membuat Aan terkejut sekaligus mengerutkan dahinya.
"Maksudnya?" Aan menatap Syahril.
Kemudian Syahril menunjuk seorang pria mengenakan baju muslim berwarna abu-abu cerah sedang duduk paling ujung di dekat pembatas tali.
Dari samping pria tersebut beberapa kali terlihat menyeka air matanya. Aan langsung berdiri menghampiri pria tersebut tak memedulikan Syahril yang terus memanggil hingga ditegur oleh bapak-bapak karena ribut. Salat sebentar lagi akan dilaksanakan begitu pengumuman yang terdengar jelas dari arah mimbar kecil yang berada tepat di tengah di hadapan para ustad yang berada di barisan terdepan. Saf mulai terisi banyak orang. Sesekali Aan harus permisi melewati orang-orang.
Benar saja pria itu adalah Abdul. Aan langsung terduduk di sampingnya. Abdul tak menyadari sama sekali.
"Ayah," panggil Aan dengan suara yang sedikit dipelankan. Waktu seolah berhenti saat Abdul berbalik menatap tepat manik mata Aan. Melihat Aan membuat Abdul mengingat Eva dan juga dosanya. Abdul belum sepenuhnya sadar. Di hati pria tersebut masih diisi oleh keraguan dan keegoisan. Aan menangis melihat Abdul mengenakan peci. Selama Aan tinggal bersama Abdul, baru kali Aan melihatnya menggunakan peci dan pakaian muslim.
"Aku sangat senang Ayah berada di sini." Aan memegang jemari Abdul. Kali ini Abdul tak bereaksi apa-apa seperti menepis tangan Aan misalnya.
"Menjauhlah dariku! Aku belum berdamai dengan diriku sendiri." Abdul memandang ke arah depan tepat pada pengeras suara yang ada di luar garis tali tersebut. Tapi pikiran pria itu entah kemana.
Aan yang terlanjur senang memeluk Abdul dengan erat. Tangis bahagianya menetes ke pundak Abdul yang tak berbalik memeluk Aan. Hanya saja bibirnya bergetar dan matanya berusaha menahan tetesan air mata yang sebentar lagi akan terjatuh kembali. Aan mendapatkan kesempatan memeluk Abdul sebelum akhirnya salat akan dilaksanakan.
Aan terus berbalik menatap pada Abdul. Seperti mimpi Aan benar-benar tak percaya. Dan lagi Aan teringat Sitti yang mengatakan akan ada yang namanya hidayah disetiap cerita hidup. Aan tersenyum.
"Ibu aku tahu kau senang melihat ini." Aan bergumam.
Salat akhirnya dilaksanakan dengan khusyuk. Walau Aan hanya memeluk Abdul. Tapi, itu merupakan pencapaian terbesarnya selama ini. Sempat menyerah namun sedikit demi sedikit hati yang membatu bisa ikut terkikis bersama air. Entah kenapa hari ini begitu menyenangkan sekaligus menyedihkan. Di akhir salatnya Aan berdoa dan tak henti-hentinya mengucapkan syukur pada Allah. Allah yang memiliki hati maka dengan izin-Nya pula Allah bisa membalikkan hati tersebut.
Setelah salat, penceramah mulai menjelaskan tentang apakah kita sudah mengumpulkan banyak pahala dibulan suci ini? Lalu, diisi dengan doa-doa agar kita bisa bertemu kembali dengan bulan Ramadan berikutnya. Aan benar-benar tak sabar untuk menemui Abdul. Sedari tadi Aan terus menengok Abdul memastikan pria tersebut masih ada di sana.
Saat semua telah bubar. Aan segera menuju ke Abdul tapi lagi-lagi remaja itu kecewa saat melihat Abdul sudah tak ada di sana. Beberapa teman Aan mendekatinya. Bersalaman dan juga mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Tapi Aan tak berhenti menatap ke sana ke sini untuk mencari Abdul. Aan ingin meminta maaf pada ayahnya.
***
Vote
ComentIngat ya selalu ada kejutan dipart selanjutnya
Tetap stay ya
Salam hangat
Abdi Tunggal
![](https://img.wattpad.com/cover/222107987-288-k715202.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Allah, Masihkah Kau Bersamaku? [Telah Terbit]
EspiritualBisa langsung cek shopee atau Dm TELAH TERBIT di Glorious Publisher [Real Story] [Challenge30GP] [Aan Story's] Diangkat dari kisah nyata Kisah seorang remaja yang berjuang untuk hidupnya. Untuk orang yang dikasihnya. Dia menjalani hidup dengan penu...